RABI’AH AL-ADAWIYAH
Rabi’ah binti
Isma’il Al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang sangat terkenal dalam sejarah
Islam. Dia satu-satunya wanita yang telah membentuk pengajaran dan pencapaian
tingkat kesufian. Dia telah mencapai tingkat makrifat tertinggi di dalam
sufisme.

Suatu malam,
tuannya mendengar suara Rabi’ah dikamarnya. Ketika datang dan berdiri didepan
pintu kamarnya, lelaki itu tertegun melihat Robi’ah yang sedang beribadah
kepada Tuhannya. Kemudian dia meminta maaf dan membebaskannya, senang atas
kekhusyu’an ibadahnya.
Rabi’ah tidak
pernah menikah bukan karena semata-mata zuhud terhadap perkawinan itu sendiri,
tetapi karena ia zuhud pada kehidupan itu sendiri. Bukan sulit baginya untuk
mendapatkan jodoh, karena dia adalah wanita yang cantik. Namun Rabi’ah menempuh
hidup seperti itu bukan tidak ada alasan. Dalam buku Tadzirotul-l-awliya’
diriwayatkan bahwa Rabi’ah telah berpuasa selama 7 hari 7 malam tanpa makan
sedikitpun dan tidur. Ia hanya melakukan ibadah. Pada hari yang kedelapan,
keinginan dirinya yang mengajaknya kepada hal yang tidak baik berkata dengan
lirih, “Hai Rabi’ah! Sampai kapan engkau akan menyiksaku seperti ini tanpa
henti-henti? Ketika dialog itu sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar orang
mengetuk pintu, seorang laki-laki datang dengan membawa makanan. Dia menerima
makanan itu, ketika dia beranjak akan menyalakankan lampu, datang seekor kucing
dan memakan habis tanpa sisa. Ketika ia kembali dengan membawa lampu, dan demi
melihat apa yang terjadi dengan makannya, ia pun berujar, “biarlah kuambil air
saja untuk berbuka. Ketika ia mengangkat kendi untuk diteguk, kendi itu jatuh
dari tangannya berantakan. Ia terkejut sekali, rumah itu hampir saja terbakar.
Kemudian ia berteriak, “O, Tuhanku! Apa yang Kau kehendaki dari orang yang tak
berdaya ini?” Ia kemudian mendengar suara memanggil, “Hai Rabi’ah, bila memang
engkau menghendakinya, kuberikan seluruh dunia ini padamu. Tapi untuk itu
engkau harus menghapuskan cinta dari hatimu pada Allah. Ketika ia mendengar
suara itu, ia langsung memalingkan wajahnya dari dunia yang fana ini.
Rabi’ah terus
menerus beribadah sepanjang malam, dan apabila tanda tanda fajar akan
menyinsing ditengah langit, dia akan mengulang kata-katanya.
“Wahai
Tuhanku! Inilah malam akan pergi, dan siang pula akan mengganti. Wahai
malangnya diri, akankah Engkau menerima malamku ini supaya aku akan bahagia,
ataupun Engkau akan menolak dengan memberikan ta’ziah? Demi kemuliaan-Mu,
jadikanlah caraku ini kekal selama hidupku dan bantulah aku untuk mencapainya.
Jika Engkau mengusirku dari pintu-Mu, niscaya aku tidak akan bergerak dari sana, dikarenakan hatiku
sangat cinta pada-Mu”.
Rabi’ah telah
membentuk suatu cara yang luar biasa dalam mencintai Allah. Dia telah
meninggalkan tanda-tanda jelas sekali kepada semua cara-cara sufi yang terkenal
sebelun itu. Dia telah menjadikan
kecintaan Ilahi itu suatu cara untuk membersihkan hati dan jiwa, serta
membawanya meningkat kepada Allah semata.
Rabi’ah juga
patut diberikan pujian dalam meletakkan kaedah-kaedah cinta dan sedih di dalam
dasar-dasar tasawuf. Inilah sebagian syairnya:
“Kekasihku
tiada menyamainya kekasih lain biar bagaimana pun
Tiada selain
Dia di dalam hatiku mempunyai tempat dimana pun
Kekasihku
ghaib dari penglihatanku dan pribadiku sekalipun
Akan tetapi
dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetiknya”
Syairnya yang lain,
Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta hawa nafsu dan cinta karena Engkau patut
untuk dicintai”
Adapun
cinta dengan hawa nafsu adalah cinta yang menyita seluruh waktu untuk
mengingat-Mu
Adapun
cinta yang kedua, bahwa Engkau memang yang berhak dicintai, adalah ketika Kau
bukakan hijab-Mu sehingga aku bisa melihat-Mu
Tiada puji
untuk ini dan itu, puji hanyalah untuk-Mu dalam ini dan itu”.
Rabi’ah
berpulang ke rahmatullah kala itu umurnya delapan puluh tahun. Sesuai dengan
pesan Rabi’ah, pembantunya Abdah binti Abi Shawwal mengafaninya dengan jubahnya
dan selendang dari bulu yang selalu dipakainya. Tidak diketahui kuburannya
dengan pasti. Sebagian sumber sejarah ia
dikuburkan di Jerussalem di atas sebuah bukit. Tapi yang pasti dia wafat di
Basrah, daerah Syam pada tahun 135 Hijrah.
0 komentar:
Post a Comment