ADS

Wednesday, 13 January 2016

AL - KHANSAA’ (Ibu Para Syahid)



AL - KHANSAA’
(Ibu Para Syahid)




Jarang sekali terjadi di mana semua sifat-sifat yang terpuji terkumpul pada satu pribadi seorang manusia, sebagaimana yang terkumpul pada Al-Khansaa’. Sifat-sifat ketinggian diri, kemurahan hati, ketangkasan, kepahlawanan, menepati janji dan ikhlas, tetap ada pada diri Al-Khansaa’ disamping keagungannya dalam syair dan keimanan, semua sifat- sifat ini terkumpul dan tercampur aduk dalam kehidupannya.
Keturunan Al-Khansaa’ binti Amru bin Al-Haris bin As-Syarid berakhir kepada Kabilah Mudhar yang terkenal itu, Al-Khansaa’ dilahirkan di zaman Jahiliyah, dibesarkan di padang pasir di tengah-tengah suatu kaum dari kaum-kaum Arab yang mulia. Nabi SAW menganggap kabilah Mudhar sebagai benteng kabilah-kabilah Arab, generasi ini mempunyai kesan yang penting dalam pembentukan pribadi Al-Khansaa’, dia seorang yang fasih, mulia, murah hati, tenang, berani, tegas, terus terang, tidak kenal nifak, dan pura-pura.
Dikenal dengan nama AI-Khansaa’, yakni si pesek, karena hidungnya masuk ke dalam, atau tidak mancung, tidak seperti biasanya hidung orang-orang Arab.
Dia seorang wanita yang cantik sekali, dan senantiasa menjadi pusat perhatian pahlawan-pahlawan kaum Arab, akan tetapi dia telah menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz As-Sulami, dari suami ini, dia melahirkan 4 anak lelaki, yang semuanya menjadi kebanggaan kabilahnya, dan sesudah masuk Islam, dia menjadi pula kebanggaan orang-orang Arab.
Kehidupan Al-Khansaa’ boleh dibagi kepada dua fase yang penting, pertama di masa dia melalui hidupnya sebelum Islam, dia dikejutkan oleh kematian dua orang saudaranya, yaitu Mu’awwiyah dan Sakhr. Fase kedua adalah ketika ia hidup di bawah naungan Islam, dan dikejutkan oleh kematian anak-anaknya dalam peperangan membela Islam. Sebab itulah dia dikenal dengan julukan ibu para Syahid.
Disamping menjadi seorang penyair yang ternama, Al-Khansaa’ juga dikenal sebagai sahabat yang mulia. Dia datang menemui Rasulullah SAW bersama-sama kaumnya dari suku Bani Sulaim dia memeluk Islam dengan mereka semua, Nabi SAW sungguh terharu dengan Syair-syairnya, dan baginda selalu meminta orang menyanyikannya, dan memintanya untuk diulang-ulang, kemudian baginda mengomentari:
“Hey, hai Khansaa’.”
Al-Khansaa’ terkenal dengan syair-syairnya yang mengenang jasa-jasa orang-orang yang telah meninggal, para penyair zamannya telah sepakat mengatakan, bahwa di sana tidak ada seorang wanita yang paling lembut syairnya kecuali Al-Khansaa’, mereka juga sepakat mengatakan, bahwa kaum wanita sering menampakkan kelemahan di dalam syair-syairnya, kecuali Al-Khansaa’ malah dia telah melebihi setengah kaum lelaki di dalam menyampaikan syair. Diantara kata-katanya yang memuji saudaranya yang bernama Sakhr, ketika dia meninggal:
Setiap yang mega terbit, dia tetap mengingatkanku akan si Sakhr malang,
aku pula masih teringatkannya setiap sang mega tenggelam di ufuk malam,
kalaulah tidak karena ramainya orang yang menangis di sampingku,
keatas mayat-mayat mereka, niscaya aku akan bunuh diriku saja.
Ada sebuah riwayat mengatakan, bahwa ketika Adiy bin Hatim bersama-sama saudara perempuannya Safanah menemui Nabi SAW dan memeluk Islam, telah berkata Adiy: “Wahai Rasulullah, dalam golongan kami ada orang yang paling jago dalam syair, dan paling murah hati, dan tangkas menunggang kuda”.
Berkata Adiy: “Adapun orang yang paling pintar bersyair adalah Umru’ul Qais bin Hujr, dan orang yang paling murah hati sekali adalah Hatim bin Sa’ad Ath-Tha’i yakni ayahnya sendiri, dan orang yang paling tangkas menunggang kuda ialah Amru bin Ma’dikariba.
Perkataan Adiy dijawab oleh Rasulullah SAW: “Apa yang kau katakan itu tidak benar, wahai Adiy! yang benar adalah orang yang paling bijak bersyair adalah Al-Khansaa’ binti Amru, dan orang yang paling murah hati sekali adalah Muhammad, yakni diri baginda sendiri, dan orang yang paling tangkas menunggang kuda adalah Ali bin Abu Thalib”.
Jarir juga pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling bijak bersyair?” jawab Jarir, “Akulah, kalaulah tidak ada Al-Khansaa’!”.
Pernah suatu kali Al-Khansaa’ diminta komentarnya: “Ceritakanlah kedua orang saudaramu Sakhr dan Mu’awwiyah!” maka Al-Khansaa’ menjawab: “Sakhr, demi Allah adalah syurga zaman dahulu kala, camar tentara merah, sedangkan Mu’awwiyah pula demi Allah, bila dia berkata, dia kota”.
Lalu dia ditanya pula, “Siapakah diantara keduanya yang lebih mulia dan lebih membanggakan?”.
Jawab Al-Khansaa’, “Adapun si Sakhr, dia teriknya musim panas, dan adapun si Mu’awwiyah, dia dinginnya si udara”.
Lalu dia ditanya lagi, “Diantara keduanya, mana satu yang lebih pedih dan lebih memberatkan?”
Jawab Al-Khansaa’, “Adapun si Sakhr, maka dia adalah bara yang membakar jantung hati, dan adapun si Mu’awwiyah, maka dia adalah penyakit yang memedihkan badan”.
Kemudian A1-Khansaa’ berdendang:
Dua ekor singa yang memasang cakarnya ketika memburu.
Dua pendekar jagoan di zaman lampau yang penuh kebuasan.
Pernah Umar bin Al-Khattab bertanya kepada Al-Khansaa’, “Mengapa kedua belah matamu bengkak-bengkak?”
Jawab Al-Khansaa’, “Karena terlampau banyak aku menangis atas penghulu-penghulu dari kaum Mudhar”.
Berkata Umar, “Al-Khansaa’! mereka semua di dalam api neraka”,
Sambut Al-Khansaa’ pula, “Itulah yang akan menjadikan aku lebih sedih dan kecewa lagi”. Dia diam sebentar, kemudian menyambung lagi “Dahulu aku menangisi si Sakhr atas kehidupannya, dan sekarang pula, aku menangisinya karena dia dari ahli neraka”.
Sesudah AI-Khansaa’ berada di dalam naungan Islam, dia telah memberikan kita suatu contoh yang jelas sebagai seorang ibu mukminah yang berani, keempat anak-anaknya merupakan pejuang yang tangkas, dan penyair di dalam pertempuran Al Qadisiyah, sebelum mereka bertempur, Al-Khansaa’ mengumpulkan mereka, seraya berkata:
“Wahai anak-anakku! kamu telah memeluk Islam dengan hati yang rela, kemudian kamu berhijrah dengan sukarela. Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kamu sekalian putra-putra dari seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tidak pernah menghianati ayahmu, aku tidak pernah memburukkan bapak saudara kamu, aku tidak pernah merendahkan keturunan kamu, dan aku tidak pernah mengubah hubungan kamu, kamu telah maklum tentang apa yang telah disediakan oleh Allah bagi kaum muslimin dan pahala yang besar dalam memerangi kaum kafir itu, ketahuilah, bahwasanya kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa, coba perhatikan firman Allah dalam Surah Ali Imron:
“Wahai orang orang yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakan kesabaran itu, dan perteguhkan kedudukan kamu, dan patuhlah kepada Allah, semoga kamu menjadi orang orang yang berjaya!” (Ali Imron: 200)
“Nanti, jika kamu bangun esok pagi, insya Allah dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk memerangi musuh-musuh kamu dengan hati-hati, dan karena Allah kamu menghadapi musuh musuh-Nya dengan mendapat kemenangan. Jika kamu melihat api peperangan sudah mulai meletus dari kakinya, dan apinya mulai menyala memercikkan baranya, lalu berkobar di sekitarnya, maka hendaklah kamu menuju kepada hatinya, dan dapatkanlah puncaknya, semoga kamu akan berjaya dan mendapatkan balasan kemuliaan di kampung yang abadi, dan di tempat tinggal yang kekal”.
Paginya, keempat putranya pun tergesa-gesa memasuki medan peperangan, yang pertama diantara mereka mengucapkan syair ini:
Wahai saudara saudaraku! Ibu kita yang banyak pengalamannya itu
Semalam telah memanggil kita dan menasihati kita
Kata-katanya yang bernas itu ada banyak faedahnya
Semua itu akan kamu temui sebentar lagi nanti
Anak yang pertama terus bertarung mati-matian, sehingga dia gugur syahid, maka maju ke depan pula anak yang kedua dengan membacakan syairnya:
Demi Allah kita takkan melanggar kata-kata ibu tua kami sama sekali
Nasihatnya wajib ditaati dengan jujur dan dengan rela hati
Segeralah bertempur, dan marilah bertangkur dan menggempur bersama
Sehingga kamu lihat keluarga kaisar habis dilipat dua.
Anak yang kedua ini bertarung mati-matian, seperti kakaknya hingga akhirnya dia gugur syahid, kemudian datang anaknya ketiga, maju ke depan, sambil merangkai syairnya:
Sungguh Ibu tua kami kuat keinginannya, tegas tidak bergoncang
Dia telah menyuruh kita supaya pandai dan berakal cemerlang
Itulah nasehat ibu tua yang mengambil berat terhadap anak sendiri
Segeralah memasuki peperangan segeralah untuk mempertahankan diri
Capailah kemenangan yang bakal membawa kegembiraan di dalam hati
Ataupun tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi.
Dia pun bertarung mati-matian, seperti layaknya singa yang buas, hingga dia gugur syahid, kemudian maju ke depan anaknya yang keempat dan dia juga merangkai kata-kata syairnya:
Bukanlah aku anak si Khansaa’ dan bukanlah aku anak jantan
Dan bukan pula kerana si Amru yang pujiannya sudah lama terkenal
Kalau aku tidak menjadikan tentera asing yang berkelompok-kelompok itu
Terjerumus ke dalam bahaya, dan hancur dimakan senjataku
Dan dia terus bertarung mati-matian sampai dia juga gugur syahid. Peperangan diantara dua tentara itu berjalan terus menerus, sehingga tentara muslimin mendapatkan kemenangan yang besar.
Setelah pertempuran usai, ramailah orang berdatangan kepada Al-Khansaa’ untuk menyampaikan ucapan simpati terhadap kesyahidan empat anaknya, setelah mereka diuji di dalam peperangan itu dengan ujian yang baik. Al-Khansaa’ menerima berita itu dengan tenang dan hati yang tidak tergoncang, seraya dia mengatakan suatu kalimah, yang sampai kini masih menjadi pembicaraan orang, meskipun telah berlalu masa bertahun tahun, kalimat itu ialah:
“Segala pujian bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan terbunuhnya mereka, dan aku mengharapkan dari Tuhanku, agar Dia akan mengumpulkanku dengan mereka di tempat tinggal tetap dan rahmatNya!”.
Kemudian Khalifah Umar bin Al-Khattab r.a memberikan bagian anak-anaknya dari peperangan itu kepada ibu mereka, Al-Khansaa’. Tiap tiap seorang sebanyak 200 dirham. Al-khansaa’ meninggal dunia di kampungnya di pedalaman padang pasir, dimana baru saja Sayyidina Usman bin Afan menerima jabatan khilafah, yaitu pada tahun 24 Hijrah. Allahu yarhamuha!.

0 komentar:

Post a Comment