AL - KHANSAA’
(Ibu Para Syahid)
Jarang sekali terjadi
di mana semua sifat-sifat yang terpuji terkumpul pada satu pribadi seorang
manusia, sebagaimana yang terkumpul pada Al-Khansaa’. Sifat-sifat ketinggian
diri, kemurahan hati, ketangkasan, kepahlawanan, menepati janji dan ikhlas,
tetap ada pada diri Al-Khansaa’ disamping keagungannya dalam syair dan
keimanan, semua sifat- sifat ini terkumpul dan tercampur aduk dalam
kehidupannya.
Keturunan
Al-Khansaa’ binti Amru bin Al-Haris bin As-Syarid berakhir kepada Kabilah
Mudhar yang terkenal itu, Al-Khansaa’ dilahirkan di zaman Jahiliyah, dibesarkan
di padang pasir di tengah-tengah suatu kaum dari kaum-kaum Arab yang mulia.
Nabi SAW menganggap kabilah Mudhar sebagai benteng kabilah-kabilah Arab,
generasi ini mempunyai kesan yang penting dalam pembentukan pribadi
Al-Khansaa’, dia seorang yang fasih, mulia, murah hati, tenang, berani, tegas,
terus terang, tidak kenal nifak, dan pura-pura.
Dikenal dengan
nama AI-Khansaa’, yakni si pesek, karena hidungnya masuk ke dalam, atau tidak
mancung, tidak seperti biasanya hidung orang-orang Arab.
Dia seorang
wanita yang cantik sekali, dan senantiasa menjadi pusat perhatian
pahlawan-pahlawan kaum Arab, akan tetapi dia telah menikah dengan Rawahah bin
Abdul Aziz As-Sulami, dari suami ini, dia melahirkan 4 anak lelaki, yang
semuanya menjadi kebanggaan kabilahnya, dan sesudah masuk Islam, dia menjadi pula
kebanggaan orang-orang Arab.
Kehidupan Al-Khansaa’
boleh dibagi kepada dua fase yang penting, pertama di masa dia melalui hidupnya
sebelum Islam, dia dikejutkan oleh kematian dua orang saudaranya, yaitu
Mu’awwiyah dan Sakhr. Fase kedua adalah ketika ia hidup di bawah naungan Islam,
dan dikejutkan oleh kematian anak-anaknya dalam peperangan membela Islam. Sebab
itulah dia dikenal dengan julukan ibu para Syahid.
Disamping
menjadi seorang penyair yang ternama, Al-Khansaa’ juga dikenal sebagai sahabat
yang mulia. Dia datang menemui Rasulullah SAW bersama-sama kaumnya dari suku
Bani Sulaim dia memeluk Islam dengan mereka semua, Nabi SAW sungguh terharu
dengan Syair-syairnya, dan baginda selalu meminta orang menyanyikannya, dan
memintanya untuk diulang-ulang, kemudian baginda mengomentari:
“Hey, hai
Khansaa’.”
Al-Khansaa’
terkenal dengan syair-syairnya yang mengenang jasa-jasa orang-orang yang telah
meninggal, para penyair zamannya telah sepakat mengatakan, bahwa di sana tidak ada seorang
wanita yang paling lembut syairnya kecuali Al-Khansaa’, mereka juga sepakat
mengatakan, bahwa kaum wanita sering menampakkan kelemahan di dalam syair-syairnya,
kecuali Al-Khansaa’ malah dia telah melebihi setengah kaum lelaki di dalam menyampaikan
syair. Diantara kata-katanya yang memuji saudaranya yang bernama Sakhr, ketika
dia meninggal:
Setiap yang
mega terbit, dia tetap mengingatkanku akan si Sakhr malang,
aku pula
masih teringatkannya setiap sang mega tenggelam di ufuk malam,
kalaulah
tidak karena ramainya orang yang menangis di sampingku,
keatas
mayat-mayat mereka, niscaya aku akan bunuh diriku saja.
Ada sebuah riwayat
mengatakan, bahwa ketika Adiy bin Hatim bersama-sama saudara perempuannya
Safanah menemui Nabi SAW dan memeluk Islam, telah berkata Adiy: “Wahai
Rasulullah, dalam golongan kami ada orang yang paling jago dalam syair, dan
paling murah hati, dan tangkas menunggang kuda”.
Berkata Adiy:
“Adapun orang yang paling pintar bersyair adalah Umru’ul Qais bin Hujr, dan
orang yang paling murah hati sekali adalah Hatim bin Sa’ad Ath-Tha’i yakni
ayahnya sendiri, dan orang yang paling tangkas menunggang kuda ialah Amru bin
Ma’dikariba.
Perkataan Adiy
dijawab oleh Rasulullah SAW: “Apa yang kau katakan itu tidak benar, wahai Adiy!
yang benar adalah orang yang paling bijak bersyair adalah Al-Khansaa’ binti
Amru, dan orang yang paling murah hati sekali adalah Muhammad, yakni diri
baginda sendiri, dan orang yang paling tangkas menunggang kuda adalah Ali bin
Abu Thalib”.
Jarir juga
pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling bijak bersyair?” jawab Jarir,
“Akulah, kalaulah tidak ada Al-Khansaa’!”.
Pernah suatu
kali Al-Khansaa’ diminta komentarnya: “Ceritakanlah kedua orang saudaramu Sakhr
dan Mu’awwiyah!” maka Al-Khansaa’ menjawab: “Sakhr, demi Allah adalah syurga
zaman dahulu kala, camar tentara merah, sedangkan Mu’awwiyah pula demi Allah,
bila dia berkata, dia kota”.
Lalu dia
ditanya pula, “Siapakah diantara keduanya yang lebih mulia dan lebih
membanggakan?”.
Jawab
Al-Khansaa’, “Adapun si Sakhr, dia teriknya musim panas, dan adapun si
Mu’awwiyah, dia dinginnya si udara”.
Lalu dia
ditanya lagi, “Diantara keduanya, mana satu yang lebih pedih dan lebih
memberatkan?”
Jawab
Al-Khansaa’, “Adapun si Sakhr, maka dia adalah bara yang membakar jantung hati,
dan adapun si Mu’awwiyah, maka dia adalah penyakit yang memedihkan badan”.
Kemudian
A1-Khansaa’ berdendang:
Dua ekor
singa yang memasang cakarnya ketika memburu.
Dua pendekar
jagoan di zaman lampau yang penuh kebuasan.
Pernah Umar
bin Al-Khattab bertanya kepada Al-Khansaa’, “Mengapa kedua belah matamu
bengkak-bengkak?”
Jawab
Al-Khansaa’, “Karena terlampau banyak aku menangis atas penghulu-penghulu dari
kaum Mudhar”.
Berkata Umar,
“Al-Khansaa’! mereka semua di dalam api neraka”,
Sambut
Al-Khansaa’ pula, “Itulah yang akan menjadikan aku lebih sedih dan kecewa
lagi”. Dia diam sebentar, kemudian menyambung lagi “Dahulu aku menangisi si
Sakhr atas kehidupannya, dan sekarang pula, aku menangisinya karena dia dari
ahli neraka”.
Sesudah
AI-Khansaa’ berada di dalam naungan Islam, dia telah memberikan kita suatu
contoh yang jelas sebagai seorang ibu mukminah yang berani, keempat
anak-anaknya merupakan pejuang yang tangkas, dan penyair di dalam pertempuran
Al Qadisiyah, sebelum mereka bertempur, Al-Khansaa’ mengumpulkan mereka, seraya
berkata:
“Wahai
anak-anakku! kamu telah memeluk Islam dengan hati yang rela, kemudian kamu
berhijrah dengan sukarela. Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya
kamu sekalian putra-putra dari seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tidak
pernah menghianati ayahmu, aku tidak pernah memburukkan bapak saudara kamu, aku
tidak pernah merendahkan keturunan kamu, dan aku tidak pernah mengubah hubungan
kamu, kamu telah maklum tentang apa yang telah disediakan oleh Allah bagi kaum muslimin
dan pahala yang besar dalam memerangi kaum kafir itu, ketahuilah, bahwasanya
kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa, coba perhatikan
firman Allah dalam Surah Ali Imron:
“Wahai
orang orang yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakan kesabaran itu, dan
perteguhkan kedudukan kamu, dan patuhlah kepada Allah, semoga kamu menjadi
orang orang yang berjaya!” (Ali Imron: 200)
“Nanti, jika
kamu bangun esok pagi, insya Allah dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk
memerangi musuh-musuh kamu dengan hati-hati, dan karena Allah kamu menghadapi
musuh musuh-Nya dengan mendapat kemenangan. Jika kamu melihat api peperangan
sudah mulai meletus dari kakinya, dan apinya mulai menyala memercikkan baranya,
lalu berkobar di sekitarnya, maka hendaklah kamu menuju kepada hatinya, dan
dapatkanlah puncaknya, semoga kamu akan berjaya dan mendapatkan balasan
kemuliaan di kampung yang abadi, dan di tempat tinggal yang kekal”.
Paginya,
keempat putranya pun tergesa-gesa memasuki medan peperangan, yang pertama diantara
mereka mengucapkan syair ini:
Wahai
saudara saudaraku! Ibu kita yang banyak pengalamannya itu
Semalam
telah memanggil kita dan menasihati kita
Kata-katanya
yang bernas itu ada banyak faedahnya
Semua itu
akan kamu temui sebentar lagi nanti
Anak yang
pertama terus bertarung mati-matian, sehingga dia gugur syahid, maka maju ke
depan pula anak yang kedua dengan membacakan syairnya:
Demi Allah
kita takkan melanggar kata-kata ibu tua kami sama sekali
Nasihatnya
wajib ditaati dengan jujur dan dengan rela hati
Segeralah
bertempur, dan marilah bertangkur dan menggempur bersama
Sehingga
kamu lihat keluarga kaisar habis dilipat dua.
Anak yang
kedua ini bertarung mati-matian, seperti kakaknya hingga akhirnya dia gugur
syahid, kemudian datang anaknya ketiga, maju ke depan, sambil merangkai
syairnya:
Sungguh Ibu
tua kami kuat keinginannya, tegas tidak bergoncang
Dia telah
menyuruh kita supaya pandai dan berakal cemerlang
Itulah
nasehat ibu tua yang mengambil berat terhadap anak sendiri
Segeralah
memasuki peperangan segeralah untuk mempertahankan diri
Capailah
kemenangan yang bakal membawa kegembiraan di dalam hati
Ataupun
tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi.
Dia pun
bertarung mati-matian, seperti layaknya singa yang buas, hingga dia gugur
syahid, kemudian maju ke depan anaknya yang keempat dan dia juga merangkai
kata-kata syairnya:
Bukanlah
aku anak si Khansaa’ dan bukanlah aku anak jantan
Dan bukan
pula kerana si Amru yang pujiannya sudah lama terkenal
Kalau aku
tidak menjadikan tentera asing yang berkelompok-kelompok itu
Terjerumus
ke dalam bahaya, dan hancur dimakan senjataku
Dan dia terus
bertarung mati-matian sampai dia juga gugur syahid. Peperangan diantara dua
tentara itu berjalan terus menerus, sehingga tentara muslimin mendapatkan
kemenangan yang besar.
Setelah
pertempuran usai, ramailah orang berdatangan kepada Al-Khansaa’ untuk
menyampaikan ucapan simpati terhadap kesyahidan empat anaknya, setelah mereka
diuji di dalam peperangan itu dengan ujian yang baik. Al-Khansaa’ menerima berita
itu dengan tenang dan hati yang tidak tergoncang, seraya dia mengatakan suatu
kalimah, yang sampai kini masih menjadi pembicaraan orang, meskipun telah
berlalu masa bertahun tahun, kalimat itu ialah:
“Segala pujian
bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan terbunuhnya mereka, dan aku
mengharapkan dari Tuhanku, agar Dia akan mengumpulkanku dengan mereka di tempat
tinggal tetap dan rahmatNya!”.
Kemudian Khalifah
Umar bin Al-Khattab r.a memberikan bagian anak-anaknya dari peperangan itu
kepada ibu mereka, Al-Khansaa’. Tiap tiap seorang sebanyak 200 dirham. Al-khansaa’
meninggal dunia di kampungnya di pedalaman padang pasir, dimana baru saja Sayyidina
Usman bin Afan menerima jabatan khilafah, yaitu pada tahun 24 Hijrah. Allahu
yarhamuha!.
0 komentar:
Post a Comment