SITI HAFSAH BINTI UMAR
Siti Hafsah
binti Umar adalah salah seorang dari istri-istri Nabi SAW yang hafal Mushaf
Al-Qur’an. Dialah satu-satunya dari Ummul Mu’minin
yang dipilih oleh Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan semua mushaf-mushaf
Al-Qur’an dengan cepat, sebelum tulisan-tulisan Al-Qur’an yang bertebaran di
tangan para sahabat hilang dan lenyap.
Sebenarnya ide
mengumpulkan Al-Qur’an itu dari ayahnya sendiri, Sayyidina Umar bin Al-Khattab
r.a. berkata kepada Khalifah Abu Bakar tentang pengumpulan Al-Qur’an. Umar
memberikan alasan bahwa banyak dari para huffadz Al-Qur’an yang telah gugur
dalam peperangan Riddah, dan beliau takut, jika Al-Qur’an tidak segera
dikumpulkan, Al-Qur’an akan hilang dari muka bumi ini. Pada mulanya Khalifah
Abu Bakar masih ragu-ragu untuk melaksanakan rencana itu, karena Rasulullah
pada masa hidupnya tidak pernah menyuruh orang mengumpulkan Al-Qur’an. Tetapi
lama-kelamaan dia mau menerima pendapat Umar setelah dia memikirkan lama.
Maka secara
terus menerus Khalifah Abu Bakar menugaskan Siti Hafsah untuk melaksanakan
tugas ini sampai selesai. Siti Hafsah melaksanakan tugasnya, mengumpulkan dan
menyusun Al-Qur’an sesuai dengan ayat dan suratnya. Penyusunan dan pengumpulan
Al-Qur’an dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dapat diselesaikan pada zaman
pemerintahan Khalifah Usman bin Affan r.a.
Siti Hafsah
binti Umar terkenal dengan wajahnya yang cantik, mempunyai pendidikan yang
tinggi dan berasal dari keturunan pembesar Makkah. Dia adalah putri Sayyidina
Umar bin Khattab r.a yang karena usahanyalah Allah telah memenangkan Islam.
Ayahnya juga sebagai Khalifah kedua sesudah Khalifah Abu Bakar, dan di dalam
pemerintahanya kerajaan Islam menjadi terkenal di seluruh dunia.
Siti Hafsah
ketika memasuki rumah tangga Rasul SAW telah menyadari kedudukannya, meskipun
dia tahu bahwa dia mempunyai kebebasan dan keberanian untuk menolak Nabi, tapi
hal itu tidak dilakukan. Siti Aisyah sendiri menerimanya dengan tidak senang
(dia berkata seperti petir menyambar manusia). Padahal baginda sangat mencintai
Siti Aisyah. Dahulu baginda sangat mencintai almarhumah Siti Khadijah dan
baginda tidak pernah menikah dengan siapapun selama 24 tahun. Dikala menjadi
suami Aisyah, beliau menikahi wanita lain dengan maksud-maksud tertentu. Hal
ini membawa sikap kurang senang Aisyah. Hal ini menjadikan Aisyah cemburu dan
bersikap keras terhadap Siti Hafsah. Lama kelamaan kekerasan Siti Aisyah
menurun dan dia mulai bersikap lembut terhadap Siti Hafsah, hal ini disebabkan
karena Nabi SAW menikahi beberapa orang untuk dijadikan istrinya, akhirnya
mereka berdua menjadi teman yang baik.
Persahabatan
antara Siti Aisyah dengan Siti Hafsah juga disebabkan karena adanya persahabatan kedua orang tuanya dan kedekatan
kedua orang tuanya terhadap Nabi SAW. Persahabatan Siti Hafsah dan Siti Aisyah
menjadikan terbongkarnya rahasia Rasulullah SAW dalam masalah mengharamkan
dirinya atas Mariah Al-Qibtiyah, dan oleh karena itu turunlah surah
At-Tahrim. Siti Hafsah binti Umar r.a
tidak menikah dengan Rasulullah sebagai seorang gadis remaja, sebagaimana
berlaku pada Siti Aisyah. Begitu pula tidak ada cinta dan perasaan suka kepada
Nabi SAW. Sebab Siti Hafsah telah menikah dahulu menikah dengan Khunais bin
Huzafah bin Qois bin Adi As-Sahmi Al-Qurasyi. Suami Siti Hafsah yang terdahulu
adalah seorang sahabat Nabi SAW dan pernah berhijrah dua kali. Hijrah yang
pertama ke negri Habasyah bersama-sama kaum muslimin dan yang kedua ke Madinah.
Khunais juga
telah menyaksikan perang Badar, dan telah bertempur di medan perang Uhud, di medan Uhudlah dia mendapat luka parah
sehingga menyebabkan kematiannya. Istrinya yang ditinggalkan masih muda, usianya
belum lebih dari 18 tahun, akan tetapi dia telah menjadi janda. Ayahnya
Sayyidina Umar bin Al-Khattab r.a. merasa sangat berduka cita disebabkan Hafsah
telah menjadi janda, padahal usianya masih muda sekali. Setiap kali Umar
melihat Siti Hafsah, Umar merasa terpaku, perasaan sedih terlihat di wajahnya,
karena memikirkan kesedihan putrinya yang berlarut-larut.
Setelah duduk
dan merenung begitu lama, Sayyidina Umar memutuskan untuk mencarikan suami buat
putrinya supaya dia mendapat teman hidup yang dapat menghiburnya dan dapat
menghilangkan kesedihannya. Umar merenung dan memandang Hafsah dan memikirkan
siapakah suami yang akan dijadikan sebagai pendampimg hidup putrinya. Tiba tiba
terbesit di fikirannya bahwa yang pantas menjadi suami Hafsah adalah Abu Bakar
r.a.
Sayyidina Umar tidak ragu lagi memilih Abu
Bakar sebagai suami putrinya. Karena Abu Bakar adalah seorang yang disayangi
Rasul SAW. Dia adalah temannya yang sangat dihormatinya. Dia lemah lembut,
perbuatanya mulia dan selalu berakhlak mulia, tabiatnya menarik hati dan pandai
bermuamalah. Semua sifat-sifat Abu Bakar bisa menjadikan Hafsah gembira untuk
menerimanya sebagai suami. Dengan hati yang jujur, Umar menuju kerumah Abu
Bakar untuk mengatakan keinginanya mengenai Hafsah, dan mengatakan maksud
kedatangannya dengan terang-terangan dan berharap temannya bersimpati dan mau
menerima keinginan Umar bin Khattab. Akan tetapi alangkah kesalnya Umar ketika Abu
Bakar hanya berdiam diri dan tidak berkata sepatah katapun. Umarpun kembali ke rumah
dengan rasa malu dan marah, dia kurang senang terhadap sikap Abu Bakar karena
Abu Bakar tidak menjawabnya.
Kemudian
timbul di fikirannya untuk menawarkan putrinya kepada Usman bin Affan. Dia
mengira bahwa Usman tidak bakal menolak karena dia membutuhkan istri yang baru
karena istrinya Siti Ruqaiyah binti Rasulullah telah meninggal dunia setelah
dia kembali ke Habasyah, disebabkan penyakit demam panas. Malangnya setelah
disampaikan hasrat hatinya, Usman juga bersikap tidak lebih dari Abu Bakar. Dia
melakukan sama seperti apa yang dilakukan Abu Bakar. Dia berdiam diri, tidak
sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Kemudian Umar berfikir kenapa semua
teman akrabnya menolak tawarannya untuk menikahi putrinya. Dia adalah putri
dari seorang manusia yang dimuliakan Allah SWT. Dia adalah seorang wanita yang
cantik mempesona, dia masih muda, mempunyai keturunan yang tinggi, dan seorang
yang shalihah. Hati Umar risau mengenai kedua temannya, karena itulah dia
menghadap Rasulullah dan mengadukan perbuatan temannya kepada Nabi SAW.
Rasulullah SAW hanya tersenyum ketika mendengar pengaduan Umar itu. Mula-mula
Umar tidak bisa menangkap arti senyuman Nabi, tapi lama-kelamaan dia bisa
menangkap arti senyuman itu. kemudian dia diam dan Rasulullah berkata kepadanya,
“Akan ada orang yang menikahi Hafsah seorang yang lebih mulia dari Usman, dan
Usman akan menikahi orang yang lebih mulia dari Hafsah!”
Ucapan Rasul SAW
menjadikan Umar terpaku ditempatnya. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya
lagi. Dia sangat bahagia, dia merasa dapat kemuliaan yang sangat besar yang
tidak dia duga sama sekali. Ini merupakan kenyataan bahwa Rasulullah SAW akan
menikahi putrinya. Umar kembali ke rumah dengan tergesa-gesa dan ingin
cepat-cepat menyampaikan kabar bahagia kepada putri yang disayanginya. Dalam
perjalanan pulangnya, dia menemui Abu Bakar, seolah-olah hatinya ingin berkata
kepada Abu Bakar: “kau tolak anakku, kini dia telah dipinang oleh orang yang
lebih mulia dari padamu! Mendengar berita itu, Abu Bakar tersenyum. Dia minta
maaf kepada Umar karena dia tidak menghiraukan tawarannya untuk menikah dengan
Hafsah. Dan dia berkata: “Maafkanlah aku, wahai Umar! Aku tidak menjawab
tawaranmu itu! Sebab aku telah lebih dulu mendengar Rasulullah menyebut-nyebut
nama Hafsah, dan aku tidak mau membocorkan rahasia Rasulullah”. Mendengar ini
semua Umar semakin senang.
Tidak lama
setelah itu maka kota
Madinah menyambut pernikahan Rasulullah SAW dengan Hafsah, dan diikuti pula
perkawinan Sayyidina Usman bin Affan dengan Ummi Kaltsum binti Rasulullah SAW.
Setelah Hafsah masuk kedalam rumah tangga Rasul SAW maka mulai terjadilah peperangan yang dikenal dengan peperangan
madu. Tidak lama sesudah itu Siti Hafsah telah berpihak pada Siti Aisyah r.a.
Ummar bin Khattab, ayah Hafsah tidak senang mendengar kejadian itu. Maka dari
itu ia sering mengingatkan putrinya untuk selalu menjaga dirinya, dan tidak
terlibat dengan perkara-perkara yang dapat mengecewakan Rasul SAW. Suatu hari
Umar menerima kabar dari istrinya bahwa Siti Hafsah r.a sering kali membantah
Rasulullah saw dalam urusan rumah tangganya, sehingga menyebabkan Nabi SAW
kurang senang, maka Umar datang menemui Siti Hafsah dan berkata: “Bukankah aku
telah mengingatkan kamu tentang balasan Allah dan kemurkaan RasulNya, wahai
anakku! Jangan sampai kau merasa cemburu tentang si fulanah yang disayangi
Rasulullah SAW karena kecantikannya, dan kecintaan Nabi SAW yang lebih
kepadanya (Siti Aisyah). Demi Allah, aku tahu
bahwa Rasulullah tidak suka tingkah lakumu itu. Kalau tidak karenaku,
niscaya Rasulullah telah mentalakmu!” Sayyidina Umar memberi nasehat pada
putrinya.
Perkara yang
diberi tahu ayahnya itu, Siti Hafsah memang sudah mengetahuinya, hal ini
menyebabkan Siti Hafsah terluka hatinya dan dia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Pada suatu hari, Mariah Qibtiyah, isteri Nabi SAW yang tinggal di
rumah yang lain datang karena suatu keperluan, maka Rasulullah mengajak ke bilik
Siti Hafsah, dan kebetulan Siti Hafsah tidak ada kamar. Ketika Mariah keluar
dari kamar Siti Hafsah, Siti Hafsah melihatnya dan langsung menuju Rasulullah
dengan marah Hafsah marah dan berkata keras kepada Nabi SAW: “Aku tahu siapa
yang bersamamu tadi dalam kamarku. Demi Allah, dia telah menghinaku, dan engkau
tidak melakukan hal itu kecuali karena kedudukanku yang tiada lagi berharga
lagi dimatamu!” Kemudian Siti Hafsah menangis tersedu-sedu.
Rasulullah
merasa pedih juga ketika mendengar kata-kata Siti Hafsah yang sangat berani,
dan Rasul tahu bahwa dia merasa terluka dengan perbuatanya. Rasulullah tidak
bermaksud merendahkan kedudukan putri Umar bin Khattab. Nabi tidak menikah
dengannya melainkan karena hendak memuliakannya dan mengambil hatinya. Maka
Rasulullah menghampiri Siti Hafsah seraya membujuknya, semoga hatinya akan
lembut. Nabi kemudian membisikkan ketelinga Siti Hafsah suatu rahasia, bahwa
Nabi SAW telah mengharamkan Mariah pada diri Nabi SAW dan tidak boleh
membocorkan kepada istri-istri Nabi yang lain.
Siti Hafsah
r.a. merasa sedikit tenang karena tindakan Nabi SAW itu. Akan tetapi
kesombongannya, dan tabiat wanitanya
yang suka meninggi bila dipuji dan dibela, serta perasaan dendam yang ada dalam
dirinya telah menyebabkan dia tidak dapat menyimpan rahasia itu, kemudian dia
bocorkan rahasia itu pada Siti Aisyah dan mereka berdua pura-pura
menyembunyikan rahasia itu, sehingga turunlah surat At-Tahrim yang mempunyai
ma’na sebagai berikut:
“Hai Nabi,
mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu, kamu mencari
kesenangan hati istri-istrimu ? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Ayat: 1)
“Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu, dan
Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Ayat:
2)
“Dan
ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari
istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan
peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua
pembicaraan antara Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad
memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan
sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan
pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu Hafsah bertanya: “Siapakah yang
telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: ”Telah diberitahukan
kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Ayat: 3)
“Jika kamu
berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong
(untuk menerima kebaikan): dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan
Nabi, maka sesungguhya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) JIbril dan
orang-orang mu’min yang baik: dan selain itu malaikat-malaikat adalah
penolongnya pula”. (Ayat: 4)
“Jika Nabi
menceraiakan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan
istri-istri yang lebih baik dari pada kamu, yang patuh, yang beriman, yang
ta’at, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan
yang perawan”. (Ayat: 5)
Siti Hafsah
r.a telah membocorkan rahasia Nabi SAW yang telah dikatakan padanya agar tidak
diberitahukan kepada orang lain. Tetapi karena dia mengikuti perasaannya, dia
memberitahukan rahasia itu kepada Siti Aisyah r.a. Orang bilang kalau rahasia
itu telah berpindah kepada orang ketiga niscaya rahasia itu tidak dapat
dipertahankan lagi. Karena itulah Nabi menceraikan Siti Hafsah dengan satu
talak. Hal ini dilakukan agar tidak menyinggung perasaan Umar bin Khattab.
Ketika berita itu terdengar oleh Umar dia sangat kecewa, lalu menaburkan tanah
diatas kepalanya.
Menurut satu
riwayat, bahwasanya Jibril a.s telah datang kepada Nabi SAW lalu mengatakan
pada Nabi: “Rujuklah Siti Hafsah, karena dia selalu berpuasa dan selalu shalat
malam dan dia akan menjadi istrimu di syurga. Sejak hari itu Siti Hafsah sadar
akan kesalahannya. Dia bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat, serta menarik
diri dari kumpulan istri-istri Nabi SAW ataupun dia menghindari hal-hal yang
dapat membangkitkan kebencian Nabi SAW. Hal ini dilakukan sampai meninggalnya
Nabi SAW.
Sesudah
wafatnya Rasulullah SAW, Siti Hafsah r.a terus hidup dan menyaksikan berbagai
kejayaan yang dicapai oleh umat Islam serta bagaimana cara penaklukannya,
sehingga daerah Islam menjadi luas, khususnya pada zaman ayahnya menjadi
khalifah dan khalifah sesudah itu. Suatu saat dia terkejut karena mendengar
kabar ayahnya wafat dibunuh oleh Abu lu’luah Al-Majusi. Sejak kematian ayahnya
dia menetap di Madinah, dia selalu duduk diatas tikar untuk shalat dan beribadahs saja, sampai dia
menemui ajalnya, Siti Hafsah meninggal dunia pada zaman pemerintahan Mu’awiyah
bin Abu Sufyan.
0 komentar:
Post a Comment