ADS

Monday, 11 January 2016

UMMU KALTSUM



UMMU KALTSUM



Belum pernah terjadi pada awal Islam suatu persamaan di dalam kehidupan dua orang wanita, sebagaimana yang terjadi pada hidup Ummu Kaltsum dan Ruqoyyah, dua orang putri dari Rasulullah SAW. Terdapat persamaan dalam watak, tabi’at dan cara hidup mereka, yaitu suatu persamaan yang sungguh amat menakjubkan.
Selain keduanya berasal dan seorang ayah dan ibu yang sama, mereka berdua juga hidup sejak kecil bersama-sama, tidak pernah terpisah. Kemudian mereka dipinang pada hari yang sama, mereka dilangsungkan pernikahannya dengan dua orang kakak beradik dan keluarga yang sama, dan nama suami-suami mereka juga artinya sama. Mereka menanggung penderitaan dari hasil perkawinannya dari faktor yang sama. Mereka masuk Islam pada hari yang sama, mereka diceraikan oleh suami-suaminya pada hari yang sama, dan oleh sebab yang sama. Dan kini mereka bersatu seperti semula sesudah dipisahkan oleh perceraian mereka, kepada seorang suami kedua yang sama, yaitu Utsman bin Affan, yang mempunyai dua cahaya, ialah satu-satunya manusia di antara kaum muslimin, yang telah menikahi dua orang dari putri-putri Nabi SAW, yakni Ruqoyyah kemudian Ummu Kaltsum.
Ketika Ruqoyyah meninggal dunia, Ummu Kaltsum sangat bersedih dengan kepergiannya, setiap hari Ummu Kaltsum selalu teringat dengan kakaknya, karena dia jarang-jarang berpisah dengannya, melainkan kini ketika Ruqoyyah pergi tidak akan kembali lagi. Kemudian Ummu Kaltsum mencoba mengingat kembali persamaan yang luar biasa antara dirinya dengan Ruqoyyah. Ummu Kaltsum merenungkan kembali hidupnya yang lalu, dan mendapati tiada banyak perbedaan antara dirinya dengan kakaknya Ruqoyyah, melainkan dalam tiga peristiwa saja.
Ruqoyyah berhijrah ke Habasyah dengan suaminya Usman bin Affan, sedangkan Ummu Kaltsum tetap bersama ayah dan ibunya, ketika mereka diboikot oleh kaum Quraisy, sehingga semua suku Bani Hasyim terpaksa memisahkan diri di Syi’ib Abu Thalib selama tiga tahun lamanya.
Ummu Kaltsum telah menyaksikan wafat ibunya, Siti Khodijah r.a yaitu ketika baru saja keluarga mereka dibebaskan dari pemboikotan kaum Quraisy, dimana Ummil Mu’minin yang pertama menghadapi maut, yang dihadiri oleh suaminya dan putri-putrinya, melainkan Ruqoyyah saja, yang ketika itu berada di rantau orang.
Kemudian Ruqoyyah wafat mendahului Ummu Kaltsum. Sebenarnya Ummu Kaltsum ingin meninggal pula bersama-sama dengan kakaknya Ruqoyyah pada hari yang sama, namun Allah Maha Kuasa. Setelah kepergian kakaknya, dia merasakan bayangan Ruqoyyah ada bersamanya pada setiap pagi dan petang ketika duduk bersama Usman bin Affan, suaminya, dan suami kakaknya Ruqoyyah selama enam tahun.
Dalam tiga peristiwa ini saja, kehidupan Ummu Kaltsum berbeda dengan kehidupan Ruqoyyah. Selain dari itu, maka kehidupan kakak beradik ini adalah sama. Mereka sama-sama menghayati perjalanan hidupnya persis sama dengan segala perinciannya yang sungguh menakjubkan.
Kalau kita kembali ke detik perpisahan yang pertama antara mereka, yaitu sesudah keberangkatan Ruqoyyah ke negri Habasyah, kita dapati hal itu telah menimbulkan perasaan duka sekaligus suka yang mendalam pada jiwa Ummu Kaltsum. Perasaan ini menjadi lebih menekan lagi ke dalam jiwa Ummu Kaltsum sesudah wafat ibunya, Siti Khodijah r.a. Padahal kakak yang disayanginya itu tidak turut hadir di sampingnya, demikian pula dengan penderitaan yang dirasakan oleh ayahnya secara terus-menerus dari penganiyaan kaum Quraisy yang tidak berperikemanusiaan itu.
Kemudian Ummu Kaltsum menyaksikan hijrah ayahnya, ketika kaum Quraisy mencoba untuk menghalanginya, bahkan pada malam hijrah itu, rumah ayahnya telah dikepung untuk membunuhnya telah dirancang. Tetapi ayahnya telah terselamatkan atas lindungan Allah SWT, ayahnya tiba pula di Madinah dengan selamat, dan disambut pula oleh penduduk Madinah dengan sambutan besar-besaran dengan penuh kemeriahan. Semua itu telah menebus perasaan sedihnya yang telah lama bertumpuk di jantung hatinya.
Sesudah itu, datang Zaid bin Haritsah mengajaknya bersama adiknya yang bungsu, Siti Fatimah untuk berangkat ke Madinah, dan tinggal bersama ayahnya disana. Tatkala akan berangkat dia memberikan ucapan selamat tinggal kepada kota Makkah, sedang hatinya dipenuhi perasaan sedih bercampur suka, harap dan cinta bersama belas kasihan, ketika matanya berpandangan dengan mata kakaknya yang tertua Zaenab, yang terpaksa ditinggalkan di bawah lindungan suaminya yang masih kafir itu, kini di Makkah tiada seorang kerabat yang masih ada di situ, selain maqom ibunya yang sangat besar untuk di tinggalkan, dan seorang kakak yang masih sayang kepada suaminya.
Ummu Kaltsum dan Fatimah pun mengucapkan selamat tinggal kepada kakaknya Zaenab, sedang air mata mereka berderai karena perasaan iba yang telah menghujam hati masing masing. Zaenab pun demikian pula, tiada yang dapat diucapkan lagi, selain do’a agar mereka dilindungi oleh Allah dalam perjalanan mereka menuju ke pangkuan ayahnya yang sedang menunggu di sana.
Ummu Kaltsum menetap di rumah ayahnya di Madinah, dan dia telah mengikuti dan mengalami berbagai peristiwa suka duka yang terjadi di sana. Ada pula yang terjadi di sana, yang tidak dapat dilupakannya sama sekali, dan meninggalkan kesan dalam sejarah hidupnya. Pertama ketika Ruqoyyah tiba dari Habasyah ke Madinah bersama-sama suaminya, kedua, hari wafatnya Ruqoyyah.
Sebenarnya hidup Ummu Kaltsum penuh dengan peristiwa suka duka terus menerus. Pada suatu hari, Sayyidina Umar Bin Khattab menemui ayahnya, padahal dia sedang marah sekali. Dia mengadukan sikap kedua temannya Abu Bakar dan Usman dalam perkara putrinya Siti Hafsah, yang ditawarkan kepada mereka untuk menikah dengannya. Pada hari itulah Ummu Kaltsum mendengar berita yang sungguh mengharukannya.
Rasulullah berusaha menentramkan perasaan marah yang sedang bergejolak di dalam jiwa Umar dengan berkata, “Biarlah Hafsah itu menikah dengan orang yang lebih mulia dari Utsman, dan Utsman pula biarlah dia menikah dengan orang yang lebih baik dan Hafsah”.
Kalbu Ummu Kaltsum tiba-tiba berdebar-debar dengan kuat, tiada tahu, bagaimana dia dapat mengagak. Siapa wanita yang dimaksudkan oleh ayahnya akan menikah dengan Utsman. Hatinya mengatakan bahwa orang itu adalah dirinya sendiri, jantungnya terus berdebar semakin kuat lagi, khayalannya dengan tiba-tiba melayang dengan cepat ke alam kakaknya Ruqoyyah, rupanya aku akan menggantikan kakakku Ruqoyyah pula, alangkah ajaibnya hidup ini!.
Memang itu suatu takdir yang mau menyambung kembali apa yang pernah terputus antara kedua kakak beradik ini. Ruqoyyah telah meninggalkan kehidupan ini, dan rupanya dia telah mengosongkan tempatnya, rumahnya, dan suaminya untuk digantikan oleh orang yang sangat disayanginya, orang yang senasib dengannya ketika menjalani kehidupan suatu masa dahulu, Ummu Kaltsum yang hidupnya tidak berbeda dengan hidupnya sendiri.
Kini telah tiba hari yang ditunggu-tunggu itu, Ummi Ayyasy yang dahulu menghias Ruqoyyah, kini telah datang sekali lagi untuk menghiasi Ummu Kaltsum. Kemudian Usman bin Affan telah datang pula untuk mengambil istrinya, Ummu Kaltsum, sebagaimana dia dahulu pernah datang untuk mengambil kakaknya, Ruqoyyah ketika dia menikahinya. Ajaib sekali dunia ini! rumahnya satu dan suamipun satu.
Selama 6 tahun Ummu Kaltsum hidup bersama-sama Utsman bin Affan, dia senantiasa merasa, seolah-olah bayangan kakaknya, Ruqoyyah selalu berada di sampingnya, tidak pernah berpisah dengannya, seolah-olah dia merasa tidak mampu menjalani hidup tanpa ada Ruqoyyah dalam ingatannya di alam ini, maupun nanti di alam akhirat. Dia selalu menerima panggilan suci yang tersembunyi, yang difitrahi oleh perasaan suka dan duka sekaligus.
Pada suatu malam, terbuka di hadapan matanya pintu sangkarnya, maka terbanglah keluar dan sangkar itu rohnya sebagai seekor merpati putih, terbang menempuh angkasa luas.
Ummu Kaltsum telah meninggal dunia mendahului ayahnya setahun saja, di mana ayahnya, baginda Rasulullah SAW merasa sedih dan menangisi kepergiannya dengan rasa pilu.

0 komentar:

Post a Comment