UMMI ZAR AL-GHIFARIYAH
Ummi Zar
Al-Ghifariyah dikenal orang sebagai sahabat yang mulia disamping tentang
sejarah hidup suaminya. Suaminya adalah seorang sahabat yang mulia, dan teman
yang sangat dicintai oleh Nabi SAW namanya Abu Zar. Dia adalah orang yang
paling kuat imannya, paling tegas pemikirannya, dan paling jelas
kepercayaannya, kedudukannya tetap untuk kebenaran dan hanya untuk kebenaran
semata.
Ummi Zar
senantiasa melazimkan diri disamping suaminya, Abu Zar. Dan dia menanggung
bersama suaminya hal-hal yang biasanya sukar untuk ditanggung oleh seorang
wanita. Dia pernah menempuh pelayaran yang jauh bersama suaminya, bermula dari tempat
kabilahnya, Ghifar, untuk berpindah ke dalam pelukan Islam.

Ummi Zar
begitu pula Abu Zar terkenal dengan sifat yang fasih dalam berbicara dan lancar
dalam bertutur kata, orang yang selalu bebas memberi pendapat, dan mernpunyai
kehendak yang mulia. Ketika berita penyeruan Islam sampai ke telinga mereka, mulailah
perasaan mereka bergejolak karena ingin mengetahui tentang aqidah dan agama
yang baru itu.
Suami Ummi Zar
adalah dari golongan ketua pada umumnya, biasanya orang yang menjadi ketua dan terkenal
dari kaum Arab mesti mempunyai berhala yang khusus di dalam rumahnya, dimana
kepada berhala-berhala itulah dipersembahkan berbagai korban dan Nazar, mereka
mensucikan berhala itu serta mengagungkannya sesuai dengan adat dan kepercayaan
kaum masing-masing.
Abu Zar juga
mempunyai berhala yang khusus untuk dirinya sendiri, dan untuk keluarganya. Nama
berhala itu Nuhum, kepadanyalah Abu Zar dan keluarganya memberikan
sesembahannya, Abu Zar senantiasa menyembah berhala itu serta mengagungkannya,
dan kalau ada sesuatu keperluan, senantiasa dia kembali kepadanya.
Sesudah Abu
Zar masuk Islam, dia menceritakan kisahnya tentang berhalanya, ia berkata, “Kami
mempunyai suatu berhala, namanya Nuhum, pada suatu hari aku datang
menghadapnya, lalu aku menyiramnya dengan susu, kemudian aku pergi. Sebentar kemudian
aku datang lagi untuk melihat berhala itu, tiba-tiba aku melihat ada seekor anjing
di sampingnya, sedang menjilat-jilat susu itu, aku terus mengamati kelakuan
anjing itu, setelah selesai menjilat-jilat susu itu, dia lalu mengangkat
kakinya dan mengencinginya”.
Ketika Abu Zar
menceritakan kisah anjing dengan berhala itu, Ummi Zar tersenyum seraya berkata
"Wahai...
carikanlah bagi kami Tuhan yang mulia
Yang murah
hati dengan kelebihan kelebihannya, wahai putra Wahab…
Adapun
Tuhan bila di apa-apakan oleh anjing yang hina
Tidak punya
kuasa untuk mempertahankan dirinya, bukanlah dia itu Tuhan
Orang yang
memperhambakan diri dengan batu itu sebenarnva sesat
Otaknya
kecil dan tipis, tiada mempunyai isi".
Demikianlah
benih yang baik ini mulai berkembang dan berbuah di dalam jiwa Ummi Zar dan Abu
Zar. Maka keduanya berangkat ke Makkah untuk mencari berita yang benar tentang
seruan agama baru itu. Akhirnya mereka berdua pun memeluk Islam, di mana mereka
dapat mengambil dari Nabi SAW sebaik-baik pelajaran, sebesar-besar hikmah dan
nasehat. Suatu waktu Abu Zar pernah berkata:
“Temanku
Rasulullah SAW pernah mengajarku, supaya berkata benar, meskipun dia itu
pahit!”
Di sepanjang
hayatnya, Abu Zar selalu berjuang demi kebenaran, bersifat teguh untuk
menyatakan yang hak. Ummi Zar pula selalu di sampingnya, tidak pernah berjauhan
daripadanya walaupun sejarak beberapa saja, baik dalam perkataan maupun
perbuatan. Dia senantiasa selalu berada di belakang Abu Zar membantu dan
menyokongnya serta mempertahankan pendapat dan pandangannya. Dia kerap
mengikuti Abu Zar dalam segala pelayarannya, sabar menanggung kepedihan hidup
dan penderitaannya bersama-sama, seolah-olah mereka berdua itu hanya satu tubuh
saja.
Ketika Abu Zar
sampai di Damsyik, dan melihat Mu'awiyah bersenang-senang serta bermewah-mewah
sesuka hatinya, dan berada jauh dari sifat-sifat keislaman yang wajib melekat
pada diri seorang pemerintah sebagai contoh teladan, dia lalu memprotes di
hadapan mukanya, serta mengkritik segala kelakuannya. Kemudian dia menemui
orang-orang dan menghasut mereka untuk menentang Mu'awiyah, sehingga terjadi
suatu pertengkaran yang dahsyat antaranya dan Mu'awiyah.
Mu'awiyah
tidak senang dengan kedatangan Abu Zar di Damsyik. Dia lalu memberitahu
khalifah Utsman bin Affan r.a. apa yang terjadi pada Abu Zar. Setelah mendengar
laporan itu, Khalifah Utsman membuangnya ke daerah Rabazah. Tempat pembuangan
ini sangat jauh dari keramaian, berada di tengah-tengah padang pasir yang terkelilingi oleh
bukit-bukit pasir, tidak ada tumbuh-turnbuhan, atau pepohonan, apalagi manusia.
Ummi Zar
segera datang kepada suaminya untuk tinggal di samping suaminya di dalam sebuah
kemah yang terpencil di tengah-tengah tanah lapang dan padang pasir, di bawah terik matahari yang
membakar. Kesukaran hidup di tempat itu menyebabkan Abu Zar jatuh sakit, ketika
itu sudah terlalu tua, kurus, kering, mukanya pucat pasi, dan tulang-tulangnya
timbul. Dia hidup di situ sebagai orang buangan, tiada seseorang pun tahu
tentang dirinya, hidup atau sudah mati.
Di
tengah-tengah tanah lapang yang terpencil dan buas ini, Ummi Zar memberikan
khidmatnya kepada suaminya, menjaganya ketika dia sakit, mencukupi
keperluannya. Dia senantiasa di samping Abu Zar menghiburnya, berlemah lembut
kepadanya serta membahagiakan hatinya. Tidak pernah mengadu lelah atau takut
dan bimbang karena kesendirian, ataupun merasa tidak puas hati, ini adalah
suatu pengorbanan besar, yang tidak dapat digambarkan sama sekali. Semua itu
dapat ditanggungnya, karena imannya yang kuat, dan keyakinannya yang mendalam,
tentang kebenaran kedudukan suaminya, dan pendapat-pendapatnya sebagaimana
pendapat pendapatnya sendiri.
Sebenarnya
pembuangan ke Rabazah itu bukan saja ditujukan kepada Abu Zar semata, namun
ditujukan juga kepada diri Ummi Zar, sahabat Nabi SAW yang mulia itu, ini
adalah diantara kekhilafan yang dibuat oleh khalifah Usman Bin Affan r.a dan sebab
tekanan Bani Umayyah, dan
menuruti begitu saja tanpa pemeriksaan yang benar dan teliti atas Abu Zar.
Hari demi hari
telah berlalu, sedang kekeringan padang
pasir dan kekerasannya telah menikam-nikam jiwa dan tubuh Abu Zar Al Ghifari.
Maut mulai menjangkau segala anggota tubuhnya, satu demi satu, pelan-pelan,
menghisap darahnya, dan mencengkram nyawanya dengan tenang dan perlahan-lahan,
sehingga lisannya kelu, tidak dapat berkata kata lagi, dan kedua belah matanya
menjadi lebih rabun. Ketika itu dia mulai hilang perasaan, tidak mengenal orang
lagi, hanya hatinya saja yang masih berdetak-detak penuh dengan keimanan dan
keyakinan yang kuat.
Tentulah kita
dapat gambarkan penderitaan Ummi Zar, ketika dia memandang kebuasan padang
pasir, dan menunggu sisa-sisa nafas di dalam tubuh suaminya yang sedang
menghadapi maut itu, sedih dan pilu terus-menerus membekam dadanya, akan tetapi
Ummi Zar tetap bersabar, bersifat belas kasihan, dan bertimbang rasa, seolah
olah dia ingin kalau boleh nyawanya berpindah dengan nyawa suaminya, supaya
dapat merasakan penderitaannya bersama-sama. Dan seperti yang telah dikatakan
Nabi SAW bahwa, “Benarlah Ummi Zar itu, setiap hamba batu itu mestilah sesat”,
itulah suatu perkataan yang diucapkan oleh lisan Ummi Zar, oleh karena Ummi Zar
terus bersikap benar, amanah atas agamanya, keimanannya di dalam hayat, dia
tidak pernah lemah, tidak mengaduh, tidak berteriak, dan tidak pernah putus
asa. Dia tidak pernah mengalihkan pandangannya dari hatinya, melainkan kearah
langit saja.
Ada sebuah Hadist dari
Nabi SAW menceritakan apa yang akan berlaku terhadap Abu Zar, Nabi bersabda:
“Abu Zar akan hidup sendirian dan akan dibangkitkan juga sendirian”.
Di penghujung
hidupnya, Abu Zar berpesan kepada istrinya, bahwa setelah rohnya berpisah
dengan jasad, maka hendaklah dia (Ummi Zar) berpindah ke suatu arah yang
tertentu, dan menunggu di situ sehingga dia menemui suatu rombongan orang-orang
yang akan berlalu di tempat itu, maka hendaklah dia memohon mereka
memandikannya, mengkafankannya serta mengebumikannya.
Akhirnya, tatkala
tanah mulai menimbuni dan menutupi kubur suaminya, Ummi Zar pun mengeluarkan
air mata perpisahan yang mengingatkannya akan janji kesetiaan, keteguhan jihad,
dan pembai’atan hari-harinya.
Kemudian Ummi
Zar pun bangun dan beranjak dari situ, meninggalkan suaminya seorang diri di
dalam kuburnya ditengah-tengah keharuan padang pasir yang hening, sepi dan
kelam ketika malam. Semoga Allah meridhoinya dan meridhoi teman hidupnya, Ummi
Zar.
0 komentar:
Post a Comment