AISYAH BINTI ABU BAKAR SHIDDIQ
Aisyah adalah puteri Imam
Ash-Shiddiq khalifah Rasulullah Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah. Ibunya
bernama Ummu Rumman binti Amir. Kedua orang tuanya membawa Aisyah berhijrah. Ia
dinikahi Rasulullah SAW sesudah khadijah binti khuwailid meninggal dunia.
Pernikahan itu terjadi sebelas bulan sebelum hijrah, tetapi beliau
baru berkumpul (serumah) dengan Aisyah pada bulan syawal, sepulang dari perang Badar. Pada waktu itu Aisyah baru mencapai usia sembilan tahun. Karena itu ia banyak meriwayatkan hadits dan menggali ilmu dari Rasulullah SAW, hingga ia tampil sebagai sosok ilmuwan yang serba bisa, dan ilmunya sangat barakah. Ia juga meriwayatkan hadits dari ayahnya sendiri, Umar bin Khathab, Fatimah, Sa’ad bin Abi Waqash, Hamzah bin Amr Al-Aslami, dan dari Jumadah binti Wahab. Aisyah pulang ke hadirat Allah dalam usia enam puluh tiga tahun lebih beberapa bulan.
baru berkumpul (serumah) dengan Aisyah pada bulan syawal, sepulang dari perang Badar. Pada waktu itu Aisyah baru mencapai usia sembilan tahun. Karena itu ia banyak meriwayatkan hadits dan menggali ilmu dari Rasulullah SAW, hingga ia tampil sebagai sosok ilmuwan yang serba bisa, dan ilmunya sangat barakah. Ia juga meriwayatkan hadits dari ayahnya sendiri, Umar bin Khathab, Fatimah, Sa’ad bin Abi Waqash, Hamzah bin Amr Al-Aslami, dan dari Jumadah binti Wahab. Aisyah pulang ke hadirat Allah dalam usia enam puluh tiga tahun lebih beberapa bulan.
Dalam diri Aisyah tersimpan
segudang keistimewaan dan keteladanan. Ia dilahirkan dari kalangan keluarga
yang sudah memeluk agama Islam. Ia lebih muda delapan tahun dari Fatimah. Ia
pernah mengatakan, “Aku tidak mengetahui kedua orang tuaku melainkan sudah
memeluk agama Islam”. Ia seorang
wanita yang sangat disegani dan juga sangat cantik. Karena itu ia dipanggil
dengan sebutan Humaira’ (si mawar merah). Rasulullah SAW tidak pernah menikah dengan seorang
perawan selain Aisyah, dan tidak pernah mencintai wanita seperti cintanya
kepada Aisyah.
Imam Adz-Dzahabi menegaskan: “Aku tidak mengetahui di kalangan umat
Muhammad, bahkan di kalangan wanita secara umum, seorang wanita yang lebih
pandai daripada Aisyah. Aku bersaksi bahwa Aisyah adalah istri Rasulullah di
dunia dan di akhirat”.
Pernikahan Aisyah dengan
Rasulullah, juga menyimpan keunikan. Aisyah telah berkata, bahwa Rasulullah
telah bersabda, “Ya Aisyah, aku melihatmu dalam mimpi selama tiga malam, engkau
dibawa malaikat Jibril dalam sepotong kain sutera yang bagus. Lalu Jibril
berkata kepadaku, “Ya Muhammad, ini istrimu”. Setelah aku buka wajahnya,
ternyata engkau. Kemudian aku berkata, “Jika mimpi ini dari sisi Allah, pasti
Dia akan melaksanakannya”.
Imam Tirmidzi juga
mengetengahkan sebuah riwayat, bersumber dari Aisyah bahwa malaikat Jibril
datang kepada Rasulullah dengan membawa gambar Aisyah dalam sepotong kain
sutera hijau, lalu berkata, “Ya Muhammad ini adalah istrimu di dunia dan
diakhirat”.
Rasulullah sangat mencintai Aisyah. Hal ini dapat diketahui lewat sebuah
riwayat yang dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang pernyataan Amru bin Ash
(seorang sahabat yang memeluk Islam pada tahun ke delapan hijriyah) kepada
Rasulullah: “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai dari
kalangan laki-laki?” Jawab Rasulullah, “Ayah Aisyah”.
Dalam haditst lain Rasulullah bersabda, “Seandainya aku boleh menjadikan
kekasih dari umatku ini, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih.
Tetapi persaudaraan dalam Islam lebih utama”. Kemudian Rasulullah menjatuhkan pilihan untuk
mencintai laki-laki dan wanita yang paling utama dari kalangan umatnya. Karena
itu, barangsiapa membenci kedua orang yang dicintai Rasulullah (Abu Bakar dan
Aisyah), maka ia pantas dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kecintaan Rasulullah kepada Aisyah sangat besar. Karena keutamaan Aisyah
melebihi keutamaan Ummil-Mukminin yang lain, dengan adanya perintah Ilahi di
belakang kecintaan beliau kepadanya. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, bahwa
Aisyah, pernah berkata : “Aku diberi sembilan perkara yang tidak diberikan
kepada seorang wanita manapun setelah Maryam binti Imran:
1.
Malaikat
Jibril pernah turun dengan membawa kabar tentang diriku, dan Rasulullah disuruh
menikahiku.
2.
Rasulullah
menikahiku ketika aku masih perawan, dan beliau tidak pernah menikah dengan
seorang perawan selain aku.
3.
Pada
waktu Rasulullah meninggal dunia, kepala beliau berada di pangkuanku.
4.
Aku
mengubur Rasulullah di dalam rumahku.
5. Ada wahyu diturunkan
kepada Rasulullah ketika beliau sedang berselimut bersamaku.
6. Aku
adalah puteri khalifah dan orang kepercayaan Rasulullah.
7. Pernah
diturunkan wahyu dari langit untuk menyelesaikan perkaraku (membela diriku dari
tuduhan kaum munafikin).
8. Aku
diciptakan sebagai wanita yang baik bagi lelaki yang baik.
9. Aku
diberi janji untuk memperoleh ampunan dan rizki yang baik.
Karena itu tidaklah
mengherankan jika Aisyah merupakan wanita yang paling beruntung dan yang paling
dicintai Rasulullah di antara istri-istri beliau yang lain.
Rasulullah adalah figur suami
yang setia. Aisyah r.a. memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana ia
bergaul dengan Rasulullah, agar dapat kita tunjukkan kepada para istri yang
mendampingi suami, hingga mereka memperoleh pelajaran tentang tata cara bergaul
dan berhubungan antara suami-istri sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Dalam hal
ini Aisyah telah berkata, “Aku pernah bermain dengan bermacam-macam boneka.
Lalu datang beberapa sahabat wanitaku, dan mereka menjauh dari Rasulullah.
Kemudian beliau keluar, dan menyuruh mereka masuk. Lantas mereka masuk, dan
bermain bersamaku”.
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Beberapa anak perempuan bermain boneka denganku. Ketika melihat Rasulullah,
mereka menjauh. Lalu beliau menyuruh mereka bermain bersamaku”. Kata Aisyah
lagi: “Rasulullah pernah masuk ke tempatku ketika aku sedang bermain dengan
beberapa boneka. Lalu beliau
bertanya, “Ya Aisyah, apakah
ini?”. Jawabku, “Ini adalah kuda sulaiman yang mempunyai
sayap”. Lalu beliau tertawa.
(Ath-Thabaqat 8 :44)
Walau Aisyah istri Rasulullah yang paling dicintai, namun ia pernah juga
merasakan cemburu. Dalam hal ini Aisyah pernah berkata, “Aku tidak pernah
cemburu kepada seorang wanita, seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena
Rasulullah sering menyebut-nyebut namanya”.
Imam Adz-Dzahabi mengomentari hadits di atas: “Ini merupakan suatu
kecemburuan yang sangat aneh. Aisyah merasa cemburu kepada seorang wanita tua
yang telah meninggal dunia beberapa waktu lamanya, sebelum Rasulullah menikahi
dirinya. Kemudian Allah melindungi Aisyah dari perasaan cemburu kepada
wanita-wanita lain yang hidup bersamanya di sisi Rasulullah, dan ini merupakan
kelemah-lembutan dan kasih sayang Allah kepada Aisyah dan kepada Rasulullah,
agar tidak terjadi kerincuhan dalam rumah tangga beliau. Mungkin juga, yang
meringankan kecemburuan Aisyah ini, adalah kecintaan Rasulullah yang sangat
besar kepadanya, kemudian Allah meridhai”.
Aisyah juga telah menceritakan
kepada kita tentang salah satu dari bentuk kecemburuannya, dan bagaimana
Rasulullah mengobati hatinya yang terbakar cemburu. Dalam hal ini Aisyah telah
berkata, “Pada
suatu ketika ada seorang wanita berkulit hitam datang menghadap Rasulullah.
Lalu beliau menyambutnya dengan baik. Karena itu, aku lalu berkata, “Ya
Rasulullah, mengapa engkau menyambut wanita hitam ini sedemikian rupa?” Jawab
Rasulullah, “Ia biasa bertemu dengan khadijah”. Sedang melaksanakan janji
dengan baik, itu termasuk bagian dari iman. Rasulullah tetap menyambung tali
persaudaraan dengan wanita berkulit hitam yang pernah menjadi kawan akrab
Khadijah sewaktu masih hidup.
Sekalipun Rasulullah seorang
rasul pilihan, namun beliau belum pernah melihat Allah secara langsung. Aisyah
telah berhasil menetapkan suatu keputusan yang dapat menyelesaikan
perselisihan. Ia berkata, “Barang siapa beranggapan, bahwa Rasulullah pernah
melihat Allah secara langsung, maka ia telah melakukan kebohongan yang besar
terhadap Allah. Beliau hanya pernah melihat malaikat Jibril dalam bentuk
aslinya sebanyak dua kali, yang bentuknya menghalangi segala sesuatu yang
berada di antara ufuk”.
Sekalipun Aisyah termasuk ummil-mukminin
yang sangat disayang oleh Rasulullah, namun pernah ia juga marah kepada beliau.
Imam Bukhari dan Muslim mengetengahkan sebuah riwayat, bersumber dari Abi
Usamah dari Hisyam, yang menggambarkan tentang hubungan Aisyah dengan
Rasulullah ketika sedang marah. Rasulullah pernah bersabda, “Ya Aisyah, aku
mengerti keadaanmu ketika engkau ridha dan ketika engkau marah kepadaku”. Lalu
Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana engkau mengetahuinya?” Jawab
Rasulullah, “Jika engkau merasa senang kepadaku, engkau mengatakan, “Tidak,
demi Tuhan Muhammad”. Dan jika engkau marah padaku, engkau mengatakan, “Tidak,
demi Tuhan Ibrahim”. Kemudian Aisyah berkata, “Ya Rasulullah, demi Allah, apa
yang engkau katakan adalah benar. Aku tidak pernah berpisah meninggalkanmu
kecuali hanya meninggalkan namamu saja”.
Latar belakang diturunkannya
ayat tayammum berkaitan dengan peristiwa yang dialami Aisyah. Hisyam bin Urwah
menjelaskan sebuah riwayat dari ayahnya, bahwa Aisyah telah berkata: “Aku
pernah meminjam seuntai kalung yang aku pakai ketika bepergian bersama
Rasulullah, hingga kemudian beliau memerintahkan agar dicari hingga ditemukan
kembali. Di tengah pencarian, datanglah waktu shalat, padahal mereka tidak
membawa air. Lalu mereka melaksanakan shalat tanpa wudhu”. Dengan peristiwa
tersebut, maka kemudian Allah menurunkan ayat tayamum, “Hai orang-orang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan
kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dengan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak ingin
menyulitkankamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Maidah: 6). Selanjutnya sahabat Usaid bin
Hudhair berkata, “Ya Aisyah, semoga Allah memberimu balasan yang baik. Demi
Allah, tidak pernah terjadi suatu peristiwa pun yang engkau sukai melainkan
Allah menjadikan kebaikan buatmu di balik peristiwa tersebut”.
Rasulullah adalah seorang suami
yang arif, yang senantiasa menghibur hati sang istri ketika dalam kesedihan.
Abu Nu’aim mengetengahkan sebuah riwayat dari Nu’man bin Katsir, bahwa pada
suatu ketika Abu Bakar pernah minta izin untuk bertemu Rasulullah. Tiba-tiba
mendengar Aisyah bersuara keras terhadap Rasulullah. Lalu Abu Bakar berkata: “Hai
puteri Fulanah, pantaskah engkau mengeraskan suara terhadap Rasulullah?”.
Rasulullah kemudian menengahi antara Abu Bakar dan Aisyah. Ketika Abu Bakar
telah keluar, Rasulullah lantas menghibur hati Aisyah, seraya berkata, “Ya
Aisyah, bukankah tadi aku telah menghalangi kemarahan ayahmu?”
Pada kesempatan lain Abu Bakar
pernah juga minta izin untuk menghadap Rasulullah dan dari dalam rumah
terdengar Aisyah sedang bergurau. Lalu Abu Bakar berkata, “Kalian bersamaku
dalam kedamaian sebagaimana kalian bersamaku dalam peperangan”.
Aisyah adalah orang yang paling
tahu tentang Rasulullah, paling memahami kemauan beliau, dan orang yang dapat
meringankan beban beliau. Aisyah memiliki pemikiran dan pandangan yang
senantiasa menenangkan hati Rasulullah dan dapat membantu beliau dalam
mengemban risalah Ilahi. Aisyah ikut serta membantu Rasulullah dalam mengurus
masalah kemasyarakatan dengan pemikiran dan tenaganya, serta tetap memelihara
batas-batas yang telah diwajibkan kepada Ummil-Mukminin.
Islam memberikan hak yang sama
kepada wanita untuk mendapatkan pendidikan, bahkan kewajiban menuntut ilmu bagi
wanita sejajar dengan kaum pria. Istri-istri Rasulullah diwajibkan mengajar
muslimin dan muslimat, sebagaimana Firman Allah: “Dan ingatlah apa yang
dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmahnya (sunah-sunah Rasul)” (QS.Al-Ahzab:
34). Karenanya banyak para sahabat datang minta fatwa ke rumah Ummil-Mukminin
serta menanyakan tentang hukum-hukum Allah juga masalah akhlak yang mereka
terima dari Rasulullah.
Aisyah memberikan keterangan,
bahwa dirinya mempunyai peranan besar dalam bidang ini dimana banyak para
sahabat datang kepadanya untuk menanyakan berbagai pengetahuan serta masalah
fiqhiyah. Dan tidak jarang ia memecahkan masalah yang sedang mereka
perselisihkan dengan baik. Aisyah sangat gigih membela kaum wanita serta
berkeinginan keras untuk mengangkat derajat dan harkat mereka sebagaimana
halnya ketidaksenangannya terhadap wanita yang melanggar hukum syari'at.
Dalam mengomentari pengetahuan
Aisyah, Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan, “Aku tidak mengetahui
seorangpun yang lebih mengerti tentang sunah Rasul, yang lebih mengena
pendapatnya jika diperlukan, lebih tahu tentang ayat Al-Qur’an yang turun,
serta lebih mengerti tentang hal-hal
fardhu, selain Aisyah”. (Ath-Thabaqat 2: 375). Aisyah sangat menguasai
pemahaman maupun bacaan Al-Qur’an, sekalipun hal ini hanya diketahui oleh
beberapa orang sahabat saja. Istri-istri Rasulullah yang lain dalam ambil
bagian menyebarkan ilmu dan agama kepada kaum muslimin sangat kecil bila
dibanding dengan Aisyah. Bila Aisyah memiliki bacaan yang bagus, maka Hafshah
memiliki tulisan yang indah.
Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar (kemenakan Aisyah) menerangkan, bahwa Aisyah menjadi seorang mufti wanita
pada zaman pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Usman bin Affan hingga
dia meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya. (Ath-Thabaqat 2: 375).
Ibnu Abdil-Bar mengatakan, “Aisyah
memiliki pengetahuan yang tinggi dalam bidang tafsir, hadits, dan fiqh, juga
dalam bidang pengobatan, syair, dan silsilah. Al-Qur’an pernah diturunkan dari
langit ketujuh untuk membebaskan Aisyah dari tuduhan jahat, yang lebih masyhur
disebut dengan Haditstul-ifki (berita bohong yang menuduh Aisyah berbuat
serong), yang dilontarkan para munafikin. Peristiwa itu terjadi sesudah perang
dengan bani Muhthaliq pada bulan Sya’ban tahun kelima hijriyah, yang diikuti
oleh kaum munafikin. Aisyah ikut ke medan
perang bersama Rasulullah berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri
beliau. Dalam perjalanan pulang dari peperangan, mereka beristirahat di suatu
tempat. Pada saat itu Aisyah keluar dari sekedupnya (kendaraannya) untuk suatu keperluan,
kemudian kembali. Tiba-tiba ia merasa kalungnya hilang, lalu ia pergi
mencarinya. Sementara itu, rombongan langsung berangkat dengan prasangka bahwa
Aisyah masih berada dalam sekedup. Setelah Aisyah mengetahui kendaraannya sudah
berangkat, ia lalu duduk di tempat semula serta berharap agar kendaraan itu
kembali menjemputnya. Tiba-tiba ada seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu’athal
lewat. Ia menemukan Aisyah yang sedang tidur sendirian, hingga ia sangat
terkejut seraya berucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, istri
Rasul!”. Mendengar ucapan Shafwan, Aisyah terbangun. Lalu Shafwan
mempersilahkan Aisyah mengendarai untanya, sementara Shafwan sendiri berjalan
menuntun unta sampai tiba di Madinah. Orang-orang yng melihat Shafwan berjalan
dengan Aisyah kemudian membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Dari
situ mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafikin membesar-besarkan
berita itu, hingga fitnah terhadap Aisyah bertambah luas, dan menimbulkan
kegoncangan di kalangan kaum muslimin. Bahkan Rasulullah sempat terpancing pula
oleh berita bohong itu. (Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur'an surat An-Nur: 11-26).
Dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa Aisyah dan Shafwan bin Mu'athal bersih dari
segala tuduhan yang dilontarkan kaum munafikin. Ia adalah wanita mulia, hingga
dipilih Rasulullah sebagai istri. Dan hanya orang-orang munafik sajalah yang
akan selalu menyebarkan isu jahat, hingga pada akhirnya mereka menjadi penghuni
neraka.
Aisyah adalah istri Rasulullah
yang memiliki berbagai kelebihan. Karena itu banyak orang memberikan ulasan dan
komentar terhadapnya. Abu Bard bin Abi Musa menceritakan suatu cerita dari
ayahnya, “Kami para sahabat Rasul tidaklah menghadapi suatu kesulitan lantas
kami tanyakan kepada Aisyah, melainkan kami mendapatkan penyelesaian yang baik
darinya”. Sedang Masruq memberikan kesaksian, “Aku melihat guru-guru para
sahabat besar bertanya kepada Aisyah tentang faraidh”.
Sahabat Urwah bin Zubair
berkata, “Aku tidak pernah mengetahui seorangpun yang lebih mengerti tentang
Al-Qur’an dan ketentuan-ketentuannya, tentang halal haram, tentang syair,
tentang pembicaraan dan nasab bangsa Arab selain Aisyah”. Abu Umar bin
Abdul-Bar juga memberikan kesaksian, “Pada zamannya tidak ada seorang pun yang
menandingi Aisyah dalam bidang ilmu fiqh, ilmu pengetahuan, dan ilmu syair”.
Az-Zuhri juga mengatakan, “Jika
ilmu Aisyah dikumpulkan kemudian dibanding dengan ilmu seluruh istri Rasul dan
seluruh wanita (pada waktu itu), niscaya ilmu Aisyah lebih banyak (lebih utama)”.
Muawiyah bin Abi Sofyan pernah berkata, “Hai Ziyad, siapakah yang paling pandai
diantara kita?” Jawab Ziyad, “Engkau, wahai Amiral-Mukminin”. Lalu Muawiyah
berkata, “Tetapkanlah hatimu. Jika engkau telah menetapkan hatimu, maka
Aisyahlah orang yang paling pandai”.
Dalam kitab syarah Az-Zarqani
dan Fathul Bari diterangkan, bahwa Aisyah adalah seorang wanita ahli
fiqh yang sangat baik sehingga dikatakan bahwa seperempat hukum-hukum syari’at
diriwayatkan darinya. Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kasyif memberikan
kesaksian, “Sesungguhnya Aisyah adalah orang yang paling mengerti tentang fiqh
dibanding dengan wanita-wanita lain di kalangan umat ini”. Az-Zarkasyi dalam
kitab Al-Mu’tabar mengatakan, “Sesungguhnya Umar bin Khathab dan Ali bin Abi
Thalib banyak bertanya kepada Aisyah tentang masalah fiqhiyah”.
Aisyah juga pernah berkata,
“Jika ada ayat Al-Qur’an turun pada kami di masa Rasulullah, kami hafalkan mana
yang halal, mana yang haram, mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang,
tetapi kami tidak menghafalkan seluruhnya”.
Aisyah juga perawi hadits yang handal. Ia meriwayatkan hadits dari
Rasulullah sebanyak 2210 hadits. Yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari
Muslim sebanyak 297 hadits, yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim sebanyak
174 hadits, sedang yang diriwayatkan Imam Bukhari sendiri sebanyak 54 hadits.
Dalam kitab fathul Bari
disebutkan bahwa Imam Bukhari meriwatkan hadits Aisyah sebanyak 74 hadits,
sedang Imam Muslim sebanyak 28 hadits. Ada
yang mengatakan sebanyak 50 hadits, dan ada pula yang mengatakan 60 hadits. Dan
ada yang mengatakan bahwa Imam Muslim meriwayatkan sebanyak 69 hadits.
Aisyah termasuk orang yang
banyak meriwayatkan hadits di urutan ketiga sesudah sahabat Abi Hurairah yang
meriwayatkan sebanyak 5394 hadits, Abdullah bin Umar bin Khathab yang
meriwayatkan sebanyak 2638 hadits. Aisyah sebagai Ummil-Mukminin sangat menguasai bidang
pengobatan. Suatu ketika sahabat Urwah pernah berkata kepada Aisyah, “Wahai ibu
aku tidak merasa heran terhadap kepandaianmu dalam bidang fiqh, karena engkau istri
Rasulullah dan puteri abu Bakar. Aku tidak merasa heran terhadap kepandaianmu
dalam bidang syair dan sejarah, karena engkau adalah putri Abu Bakar, orang
yang amat pandai. Tetapi aku merasa heran terhadap kepandaianmu tentang
pengobatan. Bagaimana ini bisa terjadi, dan dari mana engkau memperolehnya?”
Lalu ia memukul pundakku seraya berkata, “Wahai Urwah, Rasulullah pada akhir
hayatnya jatuh sakit, hingga banyak didatangi utusan-utusan bangsa Arab dari
segenap penjuru yang menyarankan tentang pengobatan beliau. Maka kemudian aku
mencoba mengobati beliau dengan apa yang mereka sebutkan itu, dari situlah aku
banyak mengerti tentang pengobatan”.
Aisyah sebagai Ummil-Mukminin
senantiasa mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri.
Aisyah banyak memiliki mutiara kata. Diantaranya adalah yang disebutkan dalam
kitab Natsud-Dur, yang menegaskan: “Akhlak yang mulia ada sepuluh:
Berkata benar, berani karena benar, menunaikan amanat, menyambung tali
persaudaraan, membalas kebaikan orang yang berbuat baik, mencurahkan kebaikan,
melindungi tetangga, melindungi teman, menghormati (memuliakan) tamu, dan
puncak dari semua itu adalah sifat malu”.
Pada suatu ketika Aisyah
berkata, “Betapa indahnya takwa, dan aku tidak pernah meninggalkan obat bagi
orang yang marah itu”. (Nastsrud-Dur 4:25). Dan Aisyah pernah pula berkata,
“Janganlah mencari sesuatu yang berada di sisi Allah dengan sesuatu yang berada
di sisi selain Allah, hingga membuat Allah benci”. Melimpahnya ilmu dan
pengetahuan yang dimiliki Aisyah diperoleh dari bahasa Aisyah yang diramu
dengan uslub-uslub pada semua riwayat yang dipetik darinya, khususnya
tentang pidato-pidato dan penyifatannya terhadap sesuatu. Ia memiliki
perbendaharaan bahasa sangat luas, yang tidak mudah diperoleh tanpa disertai usaha
besar serta menggali khabar dari bangsa Arab. Ia selalu meneladani dan
mengikuti jejak ayahnya dalam menghafal berita silsilah, sebagaimana ia
mewarisi akhlak, kepribadian, tabiat dan watak ayahnya.
0 komentar:
Post a Comment