ADS

Friday, 15 January 2016

RABI’AH AL-ADAWIYAH



RABI’AH  AL-ADAWIYAH

Rabi’ah binti Isma’il Al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang sangat terkenal dalam sejarah Islam. Dia satu-satunya wanita yang telah membentuk pengajaran dan pencapaian tingkat kesufian. Dia telah mencapai tingkat makrifat tertinggi di dalam sufisme.
afdcsdcfsKeshalihan dan kezuhudannya telah tanpak sejak dia menjadi hamba sahaya tuannya. Rabi’ah dibesarkan dalam zaman paceklik yang menimpa Basrah. Ismail ayahnya meninggal saat ia masih muda. Nasib buruk yang menimpanya membuat Rabi’ah ditawan lelaki zalim yang kemudian menjualnya ke lelaki lain. Lelaki  sebagai tuannya yang baru tak kalah bengisnya, tapi Rabi’ah selalu sabar dan tawakkal kepada Allah. Setiap malam dia bersembahyang dan bedo’a dengan khusyuk dikamarnya. Dalam do'anya, dia meminta maaf karena kurang memenuhi haknya sebagai hamba untuk berdzikir dan beribadat kepada-Nya. Ia meminta maaf tak bisa memenuhi haknya untuk mengingat Allah karena kondisinya sebagai tawanan yang tak berdaya.
Suatu malam, tuannya mendengar suara Rabi’ah dikamarnya. Ketika datang dan berdiri didepan pintu kamarnya, lelaki itu tertegun melihat Robi’ah yang sedang beribadah kepada Tuhannya. Kemudian dia meminta maaf dan membebaskannya, senang atas kekhusyu’an ibadahnya.
Rabi’ah tidak pernah menikah bukan karena semata-mata zuhud terhadap perkawinan itu sendiri, tetapi karena ia zuhud pada kehidupan itu sendiri. Bukan sulit baginya untuk mendapatkan jodoh, karena dia adalah wanita yang cantik. Namun Rabi’ah menempuh hidup seperti itu bukan tidak ada alasan. Dalam buku Tadzirotul-l-awliya’ diriwayatkan bahwa Rabi’ah telah berpuasa selama 7 hari 7 malam tanpa makan sedikitpun dan tidur. Ia hanya melakukan ibadah. Pada hari yang kedelapan, keinginan dirinya yang mengajaknya kepada hal yang tidak baik berkata dengan lirih, “Hai Rabi’ah! Sampai kapan engkau akan menyiksaku seperti ini tanpa henti-henti? Ketika dialog itu sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar orang mengetuk pintu, seorang laki-laki datang dengan membawa makanan. Dia menerima makanan itu, ketika dia beranjak akan menyalakankan lampu, datang seekor kucing dan memakan habis tanpa sisa. Ketika ia kembali dengan membawa lampu, dan demi melihat apa yang terjadi dengan makannya, ia pun berujar, “biarlah kuambil air saja untuk berbuka. Ketika ia mengangkat kendi untuk diteguk, kendi itu jatuh dari tangannya berantakan. Ia terkejut sekali, rumah itu hampir saja terbakar. Kemudian ia berteriak, “O, Tuhanku! Apa yang Kau kehendaki dari orang yang tak berdaya ini?” Ia kemudian mendengar suara memanggil, “Hai Rabi’ah, bila memang engkau menghendakinya, kuberikan seluruh dunia ini padamu. Tapi untuk itu engkau harus menghapuskan cinta dari hatimu pada Allah. Ketika ia mendengar suara itu, ia langsung memalingkan wajahnya dari dunia yang fana ini.
Rabi’ah terus menerus beribadah sepanjang malam, dan apabila tanda tanda fajar akan menyinsing ditengah langit, dia akan mengulang kata-katanya.
“Wahai Tuhanku! Inilah malam akan pergi, dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri, akankah Engkau menerima malamku ini supaya aku akan bahagia, ataupun Engkau akan menolak dengan memberikan ta’ziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama hidupku dan bantulah aku untuk mencapainya. Jika Engkau mengusirku dari pintu-Mu, niscaya aku tidak akan bergerak dari sana, dikarenakan hatiku sangat cinta pada-Mu”.
Rabi’ah telah membentuk suatu cara yang luar biasa dalam mencintai Allah. Dia telah meninggalkan tanda-tanda jelas sekali kepada semua cara-cara sufi yang terkenal sebelun itu. Dia telah menjadikan  kecintaan Ilahi itu suatu cara untuk membersihkan hati dan jiwa, serta membawanya meningkat kepada Allah semata.
Rabi’ah juga patut diberikan pujian dalam meletakkan kaedah-kaedah cinta dan sedih di dalam dasar-dasar tasawuf. Inilah sebagian syairnya:
“Kekasihku tiada menyamainya kekasih lain biar bagaimana pun
Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat dimana pun
Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan pribadiku sekalipun
Akan tetapi dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetiknya”
Syairnya yang lain,
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta hawa nafsu dan cinta karena Engkau patut untuk dicintai”
Adapun cinta dengan hawa nafsu adalah cinta yang menyita seluruh waktu untuk mengingat-Mu
Adapun cinta yang kedua, bahwa Engkau memang yang berhak dicintai, adalah ketika Kau bukakan hijab-Mu sehingga aku bisa melihat-Mu
Tiada puji untuk ini dan itu, puji hanyalah untuk-Mu dalam ini dan itu”.
Rabi’ah berpulang ke rahmatullah kala itu umurnya delapan puluh tahun. Sesuai dengan pesan Rabi’ah, pembantunya Abdah binti Abi Shawwal mengafaninya dengan jubahnya dan selendang dari bulu yang selalu dipakainya. Tidak diketahui kuburannya dengan pasti. Sebagian sumber sejarah  ia dikuburkan di Jerussalem di atas sebuah bukit. Tapi yang pasti dia wafat di Basrah, daerah Syam pada tahun 135 Hijrah.

0 komentar:

Post a Comment