ADS

Monday, 4 January 2016

UMMUL MUKMININ ZAINAB BINTI JAHSY



UMMUL MUKMININ ZAINAB
BINTI  JAHSY

 

Silsilah Keluarga

Zainab  dilahirkan di Makkah di tengah-tengah keluarga bani Asad,  pada tiga puluh tahun sebelum kerasulan yaitu pada tahun 590 M. Dia tumbuh penuh  dengan kemuliaan, kecantikan dan kedudukan yang terpandang karena keturunanya. Al-Imam An-Nawawi berkata: “Zainab binti jahsyi bin Riab Al-Asadiyah dijuluki ummul-hakam. Ibunya Umaimah binti Abdul-Muthalib, adalah bibi Rasulullah. Anak pamannya adalah makhluk Allah yang paling mulia yaitu rasulullah SAW. Dan pamannya adalah pemimpin para syuhada’ singa Allah dan penunggang kuda Rasulullah SAW yaitu Hamzah bin Abdul-Muthalib.
Saudaranya adalah pembawa bendera yang pertama kali dikibarkan dalam Islam dan orang yang pertama kali dipanggil Amirul mukminin, juga salah seorang syuhada’ yaitu, Abdulah bin jahsyi r.a. Saudaranya yang lain adalah penyair Islam, yaitu Abu-Ahmad bin Jahsyi dan saudara perempuanya termasuk wanita yang terlebih dahulu masuk Islam, yaitu Humnah binti Jahsyi.
Zainab binti Jahsyi r.a. adalah satu-satunya wanita yang dinikahkan dari atas langit yang ketujuh. Dan dia dikenal sebagai seorang wanita yang diberkahi karena lebih dahulu masuk Islam, ikut berjihad dan berhijrah, yang sabar serta zuhud. Abu Nua’im Al-Asybahany memulai biografi shahabiyah ini dalam “Al-Hilyah”, berkata: “dia adalah seorang wanita yang khusyu”.

Golongan yang Pertama Masuk Islam

Islam mulai menyebar di Umul-Qura’ dan Abdullah bin Jahsyi adalah termasuk orang yang pertama masuk Islam. Ia mengakui kebenaran Islam dan mengimani ajaran- ajarannya. Begitu pula saudaranya Zainab binti Jahsyi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebelumnya dia sudah memiliki jiwa yang bersih, terhindar dari segala keburukan dan tradisi jahiliyah. Karena itu dia menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih pula, memurnikan keislamannya dengan keikhlasan yang membuatnya tampil sebagai pemuka para wanita dunia dalam hal wara’kala itu, ketakwaan, kema’rufan, kemurahan hati dan kebajikan.

Sebagai Pengikut Rombongan Muhajirin

Zainab binti jahsyi senantiasa mencari ilmu dari orang-orang yang mendalami Al-Qur’an. Hatinya senantiasa mengahadap Allah SWT dengan penuh pembenaran dan iman. Dia melihat banyak orang berduyun-duyun masuk agama Allah, hal inilah yang membuat orang-orang Quraisy semakin membenci Islam dan mereka senantiasa menghalangi siapa saja yang ingin berjalan di jalan Allah. Namun Islam tetap berkembang pesat, hal ini membuat orang Quraisy semakin sesak nafas. Apalagi dengan berpindahnya Islam ke Madinah dan menyebar dengan sangat mudah di sana, semua ini membuat orang Quraisy bertindak semakin brutal dalam menyiksa kaum muslimin, mempersempit ruang gerak mereka serta merampas hak-hak mereka.
Akhirnya para sahabat mengadukan hal ini terhadap Rasulullah SAW, namun yang bisa dilakukan Rasulullah SAW hanyalah meneguhkan hati mereka, menyuruh mereka bersabar dan menjanjikan kepada mereka jalan keluar dari masalah ini. Hingga Allah SWT mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Madinah. Bani Jahsyi  ikut berhijrah ke Madinah bersama Rasulullah dibawah pimpinan Abdullah bin Jahsy, dan ikut pula dalam rombongan itu saudaranya yaitu Abu Ahmad bin jahsy dan para wanita mereka; Zainab binti Jahsy, Humnah binti Jahsy (isteri Mushab bin umair), dan Ummu Habib binti Jahsy (isteri Abdurrahman bin Auf). Keikutsertaan mereka dalam berhijrah ke Madinah membawa pengaruh yang sangat besar dalam jiwa para penguasa Quraisy. Rumah mereka yang mereka tinggalkan di Makkah dikuasai oleh Abu Sufyan bin Harb. Ketika hal ini diadukan kepada Rasulullah SAW, Rasulullah pun bersabda, “Apakah engkau tidak ridha wahai Abdullah, karena Allah SWT telah memberimu rumah di surga yang lebih baik dari rumahmu itu?”. 
Abdullah menjawab, “benar ya Rasulullah”. Rasulullah berkata lagi, “yang demikian itu baik bagimu”.  Abu Ahmad bin Jahsy merangkum sebuah syair tentang Hijrah Bani Jahsy ini, di dalamnya digambarkan penyiksaan orang-orang Quraisy terhadap kaumya dan terhadap Rasulullah SAW.

Pernikahan Zainab Binti Jahsy Dengan Anak Angkat Rosulullah SAW                                                                                                                       

Ketika Islam yang hanif datang, diantara tujuannya adalah menghilangkan perbedaan antara ummat manusia yang didasarkan pada suatu fanatisme dan kebutaan jahiliyah, menjadi tidak ada kelebihan yang dimiliki seseorang kecuali dengan takwa. Jadi, takwa merupakan timbangan Islam, dan Nabi Muhammad SAW ingin mengimplementasikan timbangan ini dengan mewujudkan persamaan antara manusia secara praktis. Diantara salah satu caranya ialah dengan menikahkan Zainab binti Jahsy r.a. yang masih terhitung kerabat dekat beliau dengan mantan budak, anak angkat  beliau sendiri yaitu Zaid bin Haritsah r.a. dengan begitu perbedaan-perbedaan itu dapat disingkirkan. Beliau menyampaikan hal tersebut kepada Zainab dan melamarkannya untuk Zaid bin Haritsah r.a. Dalam benak Zainab berkecamuk pikiran yang bermacam-macam, bagaimana  mungkin dia harus menerima pernikahan yang tidak seimbang ini? Bagaimana mungkin dia harus menikah dengan salah seorang mantan budak, padahal dia seorang wanita terpandang dan terhormat serta memiliki kedudukan yang tinggi?. Lalu dia bertanya kepada Rasullullah SAW, “Wahai Rasulullah, aku tidak meridhainya bagiku karena aku adalah seorang wanita Quraisy yang belum menikah”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Tapi aku meridhainya bagimu”. Hingga turunlah wahyu Allah:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لهَمُ ُالخَيْرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا  (الأحزاب: 36)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka dan barang siapa mendustai Allah dan Rasulnya maka sungguhlah dia telah sesat, dalam  sesat yang nyata”
Maka dari itulah Zainab tidak mempunyai alasan untuk menyalahi aturan Allah dan Rasulnya, sehingga diapun menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a. Zainab hanya mengikuti prinsip yang tidak melebihkan manusia kecuali dengan takwa. Sementara Zaid bin Haritsah adalah salah seorang amir jihad dan Nabi SAW pernah menjadikannya sebagai anak angkat ketika dia masih kecil hingga tumbuh dewasa. Diapun kerap dipanggil Zaid bin Muhammad. Namun turunlah wahyu Allah yaitu:
أُدْعُوْهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لمَّ ْتَعْلَمُوْا آبَآءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ (الأحزاب: 5)
“Panggillah mereka anak-anak (angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka! Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu) seagama dan maula-maulamu”.
Maka semenjak itulah hilang kebiasaan menjadikan seseorang sebagai anak angkat yang menjadi kebiasaan masa jahiliyyah. Islam mensyariatkan penataan masyarakat dan menguatkan hubungan kekeluargaan serta mengembalikan hubungan nasab kepada asal yang sesungguhnya.

Zainab dan Zaid  
Kehidupan Zaid dan Zainab berlangsung selama setahun, kemudian muncullah perselisihan di antara mereka, apalagi setelah Islam menghapuskan status anak angkat. Hal ini menyebabkan Zainab merasa lebih tinggi daripada Zaid, maka semakin hari hubungan mereka semakin tidak harmonis, ini terjadi karena hikmah yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Zaid bin Haritsah kemudian mengadu perihal sikap Zainab ini kepada Rasulullah, maka Rasululah saw bersabda “Tahanlah isterimu dan bertakwalah kepada Allah SWT”.  Rasulullah menyuruh Zaid agar menahan isterinya dan tidak menceraikannya. Namun, kehidupan Zaid dan Zainab tidak bertambah baik, dan memang seperti itulah yang telah ditetapkan oleh Allah yang hendak menghilangkan tradisi anak angkat dan hukum-hukum lain yang menyertainya, seperti yang berlaku dalam tradisi jahiliyah. Zaid bin Haritsah merasa menderita berdampingan dengan Zainab, karena tidak jarang dia harus ribut dengannya, maka dia menemui Rasulullah SAW kembali dan meminta izin untuk menceraikanya, dan Rasulullah saw bersabda, “Tahanlah isterimu dan bertakwalah kepada Allah SWT”.

Pernikahan Zainab dan Rasulullah
Namun Rasulullah SAW menyadari bahwa perceraian antara keduanya memang harus terjadi dan Allah memerintahkan beliau untuk menikahi Zainab dalam rangka menghapus bid’ah anak angkat. Jibril sebelumnya sudah memberitahukan, bahwa Zainab akan menjadi isteri beliau dan Allah akan menggugurkan pernikahan Zaid dengan Zainab, dalam rangka menghapus tradisi jahiliyah.
Rasulullah merasakan tekanan tersendiri karena masalah ini pasti akan menjadi pusat  gunjingan, karena Muhammad SAW telah menikahi mantan isteri anak angkatnya. Beliau merasa bimbang karena hal ini, dan khawatir terhadap isu yang akan disebarkan orang-orang munafik serta Yahudi. Namun Allah menegur beliau akan perasaan ini, dan memerintahkan beliau agar tidak usah menghiraukan orang-orang yang suka menggunjing tentang apa yang dihalalkan Allah. Karena itulah turun wahyu yang menampakkan sebab pernikahan Nabi saw dengan Zainab,

وَإِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوُجَكَ وَاتَّقِ اللهَ وَتُخْفِي فيِ نَفْسِكَ
مَا اللهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخُشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرَّا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُوْنَ عَلَي المُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكاَنَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُوْلاً (الأحزاب: 37)

“Dan ingatlah ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya, tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah telah menyatakanya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak kamu  takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikanya), kami kawinlah kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi”.
Begitulah perintah Allah, lalu Rasulullah SAW melaksanakan perintah itu tanpa sedikitpun merasa keberatan di dalam hati beliau dan sesungguhnya perintah Allah itu sudah terukur. Dan begitulah Zainab binti Jahsy mendapat kemulyaan dari Allah SAW karena Dia menjadikanya sebagai salah satu ummahatul mukminin atau menjadi salah seorang isteri Nabi SAW yang suci.
Al-Imam Muslim dan Al-Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya Anas bin malik r.a berkata, “Setelah habis masa iddah Zainab, Rasulullah saw bersabda kepada zaid “pergilah dan lamarlah ia bagiku”. Maka pergilah Zaid menemui Zainab (mantan isterinya) yang saat itu sedang membuat adonan roti, Zaid menuturkan, “Ketika aku  melihatnya, maka ada rasa yang menyesak dalam dadaku sampai-sampai aku tidak berani melihatnya, bahwa Rasulullah SAW menghendaki dirinya. Maka aku berpaling membelakanginya dan kukatakan padanya “wahai Zainab, terimalah kabar gembira, karena Rasulullah SAW mengutusku untuk melamarmu”. Kemudian Zainab berkata, “Aku tidak berani memutuskan sesuatu hingga aku menerima perintah dari Rabbku”. Lalu dia pergi ke masjidnya dan turunlah wahyu kepada Rasulullah SAW, maka beliau masuk ke tempatnya tanpa seizinya. Begitulah Allah SWT menikahkan Zainab dengan Nabi-Nya, berdasarkan ayat-Nya karena itulah Zainab membanggakan dirinya di atas Ummahatul mukminin. Kemudian dia berkata, “Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedang aku dinikahkan Allah SWT dari atas langit yang ketujuh”. Ibnu Abbas r.a berkata:  ketika dia hendak dinikahi Rasulullah SAW, maka diapun bersujud. Dalam riwayat lain diceritakan bahwa ketika dia diberitahu bahwa Allah menikahkan Nabi-Nya dengan dirinya dan turunnya ayat yang menjelaskan tentang hal ini maka diapun berpuasa selama dua bulan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.

Ayat Hijab
Diantara barakah Zainab ummul mukminin r.a. dan keutamaanya adalah turunnya ayat hijab, yaitu pagi hari setelah malam pengantinya bersama Rasulullah SAW. Karena ketika beliau menikah dengan Rasulullah SAW diadakan walimahan yang tidak pernah diadakan sebelumnya bagi para isteri-isteri Rasul. Al-Bukhori dan Al-Muslim serta yang lainya meriwayatkan kisah turunnya ayat hijab dari anas bin Malik r.a, beliau berkata: “Walimah Rasulullah SAW dengan Zainab berupa roti dan daging. Aku diutus untuk menyampaikan undangan, aku terus menyampaikan undangan sampai aku tidak lagi mendapatkan undangan, yang ada hanyalah tiga orang yang sedang berbincang-bincang. Maka Rasulullah keluar dan pergi ke bilik isteri-isteri beliau dan mengucapkan “Assalamualaikum ya ahlal bait rahmatullah”  kemudian  mereka menjawab “Allaikas-salam wa rahmatullah”. Kemudian Nabi SAW kembali ke rumah, ternyata tiga orang tersebut masih berada di sana sambil berbincang-bincang. Kemudian Nabi keluar lagi sampai ia mendapat kabar bahwa mereka sudah pergi, maka beliau kembali lagi, dan ketika beliau melangkahkan kaki di ambang pintu, yang satu di luar dan yang satu di dalam beliau menjulurkan kain tabir antara diriku dan beliau. Lalu turun ayat hijab, yaitu firman Allah:

ياَأَيُهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ إِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ ناَظِرِيْنَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلاَ مُسْتَأْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إِنَّ ذَالِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِيْ مِنْكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحِي مِنَ الحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَالِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ وَمَا كَاَن لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلُ اللهِ وَلاَ أَنْ تَنْكِحُوْا أَزْوَاجَه مِنْ بَعْدِه أَبَدًا إِنَّ ذَالِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمًا. (الأحزاب : 53)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi kecuali kalian diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila kamu selesai makan keluarlah kamu tampa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepada kalian (untuk menyuruh kalian), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikan itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Dan tidak boleh kalian menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatannya amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al- Ahzab : 53).
Ayat hijab turun sebagai pelajaran dan petunjuk bagi manusia, agar mereka tidak masuk rumah Nabi SAW tanpa izin. Jika mereka diundang untuk makan, maka mereka boleh memasukinya, kemudian jika sudah makan, mereka harus segera pergi, tidak boleh berlama-lama di sana dan juga tidak boleh berbincang-bincang.
Turunnya ayat hijab itu karena pengakuan terhadap sikap Umar bin Al-Khaththab r.a. Dalam riwayat Al-Bukhory dari Anas bin Malik: Umar berkata, “Wahai Rasullullah, orang yang baik dan buruk masuk rumah engkau. Sekiranya engkau menyuruh Ummahatul-Mukminin untuk berhijab”. Karena itulah turun ayat ini.
Di dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa’ad menyebutkan dari Anas, dia berkata, “Pertama kali turun ayat hijab saat pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy. Hal itu terjadi pada tahun kelima setelah hijrah. Semenjak itu Rasulullah memberlakukan hijab terhadap istri- istri beliau. Pernikahan beliau dengan Zainab merupakan barakah atas wanita-wanita Muslimah hingga hari kiamat, karena hijab diwajibkan atas putri- putri hawa, agar menjadi petunjuk kemuliaan, kesucian dan kebersihan.

Bersama Rasulullah Dalam Peperangan dan Haji
Ketika Rasulullah pergi ke Tha’if beliau disertai dua istri beliau, yaitu Ummu Salamah dan Zainab R.a. Pada saat itu beliau mendirikan dua perkemahan, lalu beliau shalat di antara dua perkemahan tersebut, selama beliau melakukan pengepungan terhadap Tha’if.
Ketika haji wada’, Zainab Ummul-Mukminin r.a. juga ikut bersama Rasulullah. Pada saat itu beliau bersabda kepada para istri beliau, “Sejak saat ini kalian tidak keluar lagi dari rumah dan hendaklah kalian berada di atas tikar saja”. Pada saat itu semua istri beliau ikut menunaikan haji kecuali Saudah binti Zum’ah. Zainab bintu Jahsy berkata, “Tidak ada hewan tunggangan yang dapat menggerakkan kami sepeninggal Rasulullah SAW”.
Ibnu Sa’ad menyebutkan di dalam Ath-Thabaqat, dengan sanadnya, dia berkata, “Zainab binti Jahsy tidak pernah lagi menunaikan haji setelah dia ikut menunaikan haji bersama Rasulullah, hingga dia meninggal dunia pada masa khalifah Umar bin Al- Khatthab pada tahun dua puluh hijriyah. Zainab menyadari wasiat Rasulullah ketika beliau bersabda kepada para istri beliau, “Siapa pun di antara kalian yang bertakwa kepada Allah dan tidak melakukan kekejian yang nyata, tetap berada di dalam rumahnya, maka dia adalah istriku di akhirat”.

Zainab dan Aisyah
Ash–Shiddiqah binti Ash-Shiddiq Ummul-Mukminin Aisyah r.a. merupakan kesaksian yang diberkahi tentang diri Ummul-Mukminin Zainab binti Jahsy. Kesaksian ini bersifat khusus, yang menggambarkan kebenaran dan kekaguman. Aisyah memberikan kesaksian kebaikan, kesucian, akhlaq yang mulia dan pemeliharaan kehormatan bagi Zainab. Dia berkata, “Zainab binti Jahsy sering membanggakan kedudukanku di sisi Rasulullah, aku tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih baik agamanya selain dari Zainab, dia juga lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur perkataannya, paling banyak menyambung hubungan keluarga dan paling besar shadaqahnya”.
Kesaksian kebaikan Zainab dari Aisyah ini merupakan tanggapan balik kesaksian Zainab bagi Aisyah, yaitu ketika terjadi kasus berita bohong. Pada saat itu Zainab memberikan kesaksian yang diberkahi dan suci bagi Aisyah. Al-Bukhory meriwayatkan dalam Shohihnya dari hadist Aisyah, dia berkata: Rasulullah bertanya kepada Zainab tentang urusanku, Beliau bertanya, “Wahai Zainab apa yang engkau ketahui atau apa pendapatmu?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak mengetahui kecuali yang baik”.
Kemudian Aisyah berkata, “Dialah yang membanggakan aku dari para istri Rasulullah, lalu Allah memeliharanya dengan wara”. Semoga Allah meridhoi Ummul- Mukminin Zainab binti Jahsy yang membenci fitnah. Dia memohon kepada Allah agar dirinya dijauhkan dari orang-orang yang dengki dan berbuat kerusakan, dengan  begitu dia mendapatkan apapun yang dia kehendaki. Dia tidak mengatakan kecuali kebaikan dan tidak memberikan kesaksian kecuali secara benar, baik, dan adil.
Orang-orang yang terlibat dalam kasus berita bohong ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin munafikin, Humnah binti Jahsy, saudari Zainab, Misthah bin Utsatsah dan Hasan bin Tsabit. Namun mereka bertaubat dengan taubat yang sebenarnya kecuali Abdullah bin Ubay. Belakangan Hasan memberikan alasan tindakannya, lalu dia memuji Ash-Shiddiqah bintu Ash-Shiddiq, kaena dia mendapatkan kesaksian dari langit yang tujuh. Dia mengatakan dalam syairnya,
Dia wanita suci dan teguh hati tiada disangsikan
Kelaparanku karena berasal dari daging kelalaian
Dia berakal dan hidup berasal dari Lu’ay bin Ghalib
Dikenal sebagai orang-oang yang mulia dan beradab
Berakhlaq dan Allah pun membaguskan perangainya
Juga menyucikannya dari segala kebatilan dan noda

Kedudukan dan Keutamaan Zainab
Zainab binti Jahsy r.a. memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah SAW. Dia juga mendapatkan perlakuan yang istimewa dari beliau, setiap selesai shalat Ashar, maka beliau berkeliling mengunjungi istri-istri beliau untuk menunjukkan perhatian dengan cara berbincang-bincang dengan mereka. Boleh jadi beliau memakan waktu relatif agak lama di samping sebagian istri beliau, sehingga istri yang lain mulai dirasuki rasa cemburu, suatu hari beliau memasuki rumah Zainab binti Jahsy dan berdiam di sana serta minum madu, maka rasa cemburu memasuki Aisyah dan Hafshah.
Al-Bukhary dalam sanadnya dari Aisyah r.a, dia berkata, “Rasulullahu saw pernah minum madu di rumah Zainab bintu Jahsy dan menetap di sana. Lalu aku membuat kesepakatan dengan Hafshah bahwa siapa pun di antara kami yang lebih dahulu ditemui Nabi saw setelah itu, maka dia harus mengucapkan kepada beliau, “Engkau baru saja memakan getah yang baunya tidak sedap. Aku dapat mencium baunya yang tak sedap pada diri engkau”. Beliau bersabda, “Tidak.” Tapi baru saja aku meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy. Aku tidak akan mengulanginya lagi dan janganlah engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun”.
Karena kejadian ini dan akibat-akibat lain yang menyertainya, turunlah ayat, “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamlan apa yang Allah halalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-isrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At- Tahrim: 1). Lalu Rasulullah membayar kafarat atas sumpahnya, dan para istri beliau bertaubat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Di antara kelebihan Zainab binti Jahsy ialah kesaksian Rasulullah SAW, berupa kekhusu’an. Kesaksian beliau inilah yang mengangkat kedudukan Zainab hingga ke tingkatan yang tinggi dalam ibadah. Abdullah bin Syaddad meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda kepada Umar bin Al-Khaththab, “Sesungguhnya Zainab binti Jahsy adalah awwahah. Yaitu Khusyu’ dan merendahkan diri, dan sesungguhnya Ibrahim adalah orang yang pengasih dan merendahkan diri”.
Karena itu Zainab binti Jahsy menyadari kedudukannya di sisi Rasulullah dan dia suka membanggakan diri dari para istri beliau yang lain karena tiga perkara. Dari Asy- Sya’by, dia berkata: Zainab pernah berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya aku benar-benar akan menunjukkan kepada engkau tentang tiga perkara yang tak seorang pun di antara istri engkau yang menunjukkannya: Sesungguhnya kakekku dan kakek engkau adalah satu, aku dinikahkan Allah dengan engkau dari langit dan sesungguhnya yang menjadi dutanya adalah Jibril”.
Dengan kebanggaan yang mendatangkan pujian inilah Zainab binti Jahsy r.a. merasakan kemuliaan kekerabatan dengan Rasulullah SAW. Dia juga membanggakan karena Allah-lah yang menikahkannya.
Inilah Ummul Mukminin Ummmu Salamah r.a. yang mengisyaratkan kedudukan madunya, Zainab binti Jahsy di sisi Rasulullah. Dia berkata, Rasulullah mempunyai kekaguman terhadap Zainab dan beliau sering mengatakannya, bahwa Zainab adalah wanita yang shalihah, banyak berpuasa dan mendirikan shalat malam.

Pujian terhadap Zainab
Ummul-mukminin Zainab menghimpun beberapa sifat yang baik; kebaikan dalam amal kebajikan, kemurahan hati dan lain sebagainya. Maka dari itu sering terlontar dari para madunya bahkan ketika beliau meninggal Aisyah berkata, “Dia telah pergi sebagai wanita yang terpuji dan ahli ibadah, yang suka menyantuni anak-anak yatim dan janda”.
Bahkan sering dikatakan pula tentang Zainab dihadapan Aisyah hingga Aisyah memujinya, “Semoga Allah swt merahmati Zainab binti jahsy, dia telah mendapatkan kemuliaan di dunia ini, yang tidak disaingi kemuliaan yang lain. Sesungguhnya Allah menikahkanya dengan Nabi-Nya di dunia dan menurunkanya dalam Al-Quran”. Begitu juga Ummul-mukminin Ummu Salamah memujinya dengan perkataan, “Dia adalah wanita yang shalihah, banyak berpuasa dan shalat malam”. Bahkan para ulama, seperti Al-Imam adz-Dzahabi r.a. berkata, “Dia banyak beribadah dan banyak kebajikan dan shadaqahnya”, di lain tempat dikatakan pula oleh Adzahabi untuk Zainab, “Dia termasuk pemuka Agama, wara’, murah hati dan ‘arifah”. Dalam tarikhnya, Ibnu Katsir menyebutkan dirinya dan memujinya dengan pujian yang harum, seraya berkata, “Zainab binti Jahsy r.a termasuk wanita yang pertama-tama berhijrah, banyak melakukan kebaikan dan mengeluarkan shadaqah”. Kemudian Adzahabi menukil pujian lain sebagai kesaksiannya terhadap kelebihan Ummul Mukminin Zainab, dengan berkata, “Dia seorang wanita yang shalihah, banyak berpuasa dan mendirikan shalat malam, biasa mengerjakan sesuatu dan memberikan shadaqah kepada orang-orang miskin”.

Kemuliaan dan kezuhudan Zainab bintu Jahsy 
Beliau bukanlah tipe orang yang suka menumpuk harta atau apapun dari kesenangan dunia. Dia melakukan segala pekerjaanya sendiri, menyamak kulit, menjahit lalu menjualnya serta menshadaqahkan hasilnya di jalan Allah. Yang paling meunjukkan kemuliaanya adalah do’anya, di samping zuhudnya dalam masalah harta sebanyak apapun harta yang ada ditangannya. Diceritakan oleh Barzah bintu Raf’i dia berkata, “Ketika pembagian harta harus disalurkan, maka Umar Al-Khattab mengirim utusan untuk memberikan bagian untuk Zainab, ketika  bagian itu sudah sampai kepada Zainab maka dia berkata, “Semoga Allah mengampuni Umar, saudari-saudariku yang lain lebih membutuhkan bagian ini dari pada diriku”, kemudian para utusan itu bekata, ”ini semua memang menjadi milik engkau”, Zainab berkata ”Subhanallah”. Dia memasang kantong kain dan berkata, “Tumpahkan harta itu disini” kemudian berkata kepadaku “Masukkan tanganmu dan ambil segenggam harta ini lalu pergilah kebani fulan dan bani fulan”. Dia menyebut beberapa orang kerabat dan anak-anak yatim mereka, maka yang tersisa di dalam kain itu hanya sedikit harta. Aku berkata, “Semoga Allah mengampuni engkau wahai Ummul-Mukminin. Demi Allah kita juga memiliki hak terhadap harta ini”. Kemudian Zainab berkata, “Kalian berhak mendapatkan apa yang menyisa di bawah kain itu”. Ternyata yang tersisa hanya delapan puluh lima dirham, lalu dia menengadahkan tangan ke langit dan berkata, “Ya Allah, semoga aku tidak mau lagi menerima pemberian dari Umar setelah tahun ini”, maka pada tahun itu pula Zainab meninggal dunia.
Ibnu Said meriwayatkan bahwa ketika diserahkan harta kepada zainab, dia berkata, “Ya Allah, jangan sampai aku menerima lagi harta ini pada tahun berikutnya karena ini dapat menjadi cobaan”. Lalu dia membagikannya kepada kerabat-kerabatnya dan orang-orang yang membutuhkan, hingga semuanya tersalurkan. Hal ini didengar Umar bin khattab, maka dia berkata, “Ini adalah wanita yang hanya menghendaki kebaikan”. Lalu beliau berdiri di ambang pintu rumah Zainab mengucapkan salam dan berkata. “Aku sudah mendengar apa yang engkau bagi-bagikan”. Lalu Umar mengiriminya lagi seribu dirham agar dia menahannya, tapi lagi-lagi Zainab membagi-bagikanya seperti yang sebelumnya.
Sebagai tambahan gambaran kezuhudan Zainab, ada riwayat Ibnu Sa’d dalam thabaqaatnya berkata, “Zainab binti Zahsy r.a. tidak pernah meningalkan satu dirhampun, dia mensadaqahkan apapun yang ada ditangannya, sehingga dia menjadi tempat berlindung orang-orang miskin.

Kematian Zainab 
Pada tahun ke-20 H bertepatan dengan 641 M, Zainab Ummul Mukminin r.a. merasakan dekatnya saat untuk bersua dengan Allah, dan dia selalu siap untuk perjumpaan yang diberkahi ini, maka ketika ajal menghapirinya dia berkata, “Aku sudah menyiapkan kain kafanku, dan pasti Umar akan mengirimkan kain kafan kepadaku, maka jika dia mengirimkanya untukku maka shadaqahkanlah salah satu diantaranya. Jika kalian mampu menjulurkan kain kafan ke seluruh jasadku, lalu kalian mensadaqahkan kain selimutku, maka lakukanlah”.
Zuhud di dunia dan kesenangannya untuk bershadaqah dan berbuat kebajikan nampak pada saat-saat sakaratul maut. Alangkah mulia ummul mukminin Zainab binti Jahsy, dia adalah ibu orang-orang miskin, semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha. Pada detik-detik terakhir itu dia berwasiat agar jasadnya diusung dengan dipan Rasulullah SAW, dan setelah itu dia menutup mata untuk selama-lamanya. Dia adalah isteri Nabi SAW yang pertama kali bersua dengan beliau.
Ketika kabar kematianya sampai kepada Umar, maka dia berseru, “ketahuilah, tidak boleh ada yang masuk ke rumah Zainab kecuali kaum kerabatnya sendiri”. Umar juga memerintahkan agar memasang tabir penutup. Asma binti Umais r.a. berkata, “Aku pernah melihat penduduk Habasyah biasa membuat usungan mayat.  Maka dibuatlah usungan mayat bagi Zainab, lalu usungan itu diselimuti kain, Umar melihat hal itu bagus, maka dia berkata, “Ini adalah tandu tertutup yang paling bagus”. Barulah setelah itu Umar menyuruh orang-orang, “Pergilah kalian ke rumah ibu kalian!”.  Maka orang-orang muslim mengiringi jenazah Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy r.a. beserta saudaranya, Abu Ahmad bin Jahsy r.a. ikut mengusung dipan saudarinya sambil mengeluarkan tangisan yang sangat keras, dia adalah orang buta, maka Umar berkata kepadanya, “Wahai Abu Ahmad, menyingkirlah dari dipan itu, agar orang-orang tidak bersikap keras terhadap dirimu”. Saat itu musim kemarau dan sangat panas, sementara orang-orang berkeliling di sekitar dipan. Abu Ahmad menjawab, “Wahai Umar, inilah segala kebaikan yang kami dapatkan. Sesungguhnya tangisan ini dapat mendinginkan hawa panas yang aku rasakan”. Lalu Umar berkata, “kalau begitu lakukanlah”.           
Al-Imam An-Nawai Rahimahullah menyebutkan bahwa Zainab dikuburkan di baqi’. Yang menjadi Imam ketika menshalatinya ialah Umar bin khattab, yang turun ke dalam kuburnya adalah Usamah bin zaid, Muhammad bin abdullah bin Jahsy, Abdullah bin Ahmad bin Jahsy dan Muhammad bin Talhah bin Abdullah, anak saudarinya Humnah, mereka semua termasuk mahram Zainab r.a. Saat meninggal dunia, Zainab berusia lima puluh tiga tahun. An-Nawawi dan Al-Asykari dan lainya menyebutkan bahwa Zainab r.a. merupakan wanita yang pertama kali dibuatkan usungan jenazah, berdasarkan apa yang diisyaratkan Asma’ binti Umais r.a.

Kabar gembira masuk surga
Firman Allah Swt:
ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها وذالك الفوز العظيم (النساء-13)        
“Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukanya kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar”.
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy r.a. menjalani hidup jauh dari kemewahan dunia, dia lebih mengutamakan kehidupan akhirat, dia menjadikan kehidupan di dunia sebagai tempat untuk bercocok tanam untuk di akhirat dan menyadari bahwa dunia ini tidak dapat menyamai satu sayap lalatpun di sisi Allah, karena itu Dia beralih ke kehidupan beribadah dan mengasingkan diri, khususnya setelah wafat Rasulullah SAW.
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy mendapatkan kabar gembira sebagai penghuni surga dari Rasulullah SAW, karena dialah istri beliau yang pertama kali bersua dengan beliau di surga setelah beliau wafat. Di dalam Ash-shohihin disebutkan dan lafazd ini dari Muslim melalui Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata, “Orang yang lebih dulu bersua dengan ku ialah yang paling panjang tangannya diantara kalian”. Aisyah menuturkan, maka kamipun saling mengukur siapa diantara kami yang paling panjang tangannya, ternyata yang panjang tangannya adalah Zainab, karena dia biasa melakukan pekerjaan dengan tangannya sendiri dan juga banyak bershadaqah (bukan panjang tangan menurut dzahirnya).
Pada kesempatan lain Aisyah r.a. menyebutkan bahwa kabar gembira bagi Zainab binti Jahsy sebagai penghuni surga, disamping dia menyebutkan perangai dan keutamaanya, dengan berkata, “Semoga Allah swt merahmati  Zainab binti Jahsy, karena dia telah menerima kemuliaan di dunia ini yang tidak disamai dengan kemuliaan macam apapun, Karena Allah menikahkan dengan Nabi-Nya di dunia dan menurunkan Al-Qur’an tentang hal ini, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda kepada kami ketika kami berada disekeliling beliau, “Orang yang lebih dahulu bersua denganku ialah yang paling panjang lengannya diantara kalian”, Rasulullah saw memberitahukan kesegeraannya bersua dengan beliau, yang berarti dia akan menjadi isteri Beliau nanti di surga.
Zainab juga sebagai perawi hadist Rasulullah saw sebanyak sebelas hadist sebagian diantaranya ditakhrij di As-Shahihain, dua hadist disepakati Al-Bukhari dan Muslim, adz-Dzahabi menyebutkan bahwa hadistnya disebutkan di Kutubus-sittah. Adapun yang meriwayatkan darinya ialah anak saudaranya yaitu Muhammad bin Abdullah Bin Jahsy, Ummul-Mukminin Ummu Habibah dan zainab bintu Abu Salamah.

0 komentar:

Post a Comment