ADS

Monday, 11 January 2016

UMMI ZAR AL-GHIFARIYAH



UMMI ZAR AL-GHIFARIYAH


Ummi Zar Al-Ghifariyah dikenal orang sebagai sahabat yang mulia disamping tentang sejarah hidup suaminya. Suaminya adalah seorang sahabat yang mulia, dan teman yang sangat dicintai oleh Nabi SAW namanya Abu Zar. Dia adalah orang yang paling kuat imannya, paling tegas pemikirannya, dan paling jelas kepercayaannya, kedudukannya tetap untuk kebenaran dan hanya untuk kebenaran semata.
Ummi Zar senantiasa melazimkan diri disamping suaminya, Abu Zar. Dan dia menanggung bersama suaminya hal-hal yang biasanya sukar untuk ditanggung oleh seorang wanita. Dia pernah menempuh pelayaran yang jauh bersama suaminya, bermula dari tempat kabilahnya, Ghifar, untuk berpindah ke dalam pelukan Islam.
Ummi Zar seorang yang mempunyai pemikiran yang cemerlang, dan pendapat yang tepat. Dia meningkatkan dan memperindah kepribadiannya dengan kesungguhan dan usaha mencari ilmu pengetahuan dan ma’rifat. Dia juga tidak kurang dari suaminya, Abu Zar, berusaha untuk mencari kesempurnaan pemikiran insani. Barangkali dikarenakan sifat-sifat yang sama inilah yang telah memperpadukan keduanya ini dalam menempuh kehidupan yang begitu panjang, yang bermula dari menyembah berhala, dan berakhir dengan menyembah Allah SWT.
Ummi Zar begitu pula Abu Zar terkenal dengan sifat yang fasih dalam berbicara dan lancar dalam bertutur kata, orang yang selalu bebas memberi pendapat, dan mernpunyai kehendak yang mulia. Ketika berita penyeruan Islam sampai ke telinga mereka, mulailah perasaan mereka bergejolak karena ingin mengetahui tentang aqidah dan agama yang baru itu.
Suami Ummi Zar adalah dari golongan ketua pada umumnya, biasanya orang yang menjadi ketua dan terkenal dari kaum Arab mesti mempunyai berhala yang khusus di dalam rumahnya, dimana kepada berhala-berhala itulah dipersembahkan berbagai korban dan Nazar, mereka mensucikan berhala itu serta mengagungkannya sesuai dengan adat dan kepercayaan kaum masing-masing.
Abu Zar juga mempunyai berhala yang khusus untuk dirinya sendiri, dan untuk keluarganya. Nama berhala itu Nuhum, kepadanyalah Abu Zar dan keluarganya memberikan sesembahannya, Abu Zar senantiasa menyembah berhala itu serta mengagungkannya, dan kalau ada sesuatu keperluan, senantiasa dia kembali kepadanya.
Sesudah Abu Zar masuk Islam, dia menceritakan kisahnya tentang berhalanya, ia berkata, “Kami mempunyai suatu berhala, namanya Nuhum, pada suatu hari aku datang menghadapnya, lalu aku menyiramnya dengan susu, kemudian aku pergi. Sebentar kemudian aku datang lagi untuk melihat berhala itu, tiba-tiba aku melihat ada seekor anjing di sampingnya, sedang menjilat-jilat susu itu, aku terus mengamati kelakuan anjing itu, setelah selesai menjilat-jilat susu itu, dia lalu mengangkat kakinya dan mengencinginya”.
Ketika Abu Zar menceritakan kisah anjing dengan berhala itu, Ummi Zar tersenyum seraya berkata
"Wahai... carikanlah bagi kami Tuhan yang mulia
Yang murah hati dengan kelebihan kelebihannya, wahai putra Wahab…
Adapun Tuhan bila di apa-apakan oleh anjing yang hina
Tidak punya kuasa untuk mempertahankan dirinya, bukanlah dia itu Tuhan
Orang yang memperhambakan diri dengan batu itu sebenarnva sesat
Otaknya kecil dan tipis, tiada mempunyai isi".

Demikianlah benih yang baik ini mulai berkembang dan berbuah di dalam jiwa Ummi Zar dan Abu Zar. Maka keduanya berangkat ke Makkah untuk mencari berita yang benar tentang seruan agama baru itu. Akhirnya mereka berdua pun memeluk Islam, di mana mereka dapat mengambil dari Nabi SAW sebaik-baik pelajaran, sebesar-besar hikmah dan nasehat. Suatu waktu Abu Zar pernah berkata:
“Temanku Rasulullah SAW pernah mengajarku, supaya berkata benar, meskipun dia itu pahit!”
Di sepanjang hayatnya, Abu Zar selalu berjuang demi kebenaran, bersifat teguh untuk menyatakan yang hak. Ummi Zar pula selalu di sampingnya, tidak pernah berjauhan daripadanya walaupun sejarak beberapa saja, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dia senantiasa selalu berada di belakang Abu Zar membantu dan menyokongnya serta mempertahankan pendapat dan pandangannya. Dia kerap mengikuti Abu Zar dalam segala pelayarannya, sabar menanggung kepedihan hidup dan penderitaannya bersama-sama, seolah-olah mereka berdua itu hanya satu tubuh saja.
Ketika Abu Zar sampai di Damsyik, dan melihat Mu'awiyah bersenang-senang serta bermewah-mewah sesuka hatinya, dan berada jauh dari sifat-sifat keislaman yang wajib melekat pada diri seorang pemerintah sebagai contoh teladan, dia lalu memprotes di hadapan mukanya, serta mengkritik segala kelakuannya. Kemudian dia menemui orang-orang dan menghasut mereka untuk menentang Mu'awiyah, sehingga terjadi suatu pertengkaran yang dahsyat antaranya dan Mu'awiyah.
Mu'awiyah tidak senang dengan kedatangan Abu Zar di Damsyik. Dia lalu memberitahu khalifah Utsman bin Affan r.a. apa yang terjadi pada Abu Zar. Setelah mendengar laporan itu, Khalifah Utsman membuangnya ke daerah Rabazah. Tempat pembuangan ini sangat jauh dari keramaian, berada di tengah-tengah padang pasir yang terkelilingi oleh bukit-bukit pasir, tidak ada tumbuh-turnbuhan, atau pepohonan, apalagi manusia.
Ummi Zar segera datang kepada suaminya untuk tinggal di samping suaminya di dalam sebuah kemah yang terpencil di tengah-tengah tanah lapang dan padang pasir, di bawah terik matahari yang membakar. Kesukaran hidup di tempat itu menyebabkan Abu Zar jatuh sakit, ketika itu sudah terlalu tua, kurus, kering, mukanya pucat pasi, dan tulang-tulangnya timbul. Dia hidup di situ sebagai orang buangan, tiada seseorang pun tahu tentang dirinya, hidup atau sudah mati.
Di tengah-tengah tanah lapang yang terpencil dan buas ini, Ummi Zar memberikan khidmatnya kepada suaminya, menjaganya ketika dia sakit, mencukupi keperluannya. Dia senantiasa di samping Abu Zar menghiburnya, berlemah lembut kepadanya serta membahagiakan hatinya. Tidak pernah mengadu lelah atau takut dan bimbang karena kesendirian, ataupun merasa tidak puas hati, ini adalah suatu pengorbanan besar, yang tidak dapat digambarkan sama sekali. Semua itu dapat ditanggungnya, karena imannya yang kuat, dan keyakinannya yang mendalam, tentang kebenaran kedudukan suaminya, dan pendapat-pendapatnya sebagaimana pendapat pendapatnya sendiri.
Sebenarnya pembuangan ke Rabazah itu bukan saja ditujukan kepada Abu Zar semata, namun ditujukan juga kepada diri Ummi Zar, sahabat Nabi SAW yang mulia itu, ini adalah diantara kekhilafan yang dibuat oleh khalifah Usman Bin Affan r.a dan sebab

tekanan Bani Umayyah, dan menuruti begitu saja tanpa pemeriksaan yang benar dan teliti atas Abu Zar.
Hari demi hari telah berlalu, sedang kekeringan padang pasir dan kekerasannya telah menikam-nikam jiwa dan tubuh Abu Zar Al Ghifari. Maut mulai menjangkau segala anggota tubuhnya, satu demi satu, pelan-pelan, menghisap darahnya, dan mencengkram nyawanya dengan tenang dan perlahan-lahan, sehingga lisannya kelu, tidak dapat berkata kata lagi, dan kedua belah matanya menjadi lebih rabun. Ketika itu dia mulai hilang perasaan, tidak mengenal orang lagi, hanya hatinya saja yang masih berdetak-detak penuh dengan keimanan dan keyakinan yang kuat.
Tentulah kita dapat gambarkan penderitaan Ummi Zar, ketika dia memandang kebuasan padang pasir, dan menunggu sisa-sisa nafas di dalam tubuh suaminya yang sedang menghadapi maut itu, sedih dan pilu terus-menerus membekam dadanya, akan tetapi Ummi Zar tetap bersabar, bersifat belas kasihan, dan bertimbang rasa, seolah olah dia ingin kalau boleh nyawanya berpindah dengan nyawa suaminya, supaya dapat merasakan penderitaannya bersama-sama. Dan seperti yang telah dikatakan Nabi SAW bahwa, “Benarlah Ummi Zar itu, setiap hamba batu itu mestilah sesat”, itulah suatu perkataan yang diucapkan oleh lisan Ummi Zar, oleh karena Ummi Zar terus bersikap benar, amanah atas agamanya, keimanannya di dalam hayat, dia tidak pernah lemah, tidak mengaduh, tidak berteriak, dan tidak pernah putus asa. Dia tidak pernah mengalihkan pandangannya dari hatinya, melainkan kearah langit saja.
Ada sebuah Hadist dari Nabi SAW menceritakan apa yang akan berlaku terhadap Abu Zar, Nabi bersabda: “Abu Zar akan hidup sendirian dan akan dibangkitkan juga sendirian”.
Di penghujung hidupnya, Abu Zar berpesan kepada istrinya, bahwa setelah rohnya berpisah dengan jasad, maka hendaklah dia (Ummi Zar) berpindah ke suatu arah yang tertentu, dan menunggu di situ sehingga dia menemui suatu rombongan orang-orang yang akan berlalu di tempat itu, maka hendaklah dia memohon mereka memandikannya, mengkafankannya serta mengebumikannya.
Akhirnya, tatkala tanah mulai menimbuni dan menutupi kubur suaminya, Ummi Zar pun mengeluarkan air mata perpisahan yang mengingatkannya akan janji kesetiaan, keteguhan jihad, dan pembai’atan hari-harinya.
Kemudian Ummi Zar pun bangun dan beranjak dari situ, meninggalkan suaminya seorang diri di dalam kuburnya ditengah-tengah keharuan padang pasir yang hening, sepi dan kelam ketika malam. Semoga Allah meridhoinya dan meridhoi teman hidupnya, Ummi Zar.

0 komentar:

Post a Comment