UMMUL MUKMININ ZAINAB
BINTI JAHSY
Silsilah Keluarga
Zainab dilahirkan di Makkah di tengah-tengah
keluarga bani Asad, pada tiga puluh
tahun sebelum kerasulan yaitu pada tahun 590 M. Dia tumbuh penuh dengan kemuliaan, kecantikan dan kedudukan
yang terpandang karena keturunanya. Al-Imam An-Nawawi berkata: “Zainab binti
jahsyi bin Riab Al-Asadiyah dijuluki ummul-hakam. Ibunya Umaimah binti Abdul-Muthalib,
adalah bibi Rasulullah. Anak pamannya adalah makhluk Allah yang paling mulia yaitu
rasulullah SAW. Dan pamannya adalah pemimpin para syuhada’ singa Allah dan
penunggang kuda Rasulullah SAW yaitu Hamzah bin Abdul-Muthalib.

Zainab binti
Jahsyi r.a. adalah satu-satunya wanita yang dinikahkan dari atas langit yang
ketujuh. Dan dia dikenal sebagai seorang wanita yang diberkahi karena lebih
dahulu masuk Islam, ikut berjihad dan berhijrah, yang sabar serta zuhud. Abu
Nua’im Al-Asybahany memulai biografi shahabiyah ini dalam “Al-Hilyah”,
berkata: “dia adalah seorang wanita yang khusyu”.
Golongan yang Pertama Masuk Islam
Islam mulai menyebar
di Umul-Qura’ dan Abdullah bin Jahsyi adalah termasuk orang yang pertama masuk
Islam. Ia mengakui kebenaran Islam dan mengimani ajaran- ajarannya. Begitu pula
saudaranya Zainab binti Jahsyi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebelumnya
dia sudah memiliki jiwa yang bersih, terhindar dari segala keburukan dan
tradisi jahiliyah. Karena itu dia menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih
pula, memurnikan keislamannya dengan keikhlasan yang membuatnya tampil sebagai
pemuka para wanita dunia dalam hal wara’kala itu, ketakwaan, kema’rufan,
kemurahan hati dan kebajikan.
Sebagai Pengikut Rombongan Muhajirin
Zainab binti
jahsyi senantiasa mencari ilmu dari orang-orang yang mendalami Al-Qur’an. Hatinya
senantiasa mengahadap Allah SWT dengan penuh pembenaran dan iman. Dia melihat
banyak orang berduyun-duyun masuk agama Allah, hal inilah yang membuat
orang-orang Quraisy semakin membenci Islam dan mereka senantiasa menghalangi
siapa saja yang ingin berjalan di jalan Allah. Namun Islam tetap berkembang
pesat, hal ini membuat orang Quraisy semakin sesak nafas. Apalagi dengan
berpindahnya Islam ke Madinah dan menyebar dengan sangat mudah di sana, semua
ini membuat orang Quraisy bertindak semakin brutal dalam menyiksa kaum muslimin,
mempersempit ruang gerak mereka serta merampas hak-hak mereka.
Akhirnya para
sahabat mengadukan hal ini terhadap Rasulullah SAW, namun yang bisa dilakukan Rasulullah
SAW hanyalah meneguhkan hati mereka, menyuruh mereka bersabar dan menjanjikan kepada
mereka jalan keluar dari masalah ini. Hingga Allah SWT mengizinkan kaum
muslimin hijrah ke Madinah. Bani Jahsyi
ikut berhijrah ke Madinah bersama Rasulullah dibawah pimpinan Abdullah
bin Jahsy, dan ikut pula dalam rombongan itu saudaranya yaitu Abu Ahmad bin
jahsy dan para wanita mereka; Zainab binti Jahsy, Humnah binti Jahsy (isteri
Mushab bin umair), dan Ummu Habib binti Jahsy (isteri Abdurrahman bin Auf). Keikutsertaan
mereka dalam berhijrah ke Madinah membawa pengaruh yang sangat besar dalam jiwa
para penguasa Quraisy. Rumah mereka yang mereka tinggalkan di Makkah dikuasai
oleh Abu Sufyan bin Harb. Ketika hal ini diadukan kepada Rasulullah SAW, Rasulullah
pun bersabda, “Apakah engkau tidak ridha wahai Abdullah, karena Allah SWT telah
memberimu rumah di surga yang lebih baik dari rumahmu itu?”.
Abdullah
menjawab, “benar ya Rasulullah”. Rasulullah berkata lagi, “yang demikian itu
baik bagimu”. Abu Ahmad bin Jahsy
merangkum sebuah syair tentang Hijrah Bani Jahsy ini, di dalamnya digambarkan
penyiksaan orang-orang Quraisy terhadap kaumya dan terhadap Rasulullah SAW.
Pernikahan Zainab Binti Jahsy Dengan Anak Angkat Rosulullah SAW
Ketika Islam
yang hanif datang, diantara tujuannya adalah menghilangkan perbedaan antara ummat
manusia yang didasarkan pada suatu fanatisme dan kebutaan jahiliyah, menjadi tidak
ada kelebihan yang dimiliki seseorang kecuali dengan takwa. Jadi, takwa
merupakan timbangan Islam, dan Nabi Muhammad SAW ingin mengimplementasikan
timbangan ini dengan mewujudkan persamaan antara manusia secara praktis.
Diantara salah satu caranya ialah dengan menikahkan Zainab binti Jahsy r.a.
yang masih terhitung kerabat dekat beliau dengan mantan budak, anak angkat beliau sendiri yaitu Zaid bin Haritsah r.a.
dengan begitu perbedaan-perbedaan itu dapat disingkirkan. Beliau menyampaikan
hal tersebut kepada Zainab dan melamarkannya untuk Zaid bin Haritsah r.a. Dalam
benak Zainab berkecamuk pikiran yang bermacam-macam, bagaimana mungkin dia harus menerima pernikahan yang
tidak seimbang ini? Bagaimana mungkin dia harus menikah dengan salah seorang
mantan budak, padahal dia seorang wanita terpandang dan terhormat serta
memiliki kedudukan yang tinggi?. Lalu dia bertanya kepada Rasullullah SAW,
“Wahai Rasulullah, aku tidak meridhainya bagiku karena aku adalah seorang
wanita Quraisy yang belum menikah”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Tapi aku
meridhainya bagimu”. Hingga turunlah wahyu Allah:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لهَمُ ُالخَيْرَةَ
مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا (الأحزاب: 36)
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila
Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka dan barang siapa mendustai
Allah dan Rasulnya maka sungguhlah dia telah sesat, dalam sesat yang nyata”
Maka dari itulah Zainab tidak mempunyai alasan untuk
menyalahi aturan Allah dan Rasulnya, sehingga diapun menikah dengan Zaid bin
Haritsah r.a. Zainab hanya mengikuti prinsip yang tidak melebihkan manusia
kecuali dengan takwa. Sementara Zaid bin Haritsah adalah salah seorang amir
jihad dan Nabi SAW pernah menjadikannya sebagai anak angkat ketika dia masih
kecil hingga tumbuh dewasa. Diapun kerap dipanggil Zaid bin Muhammad. Namun
turunlah wahyu Allah yaitu:
أُدْعُوْهُمْ ِلآبَائِهِمْ
هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لمَّ
ْتَعْلَمُوْا آبَآءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ (الأحزاب:
5)
“Panggillah mereka anak-anak
(angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka! Itulah yang lebih adil
pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai saudara-saudaramu) seagama dan maula-maulamu”.
Maka semenjak itulah hilang kebiasaan menjadikan seseorang
sebagai anak angkat yang menjadi kebiasaan masa jahiliyyah. Islam mensyariatkan
penataan masyarakat dan menguatkan hubungan kekeluargaan serta mengembalikan
hubungan nasab kepada asal yang sesungguhnya.
Zainab dan Zaid
Kehidupan Zaid dan Zainab berlangsung selama setahun,
kemudian muncullah perselisihan di antara mereka, apalagi setelah Islam
menghapuskan status anak angkat. Hal ini menyebabkan Zainab merasa lebih tinggi
daripada Zaid, maka semakin hari hubungan mereka semakin tidak harmonis, ini terjadi
karena hikmah yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Zaid bin Haritsah kemudian mengadu perihal sikap
Zainab ini kepada Rasulullah, maka Rasululah saw bersabda “Tahanlah isterimu dan
bertakwalah kepada Allah SWT”. Rasulullah
menyuruh Zaid agar menahan isterinya dan tidak menceraikannya. Namun, kehidupan
Zaid dan Zainab tidak bertambah baik, dan memang seperti itulah yang telah ditetapkan
oleh Allah yang hendak menghilangkan tradisi anak angkat dan hukum-hukum lain
yang menyertainya, seperti yang berlaku dalam tradisi jahiliyah. Zaid bin
Haritsah merasa menderita berdampingan dengan Zainab, karena tidak jarang dia
harus ribut dengannya, maka dia menemui Rasulullah SAW kembali dan meminta izin
untuk menceraikanya, dan Rasulullah saw bersabda, “Tahanlah isterimu dan
bertakwalah kepada Allah SWT”.
Pernikahan Zainab dan Rasulullah
Namun Rasulullah SAW menyadari bahwa perceraian
antara keduanya memang harus terjadi dan Allah memerintahkan beliau untuk
menikahi Zainab dalam rangka menghapus bid’ah anak angkat. Jibril sebelumnya
sudah memberitahukan, bahwa Zainab akan menjadi isteri beliau dan Allah akan menggugurkan
pernikahan Zaid dengan Zainab, dalam rangka menghapus tradisi jahiliyah.
Rasulullah merasakan tekanan tersendiri karena
masalah ini pasti akan menjadi pusat
gunjingan, karena Muhammad SAW telah menikahi mantan isteri anak
angkatnya. Beliau merasa bimbang karena hal ini, dan khawatir terhadap isu yang
akan disebarkan orang-orang munafik serta Yahudi. Namun Allah menegur beliau akan
perasaan ini, dan memerintahkan beliau agar tidak usah menghiraukan orang-orang
yang suka menggunjing tentang apa yang dihalalkan Allah. Karena itulah turun
wahyu yang menampakkan sebab pernikahan Nabi saw dengan Zainab,
وَإِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِي
أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوُجَكَ وَاتَّقِ
اللهَ وَتُخْفِي فيِ نَفْسِكَ
مَا اللهُ مُبْدِيْهِ
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخُشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا
وَطَرَّا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُوْنَ عَلَي المُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ
أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكاَنَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُوْلاً (الأحزاب: 37)
“Dan
ingatlah ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat
kepadanya dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya, tahanlah terus isterimu
dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang
Allah telah menyatakanya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala
Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikanya), kami
kawinlah kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan ketetapan Allah itu
pasti terjadi”.
Begitulah perintah Allah, lalu Rasulullah SAW
melaksanakan perintah itu tanpa sedikitpun merasa keberatan di dalam hati
beliau dan sesungguhnya perintah Allah itu sudah terukur. Dan begitulah Zainab
binti Jahsy mendapat kemulyaan dari Allah SAW karena Dia menjadikanya sebagai
salah satu ummahatul mukminin atau menjadi salah seorang isteri Nabi SAW yang
suci.
Al-Imam Muslim dan Al-Imam Ahmad meriwayatkan dengan
sanadnya Anas bin malik r.a berkata, “Setelah habis masa iddah Zainab,
Rasulullah saw bersabda kepada zaid “pergilah dan lamarlah ia bagiku”. Maka
pergilah Zaid menemui Zainab (mantan isterinya) yang saat itu sedang membuat
adonan roti, Zaid menuturkan, “Ketika aku
melihatnya, maka ada rasa yang menyesak dalam dadaku sampai-sampai aku tidak
berani melihatnya, bahwa Rasulullah SAW menghendaki dirinya. Maka aku berpaling
membelakanginya dan kukatakan padanya “wahai Zainab, terimalah kabar gembira,
karena Rasulullah SAW mengutusku untuk melamarmu”. Kemudian Zainab berkata, “Aku
tidak berani memutuskan sesuatu hingga aku menerima perintah dari Rabbku”. Lalu
dia pergi ke masjidnya dan turunlah wahyu kepada Rasulullah SAW, maka beliau
masuk ke tempatnya tanpa seizinya. Begitulah Allah SWT menikahkan Zainab dengan
Nabi-Nya, berdasarkan ayat-Nya karena itulah Zainab membanggakan dirinya di atas
Ummahatul mukminin. Kemudian dia berkata, “Kalian dinikahkan oleh keluarga
kalian, sedang aku dinikahkan Allah SWT dari atas langit yang ketujuh”. Ibnu
Abbas r.a berkata: ketika dia hendak
dinikahi Rasulullah SAW, maka diapun bersujud. Dalam riwayat lain diceritakan
bahwa ketika dia diberitahu bahwa Allah menikahkan Nabi-Nya dengan dirinya dan
turunnya ayat yang menjelaskan tentang hal ini maka diapun berpuasa selama dua
bulan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.
Ayat Hijab
Diantara barakah Zainab ummul mukminin r.a. dan
keutamaanya adalah turunnya ayat hijab, yaitu pagi hari setelah malam pengantinya
bersama Rasulullah SAW. Karena ketika beliau menikah dengan Rasulullah SAW
diadakan walimahan yang tidak pernah diadakan sebelumnya bagi para
isteri-isteri Rasul. Al-Bukhori dan Al-Muslim serta yang lainya meriwayatkan
kisah turunnya ayat hijab dari anas bin Malik r.a, beliau berkata: “Walimah Rasulullah
SAW dengan Zainab berupa roti dan daging. Aku diutus untuk menyampaikan
undangan, aku terus menyampaikan undangan sampai aku tidak lagi mendapatkan
undangan, yang ada hanyalah tiga orang yang sedang berbincang-bincang. Maka Rasulullah
keluar dan pergi ke bilik isteri-isteri beliau dan mengucapkan “Assalamualaikum
ya ahlal bait rahmatullah” kemudian mereka menjawab “Allaikas-salam wa
rahmatullah”. Kemudian Nabi SAW kembali ke rumah, ternyata tiga orang tersebut
masih berada di sana
sambil berbincang-bincang. Kemudian Nabi keluar lagi sampai ia mendapat kabar
bahwa mereka sudah pergi, maka beliau kembali lagi, dan ketika beliau
melangkahkan kaki di ambang pintu, yang satu di luar dan yang satu di dalam
beliau menjulurkan kain tabir antara diriku dan beliau. Lalu turun ayat hijab,
yaitu firman Allah:
ياَأَيُهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا لاَ تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ إِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى
طَعَامٍ غَيْرَ ناَظِرِيْنَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا
طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلاَ مُسْتَأْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إِنَّ ذَالِكُمْ كَانَ
يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِيْ مِنْكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحِي مِنَ الحَقِّ وَإِذَا
سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَالِكُمْ أَطْهَرُ
لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ وَمَا كَاَن لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلُ اللهِ
وَلاَ أَنْ تَنْكِحُوْا أَزْوَاجَه مِنْ بَعْدِه أَبَدًا إِنَّ ذَالِكُمْ كَانَ عِنْدَ
اللهِ عَظِيْمًا. (الأحزاب : 53)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi kecuali
kalian diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan
bila kamu selesai makan keluarlah kamu tampa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepada
kalian (untuk menyuruh kalian), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.
Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi)
maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikan itu lebih suci bagi hati
kalian dan hati mereka. Dan tidak boleh kalian menyakiti (hati) Rasulullah dan
tidak pula mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatannya amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al- Ahzab : 53).
Ayat hijab turun sebagai pelajaran dan petunjuk bagi
manusia, agar mereka tidak masuk rumah Nabi SAW tanpa izin. Jika mereka
diundang untuk makan, maka mereka boleh memasukinya, kemudian jika sudah makan,
mereka harus segera pergi, tidak boleh berlama-lama di sana dan juga tidak boleh berbincang-bincang.
Turunnya ayat hijab itu karena pengakuan terhadap
sikap Umar bin Al-Khaththab r.a. Dalam riwayat Al-Bukhory dari Anas bin Malik: Umar
berkata, “Wahai Rasullullah, orang yang baik dan buruk masuk rumah engkau.
Sekiranya engkau menyuruh Ummahatul-Mukminin untuk berhijab”. Karena itulah
turun ayat ini.
Di dalam Ath-Thabaqat
Al-Kubra, Ibnu Sa’ad
menyebutkan dari Anas, dia berkata, “Pertama kali turun ayat hijab saat
pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy. Hal itu terjadi pada tahun
kelima setelah hijrah. Semenjak itu Rasulullah memberlakukan hijab terhadap
istri- istri beliau. Pernikahan beliau dengan Zainab merupakan barakah atas wanita-wanita
Muslimah hingga hari kiamat, karena hijab diwajibkan atas putri- putri hawa,
agar menjadi petunjuk kemuliaan, kesucian dan kebersihan.
Bersama Rasulullah Dalam Peperangan dan Haji
Ketika Rasulullah pergi ke Tha’if beliau disertai dua
istri beliau, yaitu Ummu Salamah dan Zainab R.a. Pada saat itu beliau
mendirikan dua perkemahan, lalu beliau shalat di antara dua perkemahan
tersebut, selama beliau melakukan pengepungan terhadap Tha’if.
Ketika haji wada’, Zainab Ummul-Mukminin r.a. juga
ikut bersama Rasulullah. Pada saat itu beliau bersabda kepada para istri
beliau, “Sejak saat ini kalian tidak keluar lagi dari rumah dan hendaklah
kalian berada di atas tikar saja”. Pada saat itu semua istri beliau ikut menunaikan
haji kecuali Saudah binti Zum’ah. Zainab bintu Jahsy berkata, “Tidak ada hewan
tunggangan yang dapat menggerakkan kami sepeninggal Rasulullah SAW”.
Ibnu Sa’ad menyebutkan di dalam Ath-Thabaqat, dengan sanadnya, dia berkata, “Zainab binti Jahsy tidak
pernah lagi menunaikan haji setelah dia ikut menunaikan haji bersama
Rasulullah, hingga dia meninggal dunia pada masa khalifah Umar bin Al- Khatthab
pada tahun dua puluh hijriyah. Zainab menyadari wasiat Rasulullah ketika beliau
bersabda kepada para istri beliau, “Siapa pun di antara kalian yang bertakwa
kepada Allah dan tidak melakukan kekejian yang nyata, tetap berada di dalam rumahnya,
maka dia adalah istriku di akhirat”.
Zainab dan Aisyah
Ash–Shiddiqah binti Ash-Shiddiq Ummul-Mukminin Aisyah
r.a. merupakan kesaksian yang diberkahi tentang diri Ummul-Mukminin Zainab
binti Jahsy. Kesaksian ini bersifat khusus, yang menggambarkan kebenaran dan
kekaguman. Aisyah memberikan kesaksian kebaikan, kesucian, akhlaq yang mulia
dan pemeliharaan kehormatan bagi Zainab. Dia berkata, “Zainab binti Jahsy
sering membanggakan kedudukanku di sisi Rasulullah, aku tidak pernah melihat
seorang wanita yang lebih baik agamanya selain dari Zainab, dia juga lebih
bertakwa kepada Allah, lebih jujur perkataannya, paling banyak menyambung
hubungan keluarga dan paling besar shadaqahnya”.
Kesaksian kebaikan Zainab dari Aisyah ini merupakan
tanggapan balik kesaksian Zainab bagi Aisyah, yaitu ketika terjadi kasus berita
bohong. Pada saat itu Zainab memberikan kesaksian yang diberkahi dan suci bagi
Aisyah. Al-Bukhory meriwayatkan dalam Shohihnya dari hadist Aisyah, dia
berkata: Rasulullah bertanya kepada Zainab tentang urusanku, Beliau bertanya,
“Wahai Zainab apa yang engkau ketahui atau apa pendapatmu?” Dia menjawab,
“Wahai Rasulullah, aku tidak mengetahui kecuali yang baik”.
Kemudian Aisyah berkata, “Dialah yang membanggakan
aku dari para istri Rasulullah, lalu Allah memeliharanya dengan wara”. Semoga
Allah meridhoi Ummul- Mukminin Zainab binti Jahsy yang membenci fitnah. Dia
memohon kepada Allah agar dirinya dijauhkan dari orang-orang yang dengki dan
berbuat kerusakan, dengan begitu dia
mendapatkan apapun yang dia kehendaki. Dia tidak mengatakan kecuali kebaikan
dan tidak memberikan kesaksian kecuali secara benar, baik, dan adil.
Orang-orang yang terlibat dalam kasus berita bohong
ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin munafikin, Humnah binti Jahsy,
saudari Zainab, Misthah bin Utsatsah dan Hasan bin Tsabit. Namun mereka
bertaubat dengan taubat yang sebenarnya kecuali Abdullah bin Ubay. Belakangan
Hasan memberikan alasan tindakannya, lalu dia memuji Ash-Shiddiqah bintu Ash-Shiddiq,
kaena dia mendapatkan kesaksian dari langit yang tujuh. Dia mengatakan dalam
syairnya,
Dia wanita suci dan teguh hati tiada disangsikan
Kelaparanku karena berasal dari daging kelalaian
Dia berakal dan hidup berasal dari Lu’ay bin Ghalib
Dikenal sebagai orang-oang yang mulia dan beradab
Berakhlaq dan Allah pun membaguskan perangainya
Juga menyucikannya dari segala kebatilan dan noda
Kedudukan dan Keutamaan Zainab
Zainab binti Jahsy r.a. memiliki kedudukan yang
tinggi di sisi Rasulullah SAW. Dia juga mendapatkan perlakuan yang istimewa
dari beliau, setiap selesai shalat Ashar, maka beliau berkeliling mengunjungi
istri-istri beliau untuk menunjukkan perhatian dengan cara berbincang-bincang
dengan mereka. Boleh jadi beliau memakan waktu relatif agak lama di samping
sebagian istri beliau, sehingga istri yang lain mulai dirasuki rasa cemburu, suatu
hari beliau memasuki rumah Zainab binti Jahsy dan berdiam di sana serta minum madu, maka rasa cemburu
memasuki Aisyah dan Hafshah.
Al-Bukhary dalam sanadnya dari Aisyah r.a, dia
berkata, “Rasulullahu saw pernah minum madu di rumah Zainab bintu Jahsy dan
menetap di sana.
Lalu aku membuat kesepakatan dengan Hafshah bahwa siapa pun di antara kami yang
lebih dahulu ditemui Nabi saw setelah itu, maka dia harus mengucapkan kepada
beliau, “Engkau baru saja memakan getah yang baunya tidak sedap. Aku dapat
mencium baunya yang tak sedap pada diri engkau”. Beliau bersabda, “Tidak.” Tapi
baru saja aku meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy. Aku tidak akan
mengulanginya lagi dan janganlah engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun”.
Karena kejadian ini dan akibat-akibat lain yang
menyertainya, turunlah ayat, “Hai Nabi,
mengapa kamu mengharamlan apa yang Allah halalkannya bagimu; kamu mencari
kesenangan hati istri-isrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At-
Tahrim: 1). Lalu Rasulullah
membayar kafarat atas sumpahnya, dan para istri beliau bertaubat kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Di antara kelebihan Zainab binti Jahsy ialah
kesaksian Rasulullah SAW, berupa kekhusu’an. Kesaksian beliau inilah yang
mengangkat kedudukan Zainab hingga ke tingkatan yang tinggi dalam ibadah.
Abdullah bin Syaddad meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda kepada Umar bin Al-Khaththab,
“Sesungguhnya Zainab binti Jahsy adalah awwahah. Yaitu Khusyu’ dan merendahkan
diri, dan sesungguhnya Ibrahim adalah orang yang pengasih dan merendahkan diri”.
Karena itu Zainab binti Jahsy menyadari kedudukannya
di sisi Rasulullah dan dia suka membanggakan diri dari para istri beliau yang
lain karena tiga perkara. Dari Asy- Sya’by, dia berkata: Zainab pernah berkata
kepada Nabi, “Sesungguhnya aku benar-benar akan menunjukkan kepada engkau
tentang tiga perkara yang tak seorang pun di antara istri engkau yang
menunjukkannya: Sesungguhnya kakekku dan kakek engkau adalah satu, aku
dinikahkan Allah dengan engkau dari langit dan sesungguhnya yang menjadi
dutanya adalah Jibril”.
Dengan kebanggaan yang mendatangkan pujian inilah
Zainab binti Jahsy r.a. merasakan kemuliaan kekerabatan dengan Rasulullah SAW.
Dia juga membanggakan karena Allah-lah yang menikahkannya.
Inilah Ummul Mukminin Ummmu Salamah r.a. yang
mengisyaratkan kedudukan madunya, Zainab binti Jahsy di sisi Rasulullah. Dia
berkata, Rasulullah mempunyai kekaguman terhadap Zainab dan beliau sering
mengatakannya, bahwa Zainab adalah wanita yang shalihah, banyak berpuasa dan
mendirikan shalat malam.
Pujian terhadap Zainab
Ummul-mukminin Zainab menghimpun beberapa sifat yang
baik; kebaikan dalam amal kebajikan, kemurahan hati dan lain sebagainya. Maka
dari itu sering terlontar dari para madunya bahkan ketika beliau meninggal
Aisyah berkata, “Dia telah pergi sebagai wanita yang terpuji dan ahli ibadah,
yang suka menyantuni anak-anak yatim dan janda”.
Bahkan sering dikatakan pula tentang Zainab dihadapan
Aisyah hingga Aisyah memujinya, “Semoga Allah swt merahmati Zainab binti jahsy,
dia telah mendapatkan kemuliaan di dunia ini, yang tidak disaingi kemuliaan
yang lain. Sesungguhnya Allah menikahkanya dengan Nabi-Nya di dunia dan
menurunkanya dalam Al-Quran”. Begitu juga Ummul-mukminin Ummu Salamah memujinya
dengan perkataan, “Dia adalah wanita yang shalihah, banyak berpuasa dan shalat
malam”. Bahkan para ulama, seperti Al-Imam adz-Dzahabi r.a. berkata, “Dia
banyak beribadah dan banyak kebajikan dan shadaqahnya”, di lain tempat
dikatakan pula oleh Adzahabi untuk Zainab, “Dia termasuk pemuka Agama, wara’, murah
hati dan ‘arifah”. Dalam tarikhnya, Ibnu Katsir menyebutkan dirinya dan
memujinya dengan pujian yang harum, seraya berkata, “Zainab binti Jahsy r.a termasuk
wanita yang pertama-tama berhijrah, banyak melakukan kebaikan dan mengeluarkan
shadaqah”. Kemudian Adzahabi menukil pujian lain sebagai kesaksiannya terhadap
kelebihan Ummul Mukminin Zainab, dengan berkata, “Dia seorang wanita yang
shalihah, banyak berpuasa dan mendirikan shalat malam, biasa mengerjakan
sesuatu dan memberikan shadaqah kepada orang-orang miskin”.
Kemuliaan dan kezuhudan Zainab bintu Jahsy
Beliau bukanlah tipe orang yang suka menumpuk harta
atau apapun dari kesenangan dunia. Dia melakukan segala pekerjaanya sendiri,
menyamak kulit, menjahit lalu menjualnya serta menshadaqahkan hasilnya di jalan
Allah. Yang paling meunjukkan kemuliaanya adalah do’anya, di samping zuhudnya
dalam masalah harta sebanyak apapun harta yang ada ditangannya. Diceritakan
oleh Barzah bintu Raf’i dia berkata, “Ketika pembagian harta harus disalurkan,
maka Umar Al-Khattab mengirim utusan untuk memberikan bagian untuk Zainab,
ketika bagian itu sudah sampai kepada Zainab
maka dia berkata, “Semoga Allah mengampuni Umar, saudari-saudariku yang lain
lebih membutuhkan bagian ini dari pada diriku”, kemudian para utusan itu
bekata, ”ini semua memang menjadi milik engkau”, Zainab berkata ”Subhanallah”.
Dia memasang kantong kain dan berkata, “Tumpahkan harta itu disini” kemudian
berkata kepadaku “Masukkan tanganmu dan ambil segenggam harta ini lalu pergilah
kebani fulan dan bani fulan”. Dia menyebut beberapa orang kerabat dan anak-anak
yatim mereka, maka yang tersisa di dalam kain itu hanya sedikit harta. Aku
berkata, “Semoga Allah mengampuni engkau wahai Ummul-Mukminin. Demi Allah kita
juga memiliki hak terhadap harta ini”. Kemudian Zainab berkata, “Kalian berhak
mendapatkan apa yang menyisa di bawah kain itu”. Ternyata yang tersisa hanya
delapan puluh lima
dirham, lalu dia menengadahkan tangan ke langit dan berkata, “Ya Allah, semoga
aku tidak mau lagi menerima pemberian dari Umar setelah tahun ini”, maka pada
tahun itu pula Zainab meninggal dunia.
Ibnu Said meriwayatkan bahwa ketika diserahkan harta
kepada zainab, dia berkata, “Ya Allah, jangan sampai aku menerima lagi harta
ini pada tahun berikutnya karena ini dapat menjadi cobaan”. Lalu dia membagikannya
kepada kerabat-kerabatnya dan orang-orang yang membutuhkan, hingga semuanya
tersalurkan. Hal ini didengar Umar bin khattab, maka dia berkata, “Ini adalah
wanita yang hanya menghendaki kebaikan”. Lalu beliau berdiri di ambang pintu
rumah Zainab mengucapkan salam dan berkata. “Aku sudah mendengar apa yang
engkau bagi-bagikan”. Lalu Umar mengiriminya lagi seribu dirham agar dia
menahannya, tapi lagi-lagi Zainab membagi-bagikanya seperti yang sebelumnya.
Sebagai tambahan gambaran kezuhudan Zainab, ada
riwayat Ibnu Sa’d dalam thabaqaatnya berkata, “Zainab binti Zahsy r.a. tidak
pernah meningalkan satu dirhampun, dia mensadaqahkan apapun yang ada ditangannya,
sehingga dia menjadi tempat berlindung orang-orang miskin.
Kematian Zainab
Pada tahun ke-20 H bertepatan dengan 641 M, Zainab
Ummul Mukminin r.a. merasakan dekatnya saat untuk bersua dengan Allah, dan dia
selalu siap untuk perjumpaan yang diberkahi ini, maka ketika ajal menghapirinya
dia berkata, “Aku sudah menyiapkan kain kafanku, dan pasti Umar akan
mengirimkan kain kafan kepadaku, maka jika dia mengirimkanya untukku maka
shadaqahkanlah salah satu diantaranya. Jika kalian mampu menjulurkan kain kafan
ke seluruh jasadku, lalu kalian mensadaqahkan kain selimutku, maka lakukanlah”.
Zuhud di dunia dan kesenangannya untuk bershadaqah
dan berbuat kebajikan nampak pada saat-saat sakaratul maut. Alangkah mulia
ummul mukminin Zainab binti Jahsy, dia adalah ibu orang-orang miskin, semoga
Allah meridhainya dan membuatnya ridha. Pada detik-detik terakhir itu dia
berwasiat agar jasadnya diusung dengan dipan Rasulullah SAW, dan setelah itu
dia menutup mata untuk selama-lamanya. Dia adalah isteri Nabi SAW yang pertama
kali bersua dengan beliau.
Ketika kabar kematianya sampai kepada Umar, maka dia
berseru, “ketahuilah, tidak boleh ada yang masuk ke rumah Zainab kecuali kaum
kerabatnya sendiri”. Umar juga memerintahkan agar memasang tabir penutup. Asma
binti Umais r.a. berkata, “Aku pernah melihat penduduk Habasyah biasa membuat
usungan mayat. Maka dibuatlah usungan
mayat bagi Zainab, lalu usungan itu diselimuti kain, Umar melihat hal itu
bagus, maka dia berkata, “Ini adalah tandu tertutup yang paling bagus”. Barulah
setelah itu Umar menyuruh orang-orang, “Pergilah kalian ke rumah ibu
kalian!”. Maka orang-orang muslim
mengiringi jenazah Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy r.a. beserta saudaranya,
Abu Ahmad bin Jahsy r.a. ikut mengusung dipan saudarinya sambil mengeluarkan
tangisan yang sangat keras, dia adalah orang buta, maka Umar berkata kepadanya,
“Wahai Abu Ahmad, menyingkirlah dari dipan itu, agar orang-orang tidak bersikap
keras terhadap dirimu”. Saat itu musim kemarau dan sangat panas,
sementara orang-orang berkeliling di sekitar dipan. Abu Ahmad menjawab, “Wahai
Umar, inilah segala kebaikan yang kami dapatkan. Sesungguhnya tangisan ini
dapat mendinginkan hawa panas yang aku rasakan”. Lalu Umar berkata, “kalau
begitu lakukanlah”.
Al-Imam An-Nawai Rahimahullah menyebutkan bahwa
Zainab dikuburkan di baqi’. Yang menjadi Imam ketika menshalatinya ialah Umar
bin khattab, yang turun ke dalam kuburnya adalah Usamah bin zaid, Muhammad bin
abdullah bin Jahsy, Abdullah bin Ahmad bin Jahsy dan Muhammad bin Talhah bin
Abdullah, anak saudarinya Humnah, mereka semua termasuk mahram Zainab r.a. Saat
meninggal dunia, Zainab berusia lima
puluh tiga tahun. An-Nawawi dan Al-Asykari dan lainya menyebutkan bahwa Zainab r.a.
merupakan wanita yang pertama kali dibuatkan usungan jenazah, berdasarkan apa
yang diisyaratkan Asma’ binti Umais r.a.
Kabar gembira masuk surga
Firman Allah Swt:
ومن يطع الله ورسوله
يدخله جنات تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها وذالك الفوز العظيم (النساء-13)
“Dan
barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukanya
kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya,
dan itulah kemenangan yang besar”.
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy r.a. menjalani
hidup jauh dari kemewahan dunia, dia lebih mengutamakan kehidupan akhirat, dia
menjadikan kehidupan di dunia sebagai tempat untuk bercocok tanam untuk di akhirat
dan menyadari bahwa dunia ini tidak dapat menyamai satu sayap lalatpun di sisi
Allah, karena itu Dia beralih ke kehidupan beribadah dan mengasingkan diri, khususnya
setelah wafat Rasulullah SAW.
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy mendapatkan kabar
gembira sebagai penghuni surga dari Rasulullah SAW, karena dialah istri beliau
yang pertama kali bersua dengan beliau di surga setelah beliau wafat. Di dalam
Ash-shohihin disebutkan dan lafazd ini dari Muslim melalui Aisyah binti
Thalhah, dari Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata, “Orang yang lebih dulu bersua
dengan ku ialah yang paling panjang tangannya diantara kalian”. Aisyah
menuturkan, maka kamipun saling mengukur siapa diantara kami yang paling
panjang tangannya, ternyata yang panjang tangannya adalah Zainab, karena dia
biasa melakukan pekerjaan dengan tangannya sendiri dan juga banyak bershadaqah (bukan
panjang tangan menurut dzahirnya).
Pada kesempatan lain Aisyah r.a. menyebutkan bahwa
kabar gembira bagi Zainab binti Jahsy sebagai penghuni surga, disamping dia
menyebutkan perangai dan keutamaanya, dengan berkata, “Semoga Allah swt
merahmati Zainab binti Jahsy, karena dia
telah menerima kemuliaan di dunia ini yang tidak disamai dengan kemuliaan macam
apapun, Karena Allah menikahkan dengan Nabi-Nya di dunia dan menurunkan Al-Qur’an
tentang hal ini, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda kepada kami ketika
kami berada disekeliling beliau, “Orang yang lebih dahulu bersua denganku ialah
yang paling panjang lengannya diantara kalian”, Rasulullah saw memberitahukan
kesegeraannya bersua dengan beliau, yang berarti dia akan menjadi isteri Beliau
nanti di surga.
Zainab juga
sebagai perawi hadist Rasulullah saw sebanyak sebelas hadist sebagian
diantaranya ditakhrij di As-Shahihain, dua hadist disepakati Al-Bukhari dan
Muslim, adz-Dzahabi menyebutkan bahwa hadistnya disebutkan di Kutubus-sittah.
Adapun yang meriwayatkan darinya ialah anak saudaranya yaitu Muhammad bin
Abdullah Bin Jahsy, Ummul-Mukminin Ummu Habibah dan zainab bintu Abu Salamah.
0 komentar:
Post a Comment