FATIMAH AZ- ZAHRA’
Fatimah
Az-zahra’ adalah putri Nabi Muhammad SAW yang paling bungsu dari istrinya yang
bernama Khadijah binti khuwailid (556-619). Dia seorang wanita yang tegas,
tegar dan berkemauan kuat. Otaknya sangat cerdas sehingga Fatimah mendapat
julukan Az-zahra’ (yang cemerlang). Suaminya bernama Ali bin Abi Thalib
(603-661) khalifah keempat setelah Nabi Muhammad. Ali merupakan cucu Abdul
Muthalib, keturunan mulia dari Hasyim. Fatimahlah yang melahirkan Hasan,
Husein, Zainab, dan Ummu Kaltsum. Fatimah lahir di Mekah pada tanggal 20
Jumadil akhir 18 SH/ 605 M. Ia dan suami serta kedua putranya adalah orang yang
terdekat dengan Nabi SAW, dan paling dimuliakannya.
Warisan Sifat dan Pendidikan
Garis dan
watak serta pemikirannya digambarkan oleh tangan taqdir melalui faktor-faktor
warisan yang dipindahkan kepadanya dari ibu-bapak dan kakeknya dalam bentuk
akhlaknya yang ditakdirkan baginya.
Garis-garis
terinci bagi akhlaknya dan tingkah laku serta kepribadiannya, terbentuk oleh lingkungan
dimana ia hidup dan khususnya rumah yang menampungnya diwaktu kecil, yakni ibu
dan bapaknya. Suasana keluarga yang sangat kondusif ini, membawa dampak positif
dalam perkembangan pribadi dan akhlaknya. Banyak ilmu-ilmu kehidupan, jiwa,
akhlak dan sosial saat ini yang mengambil tamsil dan ibarat dari keluarga tersebut.
Hal itulah yang ditetapkan oleh agama sebelumnya ketika mengakui dampak warisan
sifat, maka ia berkata: “Pilihlah (istri) bagi keturunanmu”.
Fatimah
mewarisi sifat bapak dan ibunya sesuai dengan kehendak Allah, dia dilahirkan
dalam sebuah rumah yang diliputi cinta dan dinaungi kejernihan, antara seorang
ayah yang dijuluki kaumnya Al-Amin (yang terpercaya) dan ibu yang dijuluki
Ath-Thahirah (yang suci) yang mana Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin pemuda
Quraisy dan khadijah pemimpin wanita Quraisy. Fatimah telah memiliki warisan
sifat termulia dan termahal serta rumah tangga yang termulia dan tersuci.
Fatimah
dilahirkan beberapa waktu sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Nabi. Ada beberapa riwayat yang
berlainan mengenai waktunya, ada yang berpendapat lima tahun, ada yang kurang dan ada yang
lebih. Fatimah dilahirkan ketika nabi menyiapkan diri untuk menerima tugas
terbesar dialam ini. Tepat pada usia 40 tahun, Allah menurunkan wahyu kepada
Muhammad, mengutusnya kepada manusia seluruhnya, dan kepada kaumnya secara
khusus. Maka Allah menghendaki Fatimah dibesarkan dalam naungan kenabian dan
pangkuan kerasulan. Seakan-akan ia menjadi besar bersama dakwah dan tumbuh
bersama penyebarannya. Secara
sadar atau tidak Fatimah menyaksikan bagaimana usaha ayahnya dalam menyiarkan
agama Islam kepada keluarga dan kaumnya. Dia menyaksikan begitu besar usaha
orang-orang kafir dalam menindas dan berusaha membunuh Nabi Muhammad SAW.
Ketika ayahnya memasuki Syi’ib, Fatimah ikut merasakan lapar, kesulitan akibat
pemboikotan, larangan, dan merasakan gangguan yang menimpa ayah, keluarga dan
para sahabatnya. Umat Islam pada waktu itu diboikot selama tiga tahun. Setelah
pemboikotan berakhir, Fatimah kembali kerumahnya dan barulah dia merasa gembira
lagi untuk menjalani masa kanak-kanaknya yang hilang.
Perasaan gembira dan bahagianya tidak lama,
karena secara tiba-tiba datang suatu masa dimana masa itu sangat berat
ditanggungnya dan pilu dirasakannya, yaitu ibunya yang sangat disayanginya
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Fatimah merasa sangat sedih sekali karena
kehilangan seorang ibu yang disayanginya. Kaum Musyrikin masih tetap saja
mengganggu Nabi, keluarga dan kaum Islam. Terkadang gangguan itu dengan
perkataan ataupun perbuatan yang buruk. Fatimah senantiasa menyaksikan,
merasakan apa yang menimpa ayahnya. Sebab dia masih kecil, maka dia senantiasa
menyertai ayahnya kemana saja dia pergi. Semua kejadian ini menyentuh hatinya,
seperti arus listrik dalam kawat. Ia ikut menyingkirkan kotoran yang
menyakitkan ayahnya, terkadang dengan kedua tangannya atau dengan air matanya.
Apa pula yang mampu dilakukan seorang gadis kecil untuk membela sang ayah yang
penyayang, yang diganggu kaum kafir didepan penglihatannya dan pendengarannya,
selain menumpahkan air matanya?
Pada suatu
hari Nabi SAW sholat di Ka’bah, sebagian orang-orang musyrik yang bodoh sedang
duduk, lalu bangkitlah orang yang paling celaka diantara mereka dan datang
dengan membawa kotoran unta, lalu dilemparkan kepada beliau. Beliau tetap sujud
hingga datang Fatimah, lalu menyingkirkan kotoran itu dari nabi. Ummul Jamil,
istri Abu Lahab melemparkan kotoran-kotoran dan benda-benda najis di depan
rumah nabi. Kemudian beliau menyingkirkan dengan tenang bersama Fatimah yang berusaha
membersihkan dan menyucikan tempat itu seperti semula.
Pada suatu
ketika seorang Quraisy yang jahat bertemu dengan Nabi SAW, lalu melemparkan
tanah keatas kepalanya. Kemudian beliau kembali ke rumahnya dengan kepala
berlumuran tanah. Maka bangkitlah Fatimah menghampiri nabi dan membersihkan
tanah itu sambil menangis.
Bagi seorang
ayah yang paling memberatkan adalah ketika melihat anak-anaknya yang kecil
menangis, lebih berat dari itu ialah bila seorang ayah melihat air mata
putri-putrinya yang masih kecil, dan lebih berat lagi dari semua itu ialah bila
air mata itu demi ayahnya sendiri. Maka, begitu Nabi SAW melihat air mata
Fatimah mengalir dikedua pipinya, beliaupun menabahkan hatinya sambil berkata
menghiburnya: “Jangan menangis wahai putriku, karena Allah melindungi ayahmu!”
Semua
penderitaan dan kepedihan hidup yang penuh dengan peristiwa pahit dan kesedihan
karena terputusnya kasih sayang ibunya, dia hadapi dengan penuh kesabaran dan
hati yang ikhlas, semua ini membentuk
jiwa Fatimah menjadi pribadi yang tangguh dan korektor yang luar biasa.
Pertarungan
terus berlangsung antara Nabi SAW dan kaum musyrikin yaitu berupa gangguan dari
pihak mereka dan kegigihan dari pihak Nabi SAW, hingga beliau melakukan hijrah
ke Madinah bersama Abu bakar. Kemudian beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan
Abu Rafi’ menuju Mekkah untuk membawa keluarganya. Maka keduanya melakukan
tugas itu dan kembali ke Madinah membawa istri Nabi SAW, yaitu Saudah binti
Zam’ah dan kedua putrinya, Fatimah dan Ummu Kaltsum.
Rumah Tangga Fatimah dan Ali
Nabi SAW
mempunyai empat orang putri, semuanya dari Khadijah. Yang tertua bernama
Zainab, kemudian Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan
yang terkecil Fatimah. Adapun
Zainab, ia dinikahi
oleh putra bibinya, yaitu Abu Ash Ibnu Rabi’, sedangkan ibunya bernama Halah
binti Khuwailid. Sedangkan Ruqayyah dan Ummu Kaltsum dinikahi oleh dua orang
putra Abu Lahab, yaitu Utbah dan Utaibah. Tatkala turun surat “Tabbat yadaa Abii Lahabin watabb” (binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sungguh ia akan celaka). Abu Lahab dan istrinya
menekan kedua putranya untuk menceraikan kedua putri Nabi Muhammad SAW. Maka
keduanya diceraikan, lalu dinikahi oleh Dzun Nurain (si empunya dua
cahaya), yaitu Utsman bin Affan, satu demi satu.
Adapun Fatimah, ia
adalah putri terkecil dan baru menjadi seorang wanita dewasa setelah berada di
Madinah. Ketika usianya mencapai delapan belas tahun, Abu bakar sahabat Nabi
yang paling dekat dengan Nabi datang melamarnya, tetapi Nabi SAW menolak dengan
lembut. Sesudah itu datang pula Umar bin Khattab meminang Fatimah, Nabi tetap
menolak pinangan itu dengan lembut. Orang yang dipilih Rasullullah SAW sudah
terkenal, ia merupakan keluarga terdekat Nabi. Dia adalah Ali bin Abi Thalib,
seorang pemberani, paling cerdas otaknya dan berkemauan kuat. Dia adalah orang
yang pertama-tama masuk Islam dan beriman kepada Allah, seorang mujahid kecil
dalam Islam. Usia Ali empat tahun lebih tua dari usia Fatimah. Dia dididik di rumah
Fatimah sejak kecil. Dia percaya pada Nabi dan senantiasa mendampingi Nabi sepanjang
hayatnya. Dia tidak pernah ketinggalan dalam ghazwah, atau peperangan yang
dipimpin oleh Rasulullah SAW sendiri, dan dia senantiasa diberi keutamaan untuk
memikul panji-panji Islam di medan
perang. Ali dan Fatimah seperti saudara dan teman, Fatimah senang pada Ali dan
senantiasa terharu dengan keberanian, ketangkasan dan kecerdasannya. Fatimah
tahu bahwa Ali menyukainya tapi karena Ali seorang yang miskin dia tidak pernah
mengatakan tentang keinginannya untuk menikah. Dia senantiasa sibuk dengan urusan
jihad dan perang, sehingga dia tidak pernah mengurus kepentingan dirinya,
seperti berniaga ataupun bekerja.
Setelah
Nabi SAW menolak pinangan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib
ingin menghadap Rasulullah SAW untuk meminangnya. Ia berjalan dengan agak malu.
Keinginan dan cinta yang mendorongnya, tetapi rasa malu dan kemiskinan
menghalanginya. Dia mengemukakan hasrat hatinya: “Aku ingin pergi kepada
Rasulullah saw untuk meminang putrinya. Demi Allah, aku tidak mempunyai apa-apa”.
Kemudian ia meminang Fatimah pada Rasulullah SAW, beliau bertanya: “Apakah
engkau mempunyai sesuatu?” Aku menjawab, “Tidak”, Nabi SAW bertanya, “Dimana
baju besimu yang pernah kuberikan kepadamu pada hari anu?” Aku menjawab, “Ia
ada padaku”. Nabi SAW bersabda, “Berikanlah itu kepadanya”. Maka Ali
menjual baju besi itu dan laku sebanyak lima
ratus dirham (sekitar sepuluh gram emas) kemudian menjadikan uang itu sebagai
mahar bagi putri Rasulullah SAW.
Dengan
demikian, Rasul SAW memberi contoh bagi para bapak dalam menikahkan putri-putri
mereka agar mereka memudahkannya dan tidak menyulitkannya. Beliau memberi
contoh bagi para pemuda ynag beriman, jika akan menikah, meskipun tidak
mempunyai perak atau emas, cukup dengan mengandalkan pertolongan Allah dan
dekat hatinya, Allah pasti menolong setiap pemuda yang memelihara dirinya.
Fatimah memberi contoh bagi para gadis beriman yang hanya mementingkan iman dan
akhlak laki-laki yang akan menyuntingnya, bukan dirham atau dinarnya. Ia hanya
mementingkan jiwa dalam rongga badannya, bukan harta berharga yang dibawa oleh
kedua tangannya. Nabi SAW telah mengumumkan kepada para sahabatnya, bahwa
sebaik-baik mahar ialah yang paling ringan.
Ketika
Ali dinikahkan dengan Fatimah, ia tidak menggaulinya melainkan setelah beberapa
bulan kemudian. Hal itu dilakukan setelah kemenangan Islam di Badar. Pernikahan
Ali dan Fatimah sangatlah sederhana begitu juga kehidupan rumah tangganya.
Perlengkapan rumah tangganya hanyalah tikar dan bantal dari kulit yang berisi
ijuk, alat penggiling gandum, wadah air dari kulit dan dua buah kendi. Itulah
perlengkapan pemimpin kaum wanita dan putri seorang pemimpin para Nabi. Ketika
malam pengantin tempat tidur Ali dan Fatimah adalah kulit kibas. Dengan
kesederhanaan itu, berlangsunglah malam pengantin yang diberkati Allah,
sebagaimana telah berlangsung pernikahan, mahar dan perlengkapannya, tanpa
kerumitan dan hambatan maupun berlebih-lebihan. Rasul SAW bersabda kepada Ali
pada malam pengantin: “Jangan berbuat sesuatu hingga aku datang kepada kalian”.
Maka beliau datang kepada keduanya, lalu memanggil Fatimah. Kemudian Fatimah
menghampiri sambil memegangi bajunya dan agak malu-malu.
Maka Nabi SAW
bersabda kepadanya: “Aku tidak ragu-ragu menikahkan engkau dengan orang yang
paling kucintai diantara keluargaku”. Beliau menyuruh mengambil air lalu
berwudhu darinya, kemudian memercikkan air kepada keduanya seraya berdo’a: ”Ya
Allah, berkatilah keduanya, dan berkatilah keturunannya”. Allah menerima
do’a itu dan memberkati keturunan Ali dan Fatimah. Keturunan Nabi SAW terputus
semua kecuali dari Fatimah r.a.
Selama Ali
membina rumah tangga dengan Fatimah tidaklah menempuh jalan yang
bertaburkan bunga-bunga dan wewangian, tetapi beralaskan duri-duri dan
berlumuran darah. Ali adalah seorang laki-laki yang miskin, ia tidak mewarisi
emas maupun permata dari ayahnya dan tidak pula unta atau kambing. Ali harus
bekerja membanting tulang untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Disamping
itu Ali harus selalu siap untuk berjihad dalam waktu lama, untuk menegakkan
pilar-pilar Islam melawan kaum musyrikin, yahudi dan munafik.
Az-zahra’ harus berbagi penderitaan hidup,
beban jihad, dan kepayahan dengan suaminya didalam mengarungi kehidupannya.
Az-zahra’ telah melakukan dengan baik, sabar dan tabah. Ia adalah pembantu atas
kewajiban-kewajiban agama dan tuntutan-tuntutan duniawi. Dalam
rumah tangga Fatimah dan Ali tidak mempunyai pembantu, kecuali seorang wanita
mulia, ibu dari Ali yang bernama Fatimah binti Asab. Ali bin Abi Thalib merasa
bingung antara usaha keras untuk berbakti dan menyenangkan ibunya dengan
keinginannya menghormati dan melindungi seorang istri. Tetapi tenaga dan
kemampuan tidak mencukupinya, sehingga ia membagi pekerjaan antara keduanya
dengan kasih sayang yang disetujui kedua orang itu. Maka Ali r.a berkata kepada
ibunya: “Cukupilah putri Rasulullah SAW dengan menyediakan air dan pergi untuk
suatu keperluan dan ia akan mencukupimu dengan pekerjaan dirumah yaitu
menggiling gandum, membuat adonan dan membakar roti”.
Fatimah istri
Ali dan yang lain Fatimah ibu Ali hidup dalam suasana kerukunan, cinta dan
keserasian di luar kebiasaan yang berlangsung antara istri dan mertua. Ali
bekerja keras dalam mencari sesuap makanan dan memasuki setiap pintu rezeki
yang halal. Itulah kehidupan putra paman Rasulullah SAW dengan isterinya yaitu
putri Rasulullah SAW.
Tatkala Allah
mengaruniai rezeki kepada Rasul-Nya dan beliau memperoleh rampasan perang, Ali
berkata kepada Fatimah: “Aku mengambil air hingga terasa sakit dadaku. Allah
telah mengaruniai ayahmu tawanan-tawanan, maka pergilah dan mintalah pelayan
kepada ayah!” Maka Fatimah berkata: “Demi Allah, aku telah menggiling dengan
alat penggiling hingga lecet kedua tanganku”. Kemudian Fatimah mendatangi Nabi SAW.
Beliau bersabda: ”Mengapa engkau datang hai Fatimah?” Fatimah menjawab:
“Saya datang untuk memberi salam kepada ayah!” Ia merasa malu untuk meminta
kepada ayahnya dan pulanglah ia kerumahnya. Ali bertanya: “Apa yang engkau
lakukan?” Fatimah menjawab: “Aku merasa malu untuk meminta kepadanya”. Maka Ali
memutuskan untuk mendatangi Nabi SAW secara bersama-sama. Kemudian keduanya
berangkat ke rumah Nabi SAW. Ali berkata: “Ya Rasulullah, saya mengambil air
hingga terasa sakit dada ini”. Fatimah berkata: “Saya telah menggiling gandum
hingga lecet kedua tangan saya. Allah telah mengaruniai Ayah tawanan-tawanan
dan harta rampasan perang, maka berilah kami pelayan!” Rasulullah bersabda: “Demi
Allah! Aku tidak akan memberi kalian berdua dan membiarkan penghuni Shuffah
keroncongan perut mereka, karena aku tidak punya sesuatu untuk memberi nafkah
kepada mereka”. Fatimah kembali pulang bersama suaminya. Nabi SAW datang
menyusul, sedangkan mereka berdua telah memasuki selimut. Sedangkan selimut
mereka sangat kecil (bila menutupi kepala tampak kaki mereka dan bila menutupi
kaki terlihat kepala mereka), lalu keduanya bangkit. Nabi SAW bersabda: “Tetaplah
ditempatmu!. Maukah kalian kuberi tahu sesuatu yang lebih baik daripada yang
kalian minta dariku?” Keduanya menjawab: “Ya!” Nabi SAW bersabda: “Ada beberapa kalimat yang
diajarkan malaikat Jibril kepadaku: Kalian bertasbih kepada Allah sepuluh kali
setiap selesai salat, kalian ucapkan Alhamdulillah sebanyak sepuluh kali, dan
bertakbir sepuluh kali. Bila kalian mendatangi tempat tidur, ucapkan tasbih
(Subhanallah) sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 33 kali,
ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pelayan”. Ali berkata: “Demi
Allah, aku tidak meninggalkannya sejak Rasulullah SAW mengajarkannya kepadaku”.
Rasulullah menambahkan kepada keduanya sebuah kewajiban baru. Dan menambahkan
pekerjaan materialnya pada sebuah
pekerjaan rohani. Akan tetapi seorang ‘arifin (orang-orang yang
arif dan bijaksana) mengetahui, bahwa kesibukan manusia dengan sasaran-sasaran
rohani membuat lupa pada penderitaan material dan jasmani. Maka ia hidup di dunia
dengan hati penghuni akhirat, dan hidup di bumi seakan-akan ia penghuni langit.
Itu sebabnya Nabi SAW melakukan puasa terus-menerus dan berkata: ”Siapakah
diantara kamu yang seperti aku? Aku tidur dengan diberi makan dan minum oleh
Tuhanku”.
Fatimah telah
menjalani hidupnya bersama Ali sebagai istri yang tulus dan pemaaf, meskipun
Ali seorang yang keras, ia senantiasa sabar dan ridha, kendati suaminya sulit
dan miskin. Ali telah mengetahui keutamaan Fatimah dan menghargai tenaganya
dalam kehidupan suami-istri. Ali selalu menyebut itu sepanjang hidupnya. Pada
suatu kali, ia berkata kepada Ibnu A’bad: ”Hai Ibnu A’bad! maukah kuberitahukan
kepadamu tentang aku dan Fatimah?”
“Ia adalah
putri Rasulullah dan yang paling dimuliakan diantara keluarganya disamping
menjadi istriku. Maka ia menggiling dengan alat penggiling hingga lecet kedua
tangannya. Ia mengambil air dengan qirbah hingga melukai dadanya. Ia
membersihkan rumah hingga berdebu bajunya. Ia menyalakan api di bawah tungku
hingga mengotori dan melukainya.
Pada tahun
ketiga dan keempat hijrah, Fatimah telah melahirkan dua orang anak, satu demi
satu yaitu Al-Hasan dan Al-Husain, ketika itu usia Nabi SAW baru mencapai 57
tahun. Dengan kedatangan dua orang cucu ini dalam kehidupan Nabi saw membuat
kehidupan Nabi SAW berbahagia khususnya setelah 17 tahun dari wafatnya Siti
Khadijah. Pada tahun itu Nabi telah menikah 5 kali akan tetapi dari kelima
istrinya nabi tidak mendapat keturunan. Inilah yang menyebabkan Nabi SAW
menganggap kedua cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain sebagai anak-anaknya sendiri.
Anas bin Malik menceritakan kepada kita, bahwa Nabi SAW senantiasa berkata pada
Fatimah: “Bawalah kedua anak-anakku itu kemari...!” Bila telah datang
Al-Hasan dan Al-Husain Nabi SAW memeluk dan mencium mereka. Usamah bin Zaid r.a
menyebutkan sebuah hadist dari Rasulullah SAW: “Kedua anak-anak ini adalah
anak-anakku, dan anak-anak putriku! Ya Allah! Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku
mencintai mereka, maka cintailah mereka dan cintailah siapa yang mencintai
mereka!”.
Pada tahun
kelima hijrah, Fatimah melahirkan seorang anak lagi, yang dinamakan Zainab,
namanya sama dengan nama saudara perempuannya yang telah meninggal dunia. Pada
tahun ketujuh hijrah Fatimah melahirkan seorang anak lagi yang dinamakan dengan
nama Ummu Kaltsum padahal kakak Fatimah yang bernama Ummu Kaltsum masih hidup.
Kedudukan Fatimah terhadap
Rasulullah SAW.
Fatimah adalah
putri terkecil Nabi SAW dan paling disayanginya. Ia mirip dengan Nabi SAW dalam
bentuk dan akhlaknya, dan anak terakhir yang masih hidup sesudah beliau wafat.
Maka, tidaklah mengherankan bila Nabi SAW sangat mencintai dan menyayanginya.
Ummul Mukminin, Aisyah telah menyebut hal itu dengan berkata: “Tidaklah kulihat
orang yang lebih mirip dengan Rasulullah SAW bentuk dan perilakunya dalam
tingkah berdiri dan duduknya, kecuali Fatimah binti Rasulullah SAW, beliau
menyambut dan menciumnya, lalu duduk ditempatnya. Apabila Nabi SAW masuk ke rumah
Fatimah, maka iapun menyambut dan mencium ayahnya, lalu mempersilahkan duduk
ditempat duduknya”.
Naluri
kebapakan Nabi SAW muncul dan memancar dalam bentuknya yang terbesar ketika
bani Hisyam, Ibnu Mughirah, meminta izin dari Nabi untuk menikahkan Ali bin Abi
Thalib dengan putri Abu Jahal. Maka beliau menolak permintaan mereka dan
berdiri di atas mimbar seraya bersabda: “Bani Hisyam, Ibnu Mughirah, meminta
izin kepadaku untuk menikahkan anak mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Maka aku
tidak mengizinkannya, kemudian aku tidak mengizinkannya. Sekali lagi aku tidak
mengizinkan, kecuali bila Ali bin Abi Thalib ingin menceraikan putriku dan
menikahi anak mereka. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, apa yang
menyusahkannya sama dengan menyusahkan aku, dan apa yang mengganggunya sama
dengan menggangggu aku. Aku khawatir Fatimah terganggu agamanya, sedangkan aku
tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Akan tetapi,
demi Allah, tidaklah boleh berkumpul putri Rasulullah SAW dengan anak musuh
Allah dalam satu rumah untuk selama-lamanya”. Perasaan hangat kepada
putrinya Fatimah segera mengendur dan padam bilamana menghadapi suatu hukum
Allah. Beliau selalu menjadikan Fatimah sebagai contoh bagi kaum muslimin.
Beliau bersabda
mengenai urusan dunia: “Demi Allah, andaikata Fatimah putri Muhammad
mencuri, tentu kupotong tangannya”. Beliau bersabda pula mengenai urusan
akhirat: “Hai Fatimah binti Muhammad! Beramallah! Beramallah!, karena aku
tidak menolongmu terhadap Allah sedikit pun. Barang siapa yang kurang amalnya,
tidaklah ia dapat ditolong nasabnya”.
Meninggalnya Fatimah
Sesungguhnya kehidupan yang nyaman dan enak
tidak membuat jiwa-jiwa besar. Jiwa-jiwa besar dihasilkan di sekolah
penderitaan dan hati yang besar dibuat setelah diluluhkan dalam tungku
kesedihan. Allah telah menghendaki untuk meluluhkan hati Fatimah di tungku ujian
dan mematangkannya dengan panasnya kesedihan.
Ia merasakan
kesedihan atas kematian ibunya, ketika ia masih kecil, dan merasakan pula
kedukaan atas kematian semua saudaranya (laki-laki dan wanita). Dan ia semakin
bertambah penderitaannya ketika
kehilangan ayah dan kasihnya teragung, Muhammad Rasulullah SAW. Fatimah
menyaksikan derita penyakit Rasulullah SAW yang terakhir dan ia pergi setiap
hari untuk menjenguknya. Maka beliau bangkit dan menciumnya seperti biasanya
dikala sehat. Tatkala beliau merasa penyakitnya semakin berat, timbul
kekhawatirannya, bahwa Fatimah akan sangat tergoncang oleh kematiannya.
Maka Nabi SAW
memberitahu kepadanya kabar gembira yang meringankan akibat musibah itu. Aisyah
berkata: “Fatimah datang sambil berjalan dan jalannya mirip dengan jalan
Rasulullah SAW, lalu Nabi SAW bersabda: “Selamat datang putriku!”
Kemudian beliau menyuruhnya duduk di sebelah kanannya, lalu membisikkan sesuatu
kepadanya. Kemudian Fatimah menangis, lalu Nabi SAW membisikkan sesuatu
kepadanya, maka Fatimah tersenyum”. Aku berkata: “Aku tidak pernah melihat
seperti hari ini, engkau lebih banyak gembira daripada bersedih. Aku
menanyainya tentang apa yang dikatakan Nabi SAW. Fatimah menjawab: “Aku tidak
bakal menyiarkan rahasia Rasulullah SAW”. Tatkala Nabi SAW wafat, aku bertanya
lagi kepada Fatimah. Maka ia memberitahukan kepadaku, bahwa beliau mengatakan:
“Malaikat Jibril datang kepadaku setiap tahun sekali untuk memeriksa
hafalanku terhadap Al-Qur’an. Pada tahun ini malaikat Jibril datang kepadaku
dua kali dan pasti ajalku sudah datang. Sesungguhnya engkau adalah orang
pertama yang menyusulku diantara keluargaku dan aku adalah sebaik-baik
pendahulumu”. Maka aku menangis. Kemudian beliau bersabda: “Tidakkah
engkau senang menjadi pemimpin wanita seluruh alam? Maka akupun tertawa”. (H.R.Bukhari-Muslim)
Kadang-kadang
penyakit demam menghebat pada Rasulullah SAW hingga beliau pingsan. Kemudian
beliau sadar dan merasakan kesakitan yang sangat. Fatimah melihat hal itu, maka
berpindahlah kesedihan itu dari tubuh ayahnya ke urat-urat jantungnya, sehingga
seperti tersayat-sayat rasanya. Fatimah menjerit: “Aduhai susahnya Ayah!” Nabi SAW
mendengar dan menjawabnya: “Tiada kesusahan atas ayahmu sesudah hari ini”.
Beliau maksudkan dirinya akan berpindah dari dunia yang penuh dengan
kesengsaraan dan
penderitaan menuju alam yang tidak ada kesengsaraan dan penderitaan.
Nabi SAW
menghadap Ar-Rafiqul A’laa (Allah saw) dengan meninggalkan putrinya yang
bersedih dalam usia 30 tahun. Enam bulan kemudian terbuktilah ucapan Rasulullah
SAW, dan Fatimah adalah orang pertama dari keluarga Rasul SAW yang menyusul
beliau. Pada hari selasa tanggal 3 Ramadhan tahun 11 Hijriah. Jasad yang suci
itu dimakamkan ditanah Al-Baqi’ yang diberkati pada malam hari, sebagaimana
telah diwasiatkan dengan meninggalkan sebutan yang baik kepada orang orang lain
dan contoh yang baik bagi wanita-wanita beriman serta keturunan yang baik dan
bersambung dengan Rasul yang mulia.
0 komentar:
Post a Comment