MARIAH AL-QIBTIYAH
Pada tahun
ketujuh hijrah, Nabi SAW telah mengikat perjanjian damai dengan kaum Quraisy
yang dikenal dengan nama “Perjanjian Hudaibiyah”, kemudian bagindapun kembali
ke Madinah.
Setibanya di
Madinah, baginda mendapati Hatib bin Abu Balta’ah sedang menunggunya di sana. Hatib telah diutus
oleh Nabi SAW ke Mesir untuk membawa suratnya kepada Al-Muqauqis, Maharaja
Mesir, untuk menyerunya memeluk Islam.
Hatib bin Abu
Balta’ah menceritakan kepada Nabi SAW bagaimana dia datang kepada Muqauqis, dan
membacakan surat
baginda itu, bunyi surat
itu adalah:
Dengan Nama
Allah Maha Pengasih Maha Penyayang
Dan Muhammad
bin Abdullah, kepada Muqauqis maharaja Qibt. Salam sejahtera bagi siapa saja
yang mengikuti petunjuk!
“Adapun
sesudah itu, maka sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam. Masuk
Islamlah niscaya kau akan selamat, nanti Allah akan memberimu pahala dua kali
lipat. Jika kau mengingkarinya, maka kau akan menanggung dosa kaum Qibt. Wahai
Ahlul Kitab! Marilah pada satu kalimat yang sama antara kami dan kamu,
bahwasanya kami tiada menyembah melainkan Allah, dan kami tiada mempersekutukan
Dia dengan sesuatu apapun jua, dan tiada mengambil yang lain menjadi Tuhan
selain dari Allah. Dan jika mereka tiada mau menurut, maka katakanlah:
saksikanlah kamu, bahwa kami ini orang-orang muslim”. Maka berkata Muqauqis
kepada Hatib, “Memang aku sudah tahu, bahwa akan ada lagi seorang Nabi. Aku
menyangka dia akan muncul di negri Syam, sebab di sanalah tempat munculnya
semua para Nabi. Rupa rupanya, dia telah muncul dibumi Arab, ... apa yang mesti
aku perbuat? sebab orang-orang Qibt ini tidak akan menurutiku”.
Kemudian
Muqauqis memanggil penulisnya, dan dia minta dituliskan suatu surat kepada Nabi SAW, isinya dalam surat itu sebaigai
berikut:
“Adapun
sesudah dari itu, aku telah membaca surat
anda itu, dan aku faham siapa yang anda maksudkan itu. Dan apa yang anda seru
kepadanya. Sebenarnya memang aku tahu ada seorang Nabi yang akan tiba, dan aku
menyangka Nabi itu akan muncul di Negri Syam. Aku telah memberikan penghormatan
kepada utusan anda, dan aku kirimkan bersamanya dua orang jariah yang diberikan
tempat yang mulia oleh orang-orang Qibt. Begitu juga dengan pakaian, dan
kendaraan untuk anda menunggangnya, dan salam sejahtera atas anda!”
Hatib telah
melaporkan kepada Nabi SAW. Segala hal yang dia alami sewaktu dia berada di
Mesir sebagai tamu Raja Muqauqis itu. Kemudian Hatib menyerahkan hadiah yang
diterimanya untuk Nabi SAW dan diantaranya Mariah yang sungguh menarik
perhatian baginda, maka baginda mengambilnya, menjadi istrinya.
Mariah adalah
putri Syam’un berbangsa Qibt. Dia anak dari kampung Hafn dari perkampungan
Shai’d di Mesir. Ibunya berbangsa Roman, oleh karena itu Mariyah kelihatan
rupawan dan putih kulitnya, rambutnya bergelombang, wajahnya manis. Raja
Muqauqis telah mengirimkannya dengan saudara perempuannya yang bernama Sirin
sebagai hadiah kepada Nabi SAW. Menurut riwayat, bahwa Hatib telah menyeru
keduanya masuk Islam dalam perjalanannya ke Madinah. Mereka telah masuk Islam
ditangan Hatib tadi.
Rasullullah
tidak membawa Mariah ke rumahnya, namun baginda Nabi SAW menumpangkannya di
rumah Harisah bin An Nu’man. Kemudian baginda pergi mendatanginya dan senang
mendengarkan cerita-ceritanya yang menarik itu, Mariah sangat senang
menceritakan kisah-kisah sejarah, terutama sekali tentang negeri Mesir yang
kaya tentang cerita-cerita yang mengharukan serta memikat hati. Dia juga
mengulang-ulangi kisah Siti Hajar, yang berasal dari negeri Mesir, yang
dihadiahkan oleh Rajanya kepada Siti Sarah. Kemudian Siti Hajar berlayar dari
negri sungai Nil dengan ditemani oleh Nabi Ibrahim as, dan seorang anak yang
bernama Ismail. Kemudian diceritakan pula bagaimana Nabi Ibrahim as telah
meninggalkan Siti Hajar bersama anaknya di samping rumah Allah, atau Baitul
Atiq, di sebuah lembah yang tiada tanaman padanya.
Mariah
senantiasa mengharapkan perlindungan dari langit. Dia senantiasa mengingat
kisah yang sama seperti kisah Hajar, malangnya hal itu telah membangkitkan rasa
cemburu dalam diri istri-istri Nabi yang lainnya. Akan tetapi disana ada suatu
perbedaan antaranya dengan Siti Hajar, yaitu dia tidak mempunyai anak. Dan usia
Nabi SAW kini telah hampir mencapai 60 tahun, apakah bisa dia memperoleh
seorang anak dari baginda Nabi SAW untuk mencapai impiannya itu.
Mariah tidak mendapatkan
julukan “Ummul Mu’minin” karena dia bukan seorang istri yang dinikahi oleh Nabi
SAW, namun dia adalah seorang gundik (Jariyah) yang dinikahi oleh Nabi SAW
dengan milik Yamin. Nabi SAW telah mencampurinya dengan hak milik Yamin itu.
Dan Nabi SAW telah meletakkan hijab atasnya, dan merasa tidak khawatir dengan
kedudukannnya. Karena itu, Mariah menyediakan seluruh jiwa dan raganya untuk
berkhidmat kepada Nabi SAW, baginda Nabi SAW dianggap oleh Mariah sebagai
tuannya, temannya, suaminya, dan tempat menggantungkan hidupnya. Jadi, semua
perhatiannya kini tertumpu hanya demi kesenangan baginda Nabi SAW dan
keridhaannya. Dalam pada itu, lidahnya tidak pernah berhenti dari menyebut Siti
Hajar, Ismail dan Nabi Ibrahim as.
Pada tahun
kedua, ada tanda-tanda kalau Mariah akan mengandung. Setelah Mariah yakin
dirinya telah mengandung, diapun tenggelam dalam keberkahan impiannya yang
selalu bermain di dalam hatinya itu. Dan kini dia tahu, bahwa langit telah
mengabulkan cita-citanya yang selala ini bermain di dalam lintasan fikirannya.
Tatkala hal
ini diketahui oleh Nabi SAW, diangkatnya kedua belah tangan ke langit tanda
kesyukuran kepada Allah yang telah menganugerahkan hadiah-Nya. Sesudah baginda
kehilangan putri yang disayanginya, yaitu Zainab, dan sebelumnya telah
kehilangan pula anak-anaknya Ruqoyyah, Ummi Kaltsum, Abdullah dan Al Qasim.
Nabi SAW
teringat pula mengenai kisah Nabi Ibrahim as yang selalu diulang-ulang oleh
Mariah, kemudian tentang kisah Zakariya, yang digembirakan oleh Allah untuk
mendapatkan seorang anak, padahal usianya telah terlalu lanjut, Allah telah
berfirman dalam surah Maryam:
“Dia berkata: Bagaimana aku akan memperoleh
anak laki-laki, sedang perempuanku mandul, dan aku pula sudah sampai pada usia
yang sangat tua” (Maryam: 8).
“Dia menjawab:
Begitulah kejadiannya. Tuhanmu telah berkata: Itu buat Aku adalah perkara
mudah, dan sebenarnya Aku telah menciptakanmu sebelum ini, dan kau sebelum itu
tidak ada” (Maryam: 9).
Berita Nabi
akan memperoleh seorang anak dari Mariah telah tersebar merata di kota Madinah. Berita itu
juga bagaikan Halilintar yang datang menyambar telinga istri- istri Nabi yang
lain, yang tidak mendapat anak, Nabi merasa khawatir terhadap Mariah, lalu
dipindahkannya ke sebuah kampung di luar kota Madinah, di sebuah tempat yang
dikenal dengan sebutan Aliyah. Nabi sering datang ke sana untuk menanyakan berita dan keadaannya.
Pada suatu
malam pada bulan Dzulhijjah, tahun ke-8 hijrah, datang kepada baginda Ummi
Rafik, seorang dukun untuk membawa berita gembira kepadanya, bahwa baginda
telah mendapatkan seorang anak lelaki, Nabi sangat riang, ketika diberitahu
tentang berita itu, lalu baginda memberi Ummi Rafik hadiah, serentak sesudah
itu baginda tergesa-gesa pergi kerumah Mariah untuk menyampaikan tahniyah
kepadanya, baginda lalu menimang anak itu di kedua belah tangannya, dan
dinamakan anak itu Ibrahim.
Perasaan
cemburu dan iri hati semakin menjadi-jadi di antara istri-istri Nabi terhadap
Mariah, sesudah dia mendapatkan dari Nabi seorang anak lelaki yang bernama
Ibrahim, mereka lalu sengaja menuduh Mariah dengan tuduhan yang seorang untuk
memperkecilkan kedudukannya serta menimbulkan fitnah supaya orang memburuk-burukkan
namanya.
Diantara
cerita iri hati istri-istri Rasulullah terhadap Mariah itu, memang pernah
terjadi suatu masa, ketika Siti Hafsah tidak ada di rumahnya, lalu baginda
telah meminjam rumahnya untuk baginda bersenang-senang dengan Mariah di situ,
ketika Siti Hafsah mengetahui hal itu, amarahnya naik, dan dia tidak mau
melepaskan baginda melainkan sesudah baginda mengharamkan dirinya atas Mariah.
Dari peristiwa itu, turunlah ayat dan Surah At-Tahrim, dimana Allah telah
menegur baginda atas pengharaman dirinya terhadap gundik yang dihalalkan oleh
Allah kepadanya.
Mariah tetap
bersabar atas segala tuduhan yang dilemparkan orang terhadap dirinya. Dia telah
merasa gembira dengan anaknya yang baru lahir, sehingga dia tidak ada waktu
lagi baginya untuk memikirkan hal-hal lain, dia duduk sendirian dengan anaknya,
manakala Rasulullah SAW senantiasa datang kepadanya untuk menziarahinya.
Malangnya
kebahagiaan Mariah pada anaknya itu tidak kekal, tidak beberapa lama Ibrahim
jatuh sakit, padahal dia belum putus menyusu, dan usianya belum genap 2 tahun.
Sakitnya semakin hari semakin parah. Suatu hari, Nabi SAW cepat-cepat datang ke
rumah Mariah, karena Ibrahim sedang sakit parah, baginda memangku Ibrahim,
sedang nafasnya turun naik menghadapi maut, di sekelilingnya terdengar tangisan
ibunya dan bibinya, tidak lama sesudah itu, Ibrahim pun menghembuskan nafasnya
yang terakhir.
Ketika Ibrahim
meninggal dunia, Nabi SAW menundukkan kepalanya ke tubuh Ibrahim, lalu
menciumnya, sedang air matanya jatuh berderai mengalir dari kelopak matanya.
Dia berkata, “Wahai Ibrahim! kalau tidak karena perkara mati itu pasti, dan
janjinya (ajalnya) benar, dan bahwasanya yang terkemudian akan mengikuti jejak
yang terdahulu, niscaya kami akan amat berduka cita terhadap perkara ini, dan
sebenarnya kami merasa sedih terhadap kepergianmu, Wahai Ibrahim!”.
Ketika mayat
anak kecil itu dimandikan orang, Nabi tetap disampingnya, duduk melihatnya
dalam keadaan sedih dan pilu, sesudah itu mayatnya dibawa untuk dikebumikan di
Baqi’. Setelah di Baqi’ baginda mengangkatnya dengan tangannya yang mulia, lalu
meletakkannya ke dalam kubur, kemudian ditimbunnya kubur itu dengan tanah,
sehingga menjadi rata, lalu disiramkannya dengan air.
Nabi memendam
luka hatinya karena kepergian Ibrahim itu dengan bersabar atas taqdir dan
ketentuan Allah SWT.
Rupa-rupanya,
hari-hari yang tersisa sesudah kepergian Ibrahim itu tidak panjang lagi. Ketika
tiba bulan Rabi’ul Awal dan tahun yang berikutnya, baginda Nabi SAW wafat pula.
Mariah pun
tinggal kesepian selama lima tahun sesudah wafatnya baginda Nabi SAW, dia terus
bersedih dan menangis, tinggal jauh dari orang ramai, dia tidak pernah keluar
dari rumahnya, melainkan hanya menziarahi kubur Nabi di dalam Masjid, dan
menziarahi kubur anaknya di Baqi’.
Sayyidina Abu Bakar As-Shidiq r.a mencukupi segala
keperluan Mariah sesudah wafatnya Nabi SAW, hingga beliau meninggal dunia.
Sesudah itu disambung oleh Sayyidina Umar bin A1-Khattab, sehingga Mariah
meninggal dunia pada tahun ke-16 hijrah. Jenazahnya disembahyangkan oleh
Khalifah Umar, kemudian dikebumikan di pemakaman Baqi’.
0 komentar:
Post a Comment