ADS

Wednesday, 30 December 2015

FATIMAH AZ- ZAHRA’



FATIMAH AZ- ZAHRA’

 
Fatimah Az-zahra’ adalah putri Nabi Muhammad SAW yang paling bungsu dari istrinya yang bernama Khadijah binti khuwailid (556-619). Dia seorang wanita yang tegas, tegar dan berkemauan kuat. Otaknya sangat cerdas sehingga Fatimah mendapat julukan Az-zahra’ (yang cemerlang). Suaminya bernama Ali bin Abi Thalib (603-661) khalifah keempat setelah Nabi Muhammad. Ali merupakan cucu Abdul Muthalib, keturunan mulia dari Hasyim. Fatimahlah yang melahirkan Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kaltsum. Fatimah lahir di Mekah pada tanggal 20 Jumadil akhir 18 SH/ 605 M. Ia dan suami serta kedua putranya adalah orang yang terdekat dengan Nabi SAW, dan paling dimuliakannya.


Warisan Sifat dan Pendidikan        
Garis dan watak serta pemikirannya digambarkan oleh tangan taqdir melalui faktor-faktor warisan yang dipindahkan kepadanya dari ibu-bapak dan kakeknya dalam bentuk akhlaknya yang ditakdirkan baginya.
Garis-garis terinci bagi akhlaknya dan tingkah laku serta kepribadiannya, terbentuk oleh lingkungan dimana ia hidup dan khususnya rumah yang menampungnya diwaktu kecil, yakni ibu dan bapaknya. Suasana keluarga yang sangat kondusif ini, membawa dampak positif dalam perkembangan pribadi dan akhlaknya. Banyak ilmu-ilmu kehidupan, jiwa, akhlak dan sosial saat ini yang mengambil tamsil dan ibarat dari keluarga tersebut. Hal itulah yang ditetapkan oleh agama sebelumnya ketika mengakui dampak warisan sifat, maka ia berkata: “Pilihlah (istri) bagi keturunanmu”.
Fatimah mewarisi sifat bapak dan ibunya sesuai dengan kehendak Allah, dia dilahirkan dalam sebuah rumah yang diliputi cinta dan dinaungi kejernihan, antara seorang ayah yang dijuluki kaumnya Al-Amin (yang terpercaya) dan ibu yang dijuluki Ath-Thahirah (yang suci) yang mana Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin pemuda Quraisy dan khadijah pemimpin wanita Quraisy. Fatimah telah memiliki warisan sifat termulia dan termahal serta rumah tangga yang termulia dan tersuci.
Fatimah dilahirkan beberapa waktu sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Nabi. Ada beberapa riwayat yang berlainan mengenai waktunya, ada yang berpendapat lima tahun, ada yang kurang dan ada yang lebih. Fatimah dilahirkan ketika nabi menyiapkan diri untuk menerima tugas terbesar dialam ini. Tepat pada usia 40 tahun, Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad, mengutusnya kepada manusia seluruhnya, dan kepada kaumnya secara khusus. Maka Allah menghendaki Fatimah dibesarkan dalam naungan kenabian dan pangkuan kerasulan. Seakan-akan ia menjadi besar bersama dakwah dan tumbuh bersama penyebarannya. Secara sadar atau tidak Fatimah menyaksikan bagaimana usaha ayahnya dalam menyiarkan agama Islam kepada keluarga dan kaumnya. Dia menyaksikan begitu besar usaha orang-orang kafir dalam menindas dan berusaha membunuh Nabi Muhammad SAW. Ketika ayahnya memasuki Syi’ib, Fatimah ikut merasakan lapar, kesulitan akibat pemboikotan, larangan, dan merasakan gangguan yang menimpa ayah, keluarga dan para sahabatnya. Umat Islam pada waktu itu diboikot selama tiga tahun. Setelah pemboikotan berakhir, Fatimah kembali kerumahnya dan barulah dia merasa gembira lagi untuk menjalani masa kanak-kanaknya yang hilang.
   Perasaan gembira dan bahagianya tidak lama, karena secara tiba-tiba datang suatu masa dimana masa itu sangat berat ditanggungnya dan pilu dirasakannya, yaitu ibunya yang sangat disayanginya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Fatimah merasa sangat sedih sekali karena kehilangan seorang ibu yang disayanginya. Kaum Musyrikin masih tetap saja mengganggu Nabi, keluarga dan kaum Islam. Terkadang gangguan itu dengan perkataan ataupun perbuatan yang buruk. Fatimah senantiasa menyaksikan, merasakan apa yang menimpa ayahnya. Sebab dia masih kecil, maka dia senantiasa menyertai ayahnya kemana saja dia pergi. Semua kejadian ini menyentuh hatinya, seperti arus listrik dalam kawat. Ia ikut menyingkirkan kotoran yang menyakitkan ayahnya, terkadang dengan kedua tangannya atau dengan air matanya. Apa pula yang mampu dilakukan seorang gadis kecil untuk membela sang ayah yang penyayang, yang diganggu kaum kafir didepan penglihatannya dan pendengarannya, selain menumpahkan air matanya?
Pada suatu hari Nabi SAW sholat di Ka’bah, sebagian orang-orang musyrik yang bodoh sedang duduk, lalu bangkitlah orang yang paling celaka diantara mereka dan datang dengan membawa kotoran unta, lalu dilemparkan kepada beliau. Beliau tetap sujud hingga datang Fatimah, lalu menyingkirkan kotoran itu dari nabi. Ummul Jamil, istri Abu Lahab melemparkan kotoran-kotoran dan benda-benda najis di depan rumah nabi. Kemudian beliau menyingkirkan dengan tenang bersama Fatimah yang berusaha membersihkan dan menyucikan tempat itu seperti semula.
Pada suatu ketika seorang Quraisy yang jahat bertemu dengan Nabi SAW, lalu melemparkan tanah keatas kepalanya. Kemudian beliau kembali ke rumahnya dengan kepala berlumuran tanah. Maka bangkitlah Fatimah menghampiri nabi dan membersihkan tanah itu sambil menangis.
Bagi seorang ayah yang paling memberatkan adalah ketika melihat anak-anaknya yang kecil menangis, lebih berat dari itu ialah bila seorang ayah melihat air mata putri-putrinya yang masih kecil, dan lebih berat lagi dari semua itu ialah bila air mata itu demi ayahnya sendiri. Maka, begitu Nabi SAW melihat air mata Fatimah mengalir dikedua pipinya, beliaupun menabahkan hatinya sambil berkata menghiburnya: “Jangan menangis wahai putriku, karena Allah melindungi ayahmu!”
Semua penderitaan dan kepedihan hidup yang penuh dengan peristiwa pahit dan kesedihan karena terputusnya kasih sayang ibunya, dia hadapi dengan penuh kesabaran dan hati yang ikhlas,  semua ini membentuk jiwa Fatimah menjadi pribadi yang tangguh dan korektor yang luar biasa.
Pertarungan terus berlangsung antara Nabi SAW dan kaum musyrikin yaitu berupa gangguan dari pihak mereka dan kegigihan dari pihak Nabi SAW, hingga beliau melakukan hijrah ke Madinah bersama Abu bakar. Kemudian beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ menuju Mekkah untuk membawa keluarganya. Maka keduanya melakukan tugas itu dan kembali ke Madinah membawa istri Nabi SAW, yaitu Saudah binti Zam’ah dan kedua putrinya, Fatimah dan Ummu Kaltsum.

Rumah Tangga Fatimah dan Ali
Nabi SAW mempunyai empat orang putri, semuanya dari Khadijah. Yang tertua bernama Zainab, kemudian Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan  yang terkecil Fatimah. Adapun Zainab, ia dinikahi oleh putra bibinya, yaitu Abu Ash Ibnu Rabi’, sedangkan ibunya bernama Halah binti Khuwailid. Sedangkan Ruqayyah dan Ummu Kaltsum dinikahi oleh dua orang putra Abu Lahab, yaitu Utbah dan Utaibah. Tatkala turun surat “Tabbat yadaa Abii Lahabin watabb” (binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh ia akan celaka). Abu Lahab dan istrinya menekan kedua putranya untuk menceraikan kedua putri Nabi Muhammad SAW. Maka keduanya diceraikan, lalu dinikahi oleh Dzun Nurain (si empunya dua cahaya), yaitu Utsman bin Affan, satu demi satu.
Adapun Fatimah, ia adalah putri terkecil dan baru menjadi seorang wanita dewasa setelah berada di Madinah. Ketika usianya mencapai delapan belas tahun, Abu bakar sahabat Nabi yang paling dekat dengan Nabi datang melamarnya, tetapi Nabi SAW menolak dengan lembut. Sesudah itu datang pula Umar bin Khattab meminang Fatimah, Nabi tetap menolak pinangan itu dengan lembut. Orang yang dipilih Rasullullah SAW sudah terkenal, ia merupakan keluarga terdekat Nabi. Dia adalah Ali bin Abi Thalib, seorang pemberani, paling cerdas otaknya dan berkemauan kuat. Dia adalah orang yang pertama-tama masuk Islam dan beriman kepada Allah, seorang mujahid kecil dalam Islam. Usia Ali empat tahun lebih tua dari usia Fatimah. Dia dididik di rumah Fatimah sejak kecil. Dia percaya pada Nabi dan senantiasa mendampingi Nabi sepanjang hayatnya. Dia tidak pernah ketinggalan dalam ghazwah, atau peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah SAW sendiri, dan dia senantiasa diberi keutamaan untuk memikul panji-panji Islam di medan perang. Ali dan Fatimah seperti saudara dan teman, Fatimah senang pada Ali dan senantiasa terharu dengan keberanian, ketangkasan dan kecerdasannya. Fatimah tahu bahwa Ali menyukainya tapi karena Ali seorang yang miskin dia tidak pernah mengatakan tentang keinginannya untuk menikah. Dia senantiasa sibuk dengan urusan jihad dan perang, sehingga dia tidak pernah mengurus kepentingan dirinya, seperti berniaga ataupun bekerja.
Setelah Nabi SAW menolak pinangan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib ingin menghadap Rasulullah SAW untuk meminangnya. Ia berjalan dengan agak malu. Keinginan dan cinta yang mendorongnya, tetapi rasa malu dan kemiskinan menghalanginya. Dia mengemukakan hasrat hatinya: “Aku ingin pergi kepada Rasulullah saw untuk meminang putrinya. Demi Allah, aku tidak mempunyai apa-apa”. Kemudian ia meminang Fatimah pada Rasulullah SAW, beliau bertanya: “Apakah engkau mempunyai sesuatu?” Aku menjawab, “Tidak”, Nabi SAW bertanya, “Dimana baju besimu yang pernah kuberikan kepadamu pada hari anu?” Aku menjawab, “Ia ada padaku”. Nabi SAW bersabda, “Berikanlah itu kepadanya”. Maka Ali menjual baju besi itu dan laku sebanyak lima ratus dirham (sekitar sepuluh gram emas) kemudian menjadikan uang itu sebagai mahar bagi putri Rasulullah SAW.
Dengan demikian, Rasul SAW memberi contoh bagi para bapak dalam menikahkan putri-putri mereka agar mereka memudahkannya dan tidak menyulitkannya. Beliau memberi contoh bagi para pemuda ynag beriman, jika akan menikah, meskipun tidak mempunyai perak atau emas, cukup dengan mengandalkan pertolongan Allah dan dekat hatinya, Allah pasti menolong setiap pemuda yang memelihara dirinya. Fatimah memberi contoh bagi para gadis beriman yang hanya mementingkan iman dan akhlak laki-laki yang akan menyuntingnya, bukan dirham atau dinarnya. Ia hanya mementingkan jiwa dalam rongga badannya, bukan harta berharga yang dibawa oleh kedua tangannya. Nabi SAW telah mengumumkan kepada para sahabatnya, bahwa sebaik-baik mahar ialah yang paling ringan.
   Ketika Ali dinikahkan dengan Fatimah, ia tidak menggaulinya melainkan setelah beberapa bulan kemudian. Hal itu dilakukan setelah kemenangan Islam di Badar. Pernikahan Ali dan Fatimah sangatlah sederhana begitu juga kehidupan rumah tangganya. Perlengkapan rumah tangganya hanyalah tikar dan bantal dari kulit yang berisi ijuk, alat penggiling gandum, wadah air dari kulit dan dua buah kendi. Itulah perlengkapan pemimpin kaum wanita dan putri seorang pemimpin para Nabi. Ketika malam pengantin tempat tidur Ali dan Fatimah adalah kulit kibas. Dengan kesederhanaan itu, berlangsunglah malam pengantin yang diberkati Allah, sebagaimana telah berlangsung pernikahan, mahar dan perlengkapannya, tanpa kerumitan dan hambatan maupun berlebih-lebihan. Rasul SAW bersabda kepada Ali pada malam pengantin: “Jangan berbuat sesuatu hingga aku datang kepada kalian”. Maka beliau datang kepada keduanya, lalu memanggil Fatimah. Kemudian Fatimah menghampiri sambil memegangi bajunya dan agak malu-malu.
Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Aku tidak ragu-ragu menikahkan engkau dengan orang yang paling kucintai diantara keluargaku”. Beliau menyuruh mengambil air lalu berwudhu darinya, kemudian memercikkan air kepada keduanya seraya berdo’a: ”Ya Allah, berkatilah keduanya, dan berkatilah keturunannya”. Allah menerima do’a itu dan memberkati keturunan Ali dan Fatimah. Keturunan Nabi SAW terputus semua kecuali dari Fatimah r.a.
Selama Ali membina rumah tangga dengan Fatimah tidaklah menempuh jalan yang bertaburkan bunga-bunga dan wewangian, tetapi beralaskan duri-duri dan berlumuran darah. Ali adalah seorang laki-laki yang miskin, ia tidak mewarisi emas maupun permata dari ayahnya dan tidak pula unta atau kambing. Ali harus bekerja membanting tulang untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Disamping itu Ali harus selalu siap untuk berjihad dalam waktu lama, untuk menegakkan pilar-pilar Islam melawan kaum musyrikin, yahudi dan munafik.
   Az-zahra’ harus berbagi penderitaan hidup, beban jihad, dan kepayahan dengan suaminya didalam mengarungi kehidupannya. Az-zahra’ telah melakukan dengan baik, sabar dan tabah. Ia adalah pembantu atas kewajiban-kewajiban agama dan tuntutan-tuntutan duniawi.  Dalam rumah tangga Fatimah dan Ali tidak mempunyai pembantu, kecuali seorang wanita mulia, ibu dari Ali yang bernama Fatimah binti Asab. Ali bin Abi Thalib merasa bingung antara usaha keras untuk berbakti dan menyenangkan ibunya dengan keinginannya menghormati dan melindungi seorang istri. Tetapi tenaga dan kemampuan tidak mencukupinya, sehingga ia membagi pekerjaan antara keduanya dengan kasih sayang yang disetujui kedua orang itu. Maka Ali r.a berkata kepada ibunya: “Cukupilah putri Rasulullah SAW dengan menyediakan air dan pergi untuk suatu keperluan dan ia akan mencukupimu dengan pekerjaan dirumah yaitu menggiling gandum, membuat adonan dan membakar roti”.
Fatimah istri Ali dan yang lain Fatimah ibu Ali hidup dalam suasana kerukunan, cinta dan keserasian di luar kebiasaan yang berlangsung antara istri dan mertua. Ali bekerja keras dalam mencari sesuap makanan dan memasuki setiap pintu rezeki yang halal. Itulah kehidupan putra paman Rasulullah SAW dengan isterinya yaitu putri Rasulullah SAW.
Tatkala Allah mengaruniai rezeki kepada Rasul-Nya dan beliau memperoleh rampasan perang, Ali berkata kepada Fatimah: “Aku mengambil air hingga terasa sakit dadaku. Allah telah mengaruniai ayahmu tawanan-tawanan, maka pergilah dan mintalah pelayan kepada ayah!” Maka Fatimah berkata: “Demi Allah, aku telah menggiling dengan alat penggiling hingga lecet kedua tanganku”. Kemudian Fatimah mendatangi Nabi SAW. Beliau bersabda: ”Mengapa engkau datang hai Fatimah?” Fatimah menjawab: “Saya datang untuk memberi salam kepada ayah!” Ia merasa malu untuk meminta kepada ayahnya dan pulanglah ia kerumahnya. Ali bertanya: “Apa yang engkau lakukan?” Fatimah menjawab: “Aku merasa malu untuk meminta kepadanya”. Maka Ali memutuskan untuk mendatangi Nabi SAW secara bersama-sama. Kemudian keduanya berangkat ke rumah Nabi SAW. Ali berkata: “Ya Rasulullah, saya mengambil air hingga terasa sakit dada ini”. Fatimah berkata: “Saya telah menggiling gandum hingga lecet kedua tangan saya. Allah telah mengaruniai Ayah tawanan-tawanan dan harta rampasan perang, maka berilah kami pelayan!” Rasulullah bersabda: “Demi Allah! Aku tidak akan memberi kalian berdua dan membiarkan penghuni Shuffah keroncongan perut mereka, karena aku tidak punya sesuatu untuk memberi nafkah kepada mereka”. Fatimah kembali pulang bersama suaminya. Nabi SAW datang menyusul, sedangkan mereka berdua telah memasuki selimut. Sedangkan selimut mereka sangat kecil (bila menutupi kepala tampak kaki mereka dan bila menutupi kaki terlihat kepala mereka), lalu keduanya bangkit. Nabi SAW bersabda: “Tetaplah ditempatmu!. Maukah kalian kuberi tahu sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta dariku?” Keduanya menjawab: “Ya!” Nabi SAW bersabda: “Ada beberapa kalimat yang diajarkan malaikat Jibril kepadaku: Kalian bertasbih kepada Allah sepuluh kali setiap selesai salat, kalian ucapkan Alhamdulillah sebanyak sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali. Bila kalian mendatangi tempat tidur, ucapkan tasbih (Subhanallah) sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 33 kali, ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pelayan”. Ali berkata: “Demi Allah, aku tidak meninggalkannya sejak Rasulullah SAW mengajarkannya kepadaku”. Rasulullah menambahkan kepada keduanya sebuah kewajiban baru. Dan menambahkan pekerjaan materialnya pada sebuah  pekerjaan rohani. Akan tetapi seorang ‘arifin (orang-orang yang arif dan bijaksana) mengetahui, bahwa kesibukan manusia dengan sasaran-sasaran rohani membuat lupa pada penderitaan material dan jasmani. Maka ia hidup di dunia dengan hati penghuni akhirat, dan hidup di bumi seakan-akan ia penghuni langit. Itu sebabnya Nabi SAW melakukan puasa terus-menerus dan berkata: ”Siapakah diantara kamu yang seperti aku? Aku tidur dengan diberi makan dan minum oleh Tuhanku”.
Fatimah telah menjalani hidupnya bersama Ali sebagai istri yang tulus dan pemaaf, meskipun Ali seorang yang keras, ia senantiasa sabar dan ridha, kendati suaminya sulit dan miskin. Ali telah mengetahui keutamaan Fatimah dan menghargai tenaganya dalam kehidupan suami-istri. Ali selalu menyebut itu sepanjang hidupnya. Pada suatu kali, ia berkata kepada Ibnu A’bad: ”Hai Ibnu A’bad! maukah kuberitahukan kepadamu tentang aku dan Fatimah?”
“Ia adalah putri Rasulullah dan yang paling dimuliakan diantara keluarganya disamping menjadi istriku. Maka ia menggiling dengan alat penggiling hingga lecet kedua tangannya. Ia mengambil air dengan qirbah hingga melukai dadanya. Ia membersihkan rumah hingga berdebu bajunya. Ia menyalakan api di bawah tungku hingga mengotori dan melukainya.
Pada tahun ketiga dan keempat hijrah, Fatimah telah melahirkan dua orang anak, satu demi satu yaitu Al-Hasan dan Al-Husain, ketika itu usia Nabi SAW baru mencapai 57 tahun. Dengan kedatangan dua orang cucu ini dalam kehidupan Nabi saw membuat kehidupan Nabi SAW berbahagia khususnya setelah 17 tahun dari wafatnya Siti Khadijah. Pada tahun itu Nabi telah menikah 5 kali akan tetapi dari kelima istrinya nabi tidak mendapat keturunan. Inilah yang menyebabkan Nabi SAW menganggap kedua cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain sebagai anak-anaknya sendiri. Anas bin Malik menceritakan kepada kita, bahwa Nabi SAW senantiasa berkata pada Fatimah: “Bawalah kedua anak-anakku itu kemari...!” Bila telah datang Al-Hasan dan Al-Husain Nabi SAW memeluk dan mencium mereka. Usamah bin Zaid r.a menyebutkan sebuah hadist dari Rasulullah SAW: “Kedua anak-anak ini adalah anak-anakku, dan anak-anak putriku! Ya Allah! Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku mencintai mereka, maka cintailah mereka dan cintailah siapa yang mencintai mereka!”.
Pada tahun kelima hijrah, Fatimah melahirkan seorang anak lagi, yang dinamakan Zainab, namanya sama dengan nama saudara perempuannya yang telah meninggal dunia. Pada tahun ketujuh hijrah Fatimah melahirkan seorang anak lagi yang dinamakan dengan nama Ummu Kaltsum padahal kakak Fatimah yang bernama Ummu Kaltsum masih hidup.

Kedudukan Fatimah terhadap Rasulullah SAW.
Fatimah adalah putri terkecil Nabi SAW dan paling disayanginya. Ia mirip dengan Nabi SAW dalam bentuk dan akhlaknya, dan anak terakhir yang masih hidup sesudah beliau wafat. Maka, tidaklah mengherankan bila Nabi SAW sangat mencintai dan menyayanginya. Ummul Mukminin, Aisyah telah menyebut hal itu dengan berkata: “Tidaklah kulihat orang yang lebih mirip dengan Rasulullah SAW bentuk dan perilakunya dalam tingkah berdiri dan duduknya, kecuali Fatimah binti Rasulullah SAW, beliau menyambut dan menciumnya, lalu duduk ditempatnya. Apabila Nabi SAW masuk ke rumah Fatimah, maka iapun menyambut dan mencium ayahnya, lalu mempersilahkan duduk ditempat duduknya”.
Naluri kebapakan Nabi SAW muncul dan memancar dalam bentuknya yang terbesar ketika bani Hisyam, Ibnu Mughirah, meminta izin dari Nabi untuk menikahkan Ali bin Abi Thalib dengan putri Abu Jahal. Maka beliau menolak permintaan mereka dan berdiri di atas mimbar seraya bersabda: “Bani Hisyam, Ibnu Mughirah, meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Maka aku tidak mengizinkannya, kemudian aku tidak mengizinkannya. Sekali lagi aku tidak mengizinkan, kecuali bila Ali bin Abi Thalib ingin menceraikan putriku dan menikahi anak mereka. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya sama dengan menyusahkan aku, dan apa yang mengganggunya sama dengan menggangggu aku. Aku khawatir Fatimah terganggu agamanya, sedangkan aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidaklah boleh berkumpul putri Rasulullah SAW dengan anak musuh Allah dalam satu rumah untuk selama-lamanya”. Perasaan hangat kepada putrinya Fatimah segera mengendur dan padam bilamana menghadapi suatu hukum Allah. Beliau selalu menjadikan Fatimah sebagai contoh bagi kaum muslimin.
Beliau bersabda mengenai urusan dunia: “Demi Allah, andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, tentu kupotong tangannya”. Beliau bersabda pula mengenai urusan akhirat: “Hai Fatimah binti Muhammad! Beramallah! Beramallah!, karena aku tidak menolongmu terhadap Allah sedikit pun. Barang siapa yang kurang amalnya, tidaklah ia dapat ditolong nasabnya”.

Meninggalnya Fatimah
Sesungguhnya kehidupan yang nyaman dan enak tidak membuat jiwa-jiwa besar. Jiwa-jiwa besar dihasilkan di sekolah penderitaan dan hati yang besar dibuat setelah diluluhkan dalam tungku kesedihan. Allah telah menghendaki untuk meluluhkan hati Fatimah di tungku ujian dan mematangkannya dengan panasnya kesedihan.
Ia merasakan kesedihan atas kematian ibunya, ketika ia masih kecil, dan merasakan pula kedukaan atas kematian semua saudaranya (laki-laki dan wanita). Dan ia semakin bertambah penderitaannya  ketika kehilangan ayah dan kasihnya teragung, Muhammad Rasulullah SAW. Fatimah menyaksikan derita penyakit Rasulullah SAW yang terakhir dan ia pergi setiap hari untuk menjenguknya. Maka beliau bangkit dan menciumnya seperti biasanya dikala sehat. Tatkala beliau merasa penyakitnya semakin berat, timbul kekhawatirannya, bahwa Fatimah akan sangat tergoncang oleh kematiannya.
Maka Nabi SAW memberitahu kepadanya kabar gembira yang meringankan akibat musibah itu. Aisyah berkata: “Fatimah datang sambil berjalan dan jalannya mirip dengan jalan Rasulullah SAW, lalu Nabi SAW bersabda: “Selamat datang putriku!” Kemudian beliau menyuruhnya duduk di sebelah kanannya, lalu membisikkan sesuatu kepadanya. Kemudian Fatimah menangis, lalu Nabi SAW membisikkan sesuatu kepadanya, maka Fatimah tersenyum”. Aku berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti hari ini, engkau lebih banyak gembira daripada bersedih. Aku menanyainya tentang apa yang dikatakan Nabi SAW. Fatimah menjawab: “Aku tidak bakal menyiarkan rahasia Rasulullah SAW”. Tatkala Nabi SAW wafat, aku bertanya lagi kepada Fatimah. Maka ia memberitahukan kepadaku, bahwa beliau mengatakan: “Malaikat Jibril datang kepadaku setiap tahun sekali untuk memeriksa hafalanku terhadap Al-Qur’an. Pada tahun ini malaikat Jibril datang kepadaku dua kali dan pasti ajalku sudah datang. Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang menyusulku diantara keluargaku dan aku adalah sebaik-baik pendahulumu”. Maka aku menangis. Kemudian beliau bersabda: “Tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita seluruh alam? Maka akupun tertawa”. (H.R.Bukhari-Muslim)
Kadang-kadang penyakit demam menghebat pada Rasulullah SAW hingga beliau pingsan. Kemudian beliau sadar dan merasakan kesakitan yang sangat. Fatimah melihat hal itu, maka berpindahlah kesedihan itu dari tubuh ayahnya ke urat-urat jantungnya, sehingga seperti tersayat-sayat rasanya. Fatimah menjerit: “Aduhai susahnya Ayah!” Nabi SAW mendengar dan menjawabnya: “Tiada kesusahan atas ayahmu sesudah hari ini”. Beliau maksudkan dirinya akan berpindah dari dunia yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan menuju alam yang tidak ada kesengsaraan dan penderitaan.
Nabi SAW menghadap Ar-Rafiqul A’laa (Allah saw) dengan meninggalkan putrinya yang bersedih dalam usia 30 tahun. Enam bulan kemudian terbuktilah ucapan Rasulullah SAW, dan Fatimah adalah orang pertama dari keluarga Rasul SAW yang menyusul beliau. Pada hari selasa tanggal 3 Ramadhan tahun 11 Hijriah. Jasad yang suci itu dimakamkan ditanah Al-Baqi’ yang diberkati pada malam hari, sebagaimana telah diwasiatkan dengan meninggalkan sebutan yang baik kepada orang orang lain dan contoh yang baik bagi wanita-wanita beriman serta keturunan yang baik dan bersambung dengan Rasul yang mulia.

0 komentar:

Post a Comment