UMMU KALTSUM
Belum pernah
terjadi pada awal Islam suatu persamaan di dalam kehidupan dua orang wanita,
sebagaimana yang terjadi pada hidup Ummu Kaltsum dan Ruqoyyah, dua orang putri
dari Rasulullah SAW. Terdapat persamaan dalam watak, tabi’at dan cara hidup
mereka, yaitu suatu persamaan yang sungguh amat menakjubkan.

Ketika
Ruqoyyah meninggal dunia, Ummu Kaltsum sangat bersedih dengan kepergiannya,
setiap hari Ummu Kaltsum selalu teringat dengan kakaknya, karena dia
jarang-jarang berpisah dengannya, melainkan kini ketika Ruqoyyah pergi tidak
akan kembali lagi. Kemudian Ummu Kaltsum mencoba mengingat kembali persamaan
yang luar biasa antara dirinya dengan Ruqoyyah. Ummu Kaltsum merenungkan
kembali hidupnya yang lalu, dan mendapati tiada banyak perbedaan antara dirinya
dengan kakaknya Ruqoyyah, melainkan dalam tiga peristiwa saja.
Ruqoyyah
berhijrah ke Habasyah dengan suaminya Usman bin Affan, sedangkan Ummu Kaltsum
tetap bersama ayah dan ibunya, ketika mereka diboikot oleh kaum Quraisy,
sehingga semua suku Bani Hasyim terpaksa memisahkan diri di Syi’ib Abu Thalib
selama tiga tahun lamanya.
Ummu Kaltsum
telah menyaksikan wafat ibunya, Siti Khodijah r.a yaitu ketika baru saja
keluarga mereka dibebaskan dari pemboikotan kaum Quraisy, dimana Ummil Mu’minin
yang pertama menghadapi maut, yang dihadiri oleh suaminya dan putri-putrinya,
melainkan Ruqoyyah saja, yang ketika itu berada di rantau orang.
Kemudian
Ruqoyyah wafat mendahului Ummu Kaltsum. Sebenarnya Ummu Kaltsum ingin meninggal
pula bersama-sama dengan kakaknya Ruqoyyah pada hari yang sama, namun Allah Maha
Kuasa. Setelah kepergian kakaknya, dia merasakan bayangan Ruqoyyah ada
bersamanya pada setiap pagi dan petang ketika duduk bersama Usman bin Affan,
suaminya, dan suami kakaknya Ruqoyyah selama enam tahun.
Dalam tiga
peristiwa ini saja, kehidupan Ummu Kaltsum berbeda dengan kehidupan Ruqoyyah.
Selain dari itu, maka kehidupan kakak beradik ini adalah sama. Mereka sama-sama
menghayati perjalanan hidupnya persis sama dengan segala perinciannya yang
sungguh menakjubkan.
Kalau kita
kembali ke detik perpisahan yang pertama antara mereka, yaitu sesudah
keberangkatan Ruqoyyah ke negri Habasyah, kita dapati hal itu telah menimbulkan
perasaan duka sekaligus suka yang mendalam pada jiwa Ummu Kaltsum. Perasaan ini
menjadi lebih menekan lagi ke dalam jiwa Ummu Kaltsum sesudah wafat ibunya,
Siti Khodijah r.a. Padahal kakak yang disayanginya itu tidak turut hadir di
sampingnya, demikian pula dengan penderitaan yang dirasakan oleh ayahnya secara
terus-menerus dari penganiyaan kaum Quraisy yang tidak berperikemanusiaan itu.
Kemudian Ummu
Kaltsum menyaksikan hijrah ayahnya, ketika kaum Quraisy mencoba untuk
menghalanginya, bahkan pada malam hijrah itu, rumah ayahnya telah dikepung
untuk membunuhnya telah dirancang. Tetapi ayahnya telah terselamatkan atas
lindungan Allah SWT, ayahnya tiba pula di Madinah dengan selamat, dan disambut
pula oleh penduduk Madinah dengan sambutan besar-besaran dengan penuh kemeriahan.
Semua itu telah menebus perasaan sedihnya yang telah lama bertumpuk di jantung
hatinya.
Sesudah itu,
datang Zaid bin Haritsah mengajaknya bersama adiknya yang bungsu, Siti Fatimah
untuk berangkat ke Madinah, dan tinggal bersama ayahnya disana. Tatkala akan
berangkat dia memberikan ucapan selamat tinggal kepada kota Makkah, sedang
hatinya dipenuhi perasaan sedih bercampur suka, harap dan cinta bersama belas
kasihan, ketika matanya berpandangan dengan mata kakaknya yang tertua Zaenab,
yang terpaksa ditinggalkan di bawah lindungan suaminya yang masih kafir itu,
kini di Makkah tiada seorang kerabat yang masih ada di situ, selain maqom
ibunya yang sangat besar untuk di tinggalkan, dan seorang kakak yang masih
sayang kepada suaminya.
Ummu Kaltsum
dan Fatimah pun mengucapkan selamat tinggal kepada kakaknya Zaenab, sedang air
mata mereka berderai karena perasaan iba yang telah menghujam hati masing
masing. Zaenab pun demikian pula, tiada yang dapat diucapkan lagi, selain do’a
agar mereka dilindungi oleh Allah dalam perjalanan mereka menuju ke pangkuan
ayahnya yang sedang menunggu di sana.
Ummu Kaltsum
menetap di rumah ayahnya di Madinah, dan dia telah mengikuti dan mengalami
berbagai peristiwa suka duka yang terjadi di sana. Ada
pula yang terjadi di sana,
yang tidak dapat dilupakannya sama sekali, dan meninggalkan kesan dalam sejarah
hidupnya. Pertama ketika Ruqoyyah tiba dari Habasyah ke Madinah bersama-sama
suaminya, kedua, hari wafatnya Ruqoyyah.
Sebenarnya
hidup Ummu Kaltsum penuh dengan peristiwa suka duka terus menerus. Pada suatu
hari, Sayyidina Umar Bin Khattab menemui ayahnya, padahal dia sedang marah
sekali. Dia mengadukan sikap kedua temannya Abu Bakar dan Usman dalam perkara
putrinya Siti Hafsah, yang ditawarkan kepada mereka untuk menikah dengannya.
Pada hari itulah Ummu Kaltsum mendengar berita yang sungguh mengharukannya.
Rasulullah
berusaha menentramkan perasaan marah yang sedang bergejolak di dalam jiwa Umar
dengan berkata, “Biarlah Hafsah itu menikah dengan orang yang lebih mulia dari
Utsman, dan Utsman pula biarlah dia menikah dengan orang yang lebih baik dan
Hafsah”.
Kalbu Ummu Kaltsum
tiba-tiba berdebar-debar dengan kuat, tiada tahu, bagaimana dia dapat mengagak.
Siapa wanita yang dimaksudkan oleh ayahnya akan menikah dengan Utsman. Hatinya
mengatakan bahwa orang itu adalah dirinya sendiri, jantungnya terus berdebar
semakin kuat lagi, khayalannya dengan tiba-tiba melayang dengan cepat ke alam
kakaknya Ruqoyyah, rupanya aku akan menggantikan kakakku Ruqoyyah pula,
alangkah ajaibnya hidup ini!.
Memang itu
suatu takdir yang mau menyambung kembali apa yang pernah terputus antara kedua
kakak beradik ini. Ruqoyyah telah meninggalkan kehidupan ini, dan rupanya dia
telah mengosongkan tempatnya, rumahnya, dan suaminya untuk digantikan oleh
orang yang sangat disayanginya, orang yang senasib dengannya ketika menjalani
kehidupan suatu masa dahulu, Ummu Kaltsum yang hidupnya tidak berbeda dengan
hidupnya sendiri.
Kini telah
tiba hari yang ditunggu-tunggu itu, Ummi Ayyasy yang dahulu menghias Ruqoyyah,
kini telah datang sekali lagi untuk menghiasi Ummu Kaltsum. Kemudian Usman bin
Affan telah datang pula untuk mengambil istrinya, Ummu Kaltsum, sebagaimana dia
dahulu pernah datang untuk mengambil kakaknya, Ruqoyyah ketika dia menikahinya.
Ajaib sekali dunia ini! rumahnya satu dan suamipun satu.
Selama 6 tahun
Ummu Kaltsum hidup bersama-sama Utsman bin Affan, dia senantiasa merasa,
seolah-olah bayangan kakaknya, Ruqoyyah selalu berada di sampingnya, tidak
pernah berpisah dengannya, seolah-olah dia merasa tidak mampu menjalani hidup
tanpa ada Ruqoyyah dalam ingatannya di alam ini, maupun nanti di alam akhirat.
Dia selalu menerima panggilan suci yang tersembunyi, yang difitrahi oleh
perasaan suka dan duka sekaligus.
Pada suatu
malam, terbuka di hadapan matanya pintu sangkarnya, maka terbanglah keluar dan
sangkar itu rohnya sebagai seekor merpati putih, terbang menempuh angkasa luas.
Ummu Kaltsum
telah meninggal dunia mendahului ayahnya setahun saja, di mana ayahnya, baginda
Rasulullah SAW merasa sedih dan menangisi kepergiannya dengan rasa pilu.
0 komentar:
Post a Comment