ADS

Friday, 18 March 2016

Tangan Maut (Cerpen Horor)



“Dag…dig… dug…” Degup Jantung ku berdebar kencang, sendi - sendiku seakan pudar dan terlepas satu per satu, aku tak punya daya saat menyaksikan kejadian itu yang ke - 2 kali. Dia datang kembali, tepat di hari minggu pagi, tak lama setelah kejadian 2 minggu yang lalu, masih terbayang betapa mengenaskan mayat laki-laki yang tergeletak tanpa kepala di pojok garasi Morrissey Serviced Apartmen yang terletak di Jalan Wahid Hasyim No.70, Menteng, Jakarta itu.
Malam mulai merayap, membuat bulu kuduku berdiri. Sebenarnya aku tak ingin lagi  mengingat  kejadian tadi pagi, tapi semakin aku mencoba menepis bayangan peristiwa itu dari benakku justru semakin terekam jelas oleh memoriku. Sosok mayat laki - laki yang belum di ketahui identitasnya, hanya tubuh tanpa kepala yang tak terbalut sehelai benangpun telah ditemukan di garasi basement 2 apartemen ini. setiap orang yang yakin tangannya bersih dari peristiwa pembunuhan itu tentunya mengutuk pelaku biadab dan sadis yang menghilang tanpa jejak. Dalam cengkeraman angannku yang horor, aku mulai menengok kanan kiriku , terbesit takut mayat-mayat itu mendatangiku. Kuberanikan lagi menengok kanan kiri mencoba mngamati setiap sudut ruang tamu apartemenku demi memastikan aku hanya sendiri tanpa sosok menyeramkan yang mengamatiku atau seonggok mayat yang tiba-tiba tergeletak  disebelahku. Malam kian mencekam, kantuk mulai bergelayut di mataku. Namun, aneh…mata ini tak mau terpejam, bathinku berteriak, “aku takuuuuut”, aku tak bisa memungkiri ada takut yang menggila dengan hatiku. Bukan sekedar ketakutan seorang wanita yang menyaksikan mayat korban pembunuhan sadis. Namun lebih dari itu, tapi takut yang diikuti rasa bersalah. Entah ada apa dengan jiwaku?
Aku menatap Morris penuh kasih sayang meski persaanku tengah dicengkeram rasa was-was. Gadis kecil ku terlelap begitu tenang, tidak ada sedikitpun nuansa ketakutan dalam dirinya meski tanpa sengaja aku dan dia sempat melihat mayat tanpa kepala itu saat dievakuasi oleh Polda Metro Jaya dari apartemen ini ke Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM)  pagi tadi. Aku mendekati bidadari kecil ku yang baru berusia 6 tahun itu, aku mencium kening nya dan menyelimuti tubuh mungilnya. Dingin…angin semakin terasa bertiup kencang. Bola mataku penuh selidik mencari sumber angin berasal…”Ooo Tuhan… aku lupa menutup jendela hingga selarut ini”. Aku mengela nafas dan beranjak dari ranjangku. Syukurlah, semuanya berjalan wajar hingga detik ini, hawa dingin ini karena memang jendela masih terbuka bukan karena aura negative yang tengah mengusai ruang apartemenku ini. lagi-lagi aku menenangkan diri.
Sejenak aku amati suasana di luar jendela, kota malam ini begitu sepi, seakan tak berpenghuni, meski kerlap kerlip lampu masih tetap terlihat di sana sini. Serasa Ibu Kota ini tiba - tiba menjelma menjadi tempat yang penuh misteri. Mungkinkah di luar sana ada manusia selain aku yang merasa ketakutan dan merasa bersalah ?? Entahlah… Pandangan mataku ku pun jauh menerawang ke luar jendela, sontak ingatanku beralih pada tabrakan maut yang terjadi di Jalan MI Ridwan, dekat Tugu Tani, Jakarta Pusat pukul 11.30 WIB, letaknya tidak jauh dari apartemenku. Sebuah mobil Daihatsu Xenia B 2479 XI menabrak sejumlah pejalan kaki yang sebagian besar baru saja selesai berolahraga di Monumen Nasional (Monas). Akibat peristiwa itu, sembilan orang tewas di tempat, empat orang luka-luka. “Ah, kenapa begitu banyak tragedi di awal tahun 2012 ini...?” Batinku berbisik. Aku mulai menghembuskan nafas berlahan, mencoba untuk menepis fikiran - fikiran kacau yang bersemayam dalam otakku. ”kretttt” aku menutup jendela dan kembali menjemput si mungil, Morris.
Sejenak aku turut terlelap dan berhasil menepis ketakutanku. “Kreeeeeeeeeeeeeet… Kreeet”. Aku tersentak, mataku langsung mengarah pada jendela kamarku. “Ada apa ini?” tanyaku gelisah dalam hati. “Bukankah aku sudah menutup jendela apartemenku?” akalku berusaha meyakinkanku. Aku mencoba mengingat kalau aku telah menutupnya. Hawa tak lazim  tiba - tiba menyusupi baju tidurku, aku Merinding. “Siapakah gerangan yang membukanya?” aku bertanya-tanya. Hingga akhirnya kuberanikan diri menyelidiki apa yang terjadi, aku menghampiri jendela. Menghalau tirai putih yang tertiup angin kian kemari menyapu wajahku. Ku singkap sesaat tirai itu dan kukumpulkan keberanian untuk menengok luar jendela. Nihil !! Tak ada seorangpun atau sesuatu yang aneh terjadi. Mungkin aku yang lupa mengaitkan kunci jendelaku kuat-kuat. Belum sampai jariku ke alat pengait jendela aku segera membalikkan tubuhku dengan khawatir yang menyeruak masuk memenuhi benak dan perasaanku. “Mama…..”, aku seperti mendengar Morris memanggilku…”Morris” kataku lirih sambil bertanya-tanya dalam hati “Apakah sesuatu terjadi padanya?” lalu aku segera membalikkan tubuhku untuk menjawab kekhawatiranku sendiri..”Huhhhh….” aku menghela nafasku lega. Lagi-lagi aku dicekap rasa was-was dan aku selamat kembali dari bayangan-bayangan yang kubuat sendiri. Ya  aku katakan itu bayang-bayang yang kuciptakan sendiri demi menepis rasa takut dan bersalahku. Segera kukunci rapat jendelaku, sesekali kupastikan dia rapat dan tak lagi mengganggu tidurku dan putriku. Lalu aku terkulai kembali…
“Kretttt… kretttt………” jendela tadi terbuka kembali, “Astaga, apa yang terjadi? kali ini aku yakin telah menutupnya.” Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 2 pagi. Aku mulai kesal hingga akhirnya dengan yakin aku beranjak, dengan keyakinan pula bahwa sesuatupun tak akan kutemui diluar sana. Akupun menghampiri  jendela itu dan tiba-tiba ???? “Dag!!!” seonggok kepala berlumuran darah, dengan mata yang membelalak, bibir tak terkatup menjelujur lidah biru tergantung tepat didepan mataku. Seketika langkahku terhenti, jantungkupun seolah ikut terhenti, aku terhentak, mataku terbelalak, napasku memburu seakan ada dialog bathin antara aku dan seonggok kepala itu.  Dia menyimpan dendam kepada ku. Aku berusaha membalikkan badanku, aku berharap aku berada dilapangan luas sehingga aku bisa berlari menjauhi potongan kepala itu dan terlepas. Tapi? “Oooooh tidaaaak” seonggok mayat tak berkepala tergeletak di dekat Morris dan Morris memeluknya seolah guling. Dan semuanya mendadak gelap dibarengi tubuhku yang melemah.

                             ------------------ oOo  -----------------

Aku membuka kedua kelopak mataku, saat itu aku sudah berada di atas tempat tidurku, disebelah Morris yang masih terlelap. Aku mencoba mengingat - ingat apa yang telah terjadi semalam, apakah semua itu hanyalah mimpi burukku? “Iya, barangkali tadi malam aku mimpi buruk karena efek dari rasa takut dan khawatir yang berlebihan” Jawabku sendiri menerka.
“Jane, kau sudah sadar?” Suara Robert mengagetkanku,
“Apa yang telah terjadi padaku?” Aku balik bertanya pada laki - laki yang sudah 8 tahun ini mendampingi hari - hariku.
“Semalam saat aku pulang, aku sudah menemukanmu pingsan di depan jendela, apakah kau baik - baik saja Jane?” tanya Robert sedikit khawatir.
“Yach, aku baik - baik saja, mungkin hanya sedikit kelelahan menemani Morris bermain kemarin” jawabku dengan berusaha menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya. Aku tidak ingin suami ku tahu bahwa semalam aku melihat kepala mayat yang menggantung di jendela itu adalah kepala teman kantornya yang biasa berkunjung ke apartemen ini.
Aktivitas pun berlangsung seperti biasanya, Robert bersiap - siap pergi ke kantor, begitu juga Morris mulai bersiap - siap untuk berangkat sekolah. Tidak ada yang berubah, aku mengawali aktivitasku sebagai ibu rumah tangga dengan membersihkan seluruh ruangan apartemenku ini.
Sembari menyapu lantai terlintas dalam benakku akan 2 kali kehadirannya di hari minggu pagi. Sudah dua kali berturut - turut kehadirannya membawaku pada ketakutan yang luar biasa. Sejak seorang nenek tua menyarankanku untuk memberi makan buruk gagak hitam dengan darah kepala manusia saat dia datang. Saat itu aku diantara dilema, karena nyawa dan kepala anakku Morris menjadi taruhannya, berawal dari keasyikan dan ketidaksengajaan Morris saat bermain di halaman apartemen hingga ia memutus kepala anak burung gagak yang saat itu jatuh dan belum bisa terbang yang barangkali ia pikir itu adalah boneka mainannya. Masih terngiang kata - kata nya saat ia terkejut setelah memutus kepala anak burung gagak itu. “Mama, kok boneka nya berdarah?” katanya saat itu dengan kepolosannya.
Burung gagak yang dalam mitos masyarakat adalah sebagai lambang burung maut menjadi kenyataan dalam hidupku, kehadirannya membuat aku harus menyiapkan satu nyawa yang harus aku berikan dan terbang bersamanya. Permainan maut bersama burung gagak hitam.
Hati dan jiwaku begitu kacau, ada perasaan khawatir akan kehilangan anakku satu - satunya yang sangat aku sayangi, bagaimana mungkin aku kuat melihat anakku mati mengenaskan tanpa kepala? meski aku kuat memenggal kepala orang - orang yang mencoba menggodaku yang kemudian aku menjadikannya sebagai ganti kepala anakku.
 “Ting - tong” Suara bel apartemenku berbunyi, tampaknya ada seseorang yang ingin menemuiku, karena jarang sekali tamu yang mencari suamiku datang ke apartemen pada jam - jam kantor seperti ini.
Aku melangkah ke arah pintu, tidak berapa lama aku telah membukakan pintu untuk nya. Betapa kagetnya aku, sosok tubuh tanpa kepala berkunjung ke apartemenku. Ku tutup kembali pintu dengan keras dan aku lari menjauh ke ruang tengah. Hatiku berdebar kencang, nyaris aku tak bisa bernafas karena rasa kaget dan takutku yang begitu besar.
“Jane, ini aku Buddy, kenapa kau tutup pintu mu rapat - rapat setelah melihatku?” Terdengar suara itu dari balik pintu dengan nada sedikit bertanya - tanya.
Aku menghela nafas dalam, “Tuhan, inikah bentuk dari rasa bersalah dan berdosa?” tanya ku dalam hati. Otot - ototku masih menegang, sendi - sendi ku masih terasa kaku, namun ibarat kata tenaga pun aku sudah tak punya hanya untuk sekedar kembali membuka pintu untuk teman lama yang baru berkunjung ke apartemenku. 
Dengan seluruh daya dan upaya akhirnya aku berhasil membukakan pintu untuk tamu ku yang baru datang itu.
“Hello, how are you Jane?[1]” Tanya nya dengan raut yang tampak begitu bahagia, kontras dengan raut wajahku yang pucat pasi oleh bayangan tubuh tak berkepala yang mengahantui pikiranku.
“Hello, I’m fine, tanks.”[2] Jawabku sembari terkesan aku paksakan untuk tersenyum padanya.
“Lama kita tak berjumpa, kau semakin cantik aja Jane” Kata nya pada ku sembari memandangi seluruh tubuhku.
Dari situlah obrolan demi obrolan berlangsung, sehingga membuat aku sedikit lupa akan peristiwa - peristiwa kematian itu.
Namun, semuanya itu tak berlangsung lama, telingaku menangkap suara yang menjadi sumber dari semua kegalauan ini,
“Kwoak… kwoak… kwoak…” Suara burung gagak hitam sembari mengitari atap apartemen ku, aku mulai kalut dan bingung, baru kemarin pagi dia datang, mengapa hari ini ia datang kembali? Tampak ia bertengger di sebuah ranting pohon disamping apartemenku, tepat di samping jendela ruang tengah, sehingga aku mampu benar - benar melihat kehadirannya, dan seakan - akan terjadi percakapan antara aku dan burung gagak itu, sorot mataku menyiratkan kalimat tanya pada burung gagak itu  “apakah kau lapar dan meminta darah kepala manusia lagi?” dengan mataku yang tetap fokus menatap burung gagak itu, seperti tidak ada jawaban lain kecuali jawaban “Iya” itu berarti hari ini aku harus memotong kepala manusia lagi yang kemudian aku berikan padanya.
Sejenak aku tetap terdiam dan tetap berusaha menikmati obrolan ku dan teman lamaku itu, aku berusaha menunjukkan mimik wajah yang santai dan biasa aja, seakan tak ada apa - apa. Namun semua itu tak bisa ku tutupi, saat arah mataku harus terbagi antara memperhatikan burung gagak itu untuk segera memenuhi tuntutannya dan menutupi keadaan dari teman lamaku ini agar tidak mencurigakan. Namun, Tampaknya Buddy mengamati perubahan sikapku, ada yang lain dari sorot matanya, sorot mata penuh tanya dan mengira - ngira.
“Jane? Aku perhatikan sepertinya kau memikirkan sesuatu? “ tanya nya kepadaku sembari memfokuskan arah matanya tepat pada wajah ku.
“Hm… ti tidak,” Jawabku bingung, serasa tidak ada kata lagi yang bisa aku ungkapkankan untuk menggambarkan betapa bingung dan khawatirnya perasaanku.
“Oo.. aku tahu, kau pasti grogi bersamaku kan” kata nya agak serius sambil mengacungkan jari telunjuknya seakan dia mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang sedari tadi dia pikirkan.
“Oh tidak Buddy, aku…” jawabku, belum sempat aku menyelesaikan jawabanku, dia telah memotong kata - kataku.
“Ayolah Jane, akui saja bahwa kau suka dengan ku kan..” dia mulai menggoda ku genit, agaknya dia tidak sedang bercanda, tapi lebih kepada sedang merayuku.
Namun kali ini aku belum bisa berfikir sehat, sesekali ku tatap di luar sana burung gagak masih memandangku tajam, seakan menunjukkan amarah bahwa ia ingin segera mendapatkan darah kepala manusia, ku lihat sayap hitam nya mengepak kesana kemari seolah memberi tanda bahwa ia sudah tak menyediakan banyak waktu lagi.
Bayanganku menangkap sosok Morris yang sedang belajar disekolah, jika aku terlambat sedikit saja, barangkali aku tak akan dapat melihat senyum gadis mungilku lagi, dan barangkali aku tak akan lagi mendengar kata “mama” dari mulutnya. Aku tak kuasa membayangkan kepala anakku tercinta menjadi makanan burung gagak itu, kepala yang dengan matanya memandang ku lembut, yang dengan mulutnya merajuk manja, yang selalu aku rindukan keelokan pipinya yang merah, sungguh aku tak kuasa. Dan aku tidak punya pilihan lain kecuali aku harus memotong kepala manusia dengan `tanganku sendiri.
Mataku langsung terarah pada Buddy, hanya aku dan dia di ruangan ini, tidak ada orang lain. Langsung terbersit dalam fikirku, “Buddy, iya… Buddy” dialah saat ini satu -satunya yang bisa menolong putriku, “maafkan aku teman…” bisikku dalam hati.
 Namun, di saat - saat aku merancang ide untuk membunuh temanku ini, tampaknya  burung gagak itu sudah tidak sabar lagi dan terbang menjauhi apartemenku, aku mulai kalut saat mataku mengikuti kemana arah burung gagak itu terbang, dengan begitu tenang burung gagak itu terbang ke arah utara di mana gadis kecil ku Morris menuntut Ilmu, aku tidak punya banyak waktu lagi, dan aku sudah terlambat.
Ku gigit erat kedua bibirku menahan sesuatu yang terasa perih dan mengiris hatiku, aku tak bisa berbuat apa - apa lagi, kutatap sosok Buddy dengan mata nanar, ku genggam tanganku erat-erat. Masih terfikirkan bagaimana caranya aku membunuh sosok yang ada di hadapanku ini dan kemudian memenggal kepalanya, tapi masihkah burung gagak itu menerima persembahanku? sedangkan dia sudah terbang menjauh entah dengan perasaan yang bagaimana? Kecewakah? Marahkah? Yang jelas, perasaanku saat ini jauh lebih buruk dari perasaan siapapun dan apapun di dunia ini.
Suasana masih membuat segala sesuatunya tak menentu, aku pandangi sekitarku, menatap seluruh bagian - bagian yang tak dapat aku raba satu persatu, seluruh bayangan - bayangan tentang tubuh tanpa kepala masih membuatku tersiksa.
Tampaknya Buddy mulai curiga, akhirnya ia pun menanyakan segala sesuatu yang ada di benaknya. Namun aku tak dapat berfikir lagi, yang ada dalam fikiranku hanyalah Morris anakku, aku tak peduli siapapun orang yang ada di depanku ini, aku harus membunuhnya dan memenggal kepalanya, dan arah mataku pun tertuju pada pisau yang ada di atas meja dan aku mencoba mengambilnya. Namun tiba - tiba aku melihat pisau itu telah menancap pada seonggok kepala dan terletak di atas meja dengan darah yang berlumuran disekitarnya, raut wajah potongan kepala itu menyiratkan betapa dasyatnya rasa sakit yang ia rasakan. Ku usap mataku berkali - kali, aku yakin ini hanyalah bayanganku yang muncul dari rasa yang tidak menentu di hatiku, aku kembali mengusap mataku lagi, menampar - nampar pipiku sendiri untuk memastikan bahwa ini hanyalah bayanganku saja, atau mungkin hanyalah mimpi burukku sehingga aku bisa segera terbangun. Tapi mata ini masih tetap saja melihat seonggok kepala itu.
Spontan aku memanggil Buddy, untuk memastikan bahwa yang aku lihat ini adalah benar adanya.
“Buddy, apakah kau melihat sesuatu yang mengerikan di atas meja itu?” tanya ku pada Buddy dengan ketakutan yang luar biasa.
Buddy pun menengok ke arah yang aku tunjukkan, ia  tampak mencari - cari sesuatu.
“Aku tidak melihat sesutaupun yang mengerikan disini Jane…” Jawabnya tenang, namun penuh tanya padaku.
Tapi aku yakin aku melihatnya, bahkan ketika Buddy telah berusaha meyakinkanku bahwa tidak ada apa - apa disana, tapi sungguh dengan jelas aku melihat seonggok kepala itu. Meski bayangan mataku ini tak bisa ku bohongi, namun aku tetap berusaha menenangkan diri. Dan anehnya kemudian kepala itu jatuh dari atas meja dan menggelinding ke arahku.
“Jangaaan!!!  Maafkan aku, maafkan aku!” dari bibirku ini pun keluar kata - kata maaf yang  entah kepada siapa aku mengucapkannya. Yang jelas aku tak kuasa lagi menahan rasa bersalah dan takutku ini.
“Jane, kamu kenapa?” Buddy bertanya heran sembari memegang pundakku, berusaha menenangkanku.
“Ke - ke - kepala berlumuran darah itu menggelinding ke arahku” jawabku gugup sambil mengacung - acungkan tanganku menunjuk pada kepala itu.
“Kepala siapa Jane? Tidak ada kepala  yang menggelinding seperti yang kau katakan” Jawabnya keras dengan nada yang sangat bingung.
 Aku takut luar biasa, aku kumpulkan seluruh keberanianku, dan lari menjauh, ku buka pintu dengan segera dan meninggalkan Buddy sendiri di apartemen. Namun kepala itu terus menggelinding mengikuti kemanapun aku pergi, layaknya bola yang menggelinding kesana kemari.
Aku terus berlari hingga rasanya aku tak memiliki tenaga lagi untuk terus berlari, sampai disebuah taman aku pun berhenti,di mataku keindahan taman ini telah berubah menjadi taman kepala manusia yang sangat mengenaskan. Entahlah, mungkin itu karena rasa takut yang sudah tidak bisa ku tahan lagi. Sedangkan kepala itu masih mengikutiku dengan pisau yang masih tertancap di atasnya, darah bekasnya menggelinding bercecer di mana - mana. Aku tak tahu lagi harus lari kemana, aku pun tergeletak tak berdaya di tengah taman yang sungguh mengerikan.
Dengan keadaanku yang telah terpuruk, aku masih berusaha menjernihkan pikiranku. Namun, dalam usahaku itu tak ku dapatkan sedikitpun peningkatan kesadaran, tapi justru yang aku dapatkan pandangan mataku semakin memburuk, ku dapati pohon - pohon yang ada di taman ini berbuah kepala manusia dengan darah yang menetes bak embun di pagi hari. Dan tampaklah burung gagak itu bertengger di atas salah satu pohon beringin yang ada di taman ini yang jaraknya tidak jauh dari tempatku tergeletak lunglai.
Aku pandang burung gagak itu cermat, tatapan mataku bertemu dengan sorot matanya yang tajam, tampak burung gagak itu bertengger di salah satu buah kepala yang ada di pohon itu. Ku perhatikan baik - baik sosok kepala yang ada di bawah kaki burung gagak itu, dan semakin lama aku perhatikan, sepertinya aku sangat mengenal pemilik kepala itu.
“Tidak!!!” Jeritku keras setelah aku benar - benar mengamati kepala itu.
“Tidak mungkin, Morrriiiiiiiiiiiiiiiis, maafkan mama sayang…” aku berteriak keras penuh sesal dan kesedihan. 
Di antara kesedihanku, aku masih mampu melirik alroji kuning emas ku yang aku pakai di tangan kiriku, jam menunjukkan pukul 10.00 pagi, Namun matahari tidak bersinar begitu terang, awan kabut menambah gelap suasana hatiku, tak ada sedikitpun cahaya terang yang bisa aku dapatkan.
Hari masih pagi. Gadis kecilku masih bermain dan belajar bersama teman - temannya, tidak mungkin jika burung gagak itu dapat memangsa kepalanya. “Ini pasti hanya imajinasi dari kekhawatiranku” pikirku menenangkan diri. Dan tiba - tiba ada yang bergetar dari saku celanaku.
“Kriiiiing…. Kriiiiiing…” dering telfon memecah kekacauan perasaannku, ku lihat incoming call di layar hp touch screen Hi-Tech ku, tertulis dengan nama Morris’s School, suasana hatiku pun semakin menegang, mencoba mereka - reka apa yang telah terjadi pada gadis kecilku itu, tanpa berfikir panjang jari ku reflek memencet tombol “ok” untuk mengangkat telfon, “Tuhan, semoga ini bukan berita buruk.” Bisikku dalam hati merintih disela - sela ketegangan suasana fikir dan hatiku, masih tampak dengan mata ku betapa taman ini sungguh mengerikan dengan pohon yang berbuah kepala manusia, begitu juga masih jelas burung gagak itu bertengger di atas pohon beringin di salah satu taman itu dengan kepala Morris di bawah cakarnya, segala fenomena itu tak bisa ku tepis, meski berkali - kali aku meyakinkan diri bahwa itu hanyalah bayangan dan khayalanku belaka, tapi mungkin ini sudah menjadi hukum alam bagi orang - orang yang telah melakukan kesalahan dan merasa berdosa, inilah yang sedang terjadi padaku. Namun, seseram apapun suasana taman ini, ketakutanku ini masih bisa ku redam, karena ada ketakutan yang lebih dasyat dari itu, “Aku takut benar - benar kehilangan anakku”
“Hallo…bisa bicara dengan ibu Jane” di seberang sana ada suara wanita yang sudah aku kenal, Ibu guru kelas Morris.
“Hallo, iya ini saya sendiri,” Jawabku agak panik dengan suara sesak.
“Maaf ibu Jane, saya hanya ingin memastikan apakah Morris putri ibu sedang bersama anda? Sejak jam istirahat tadi Morris menghilang, kami para guru dan anak - anak sudah berusaha mencari di sekitar sekolah tapi kami tidak menemukannya.” Guru kelas Morris menjelaskan dengan hati - hati.
Aku langsung terkulai lemas, hp Hi-Tech cina ku jatuh dari genggamanku seolah aku sudah tak punya sedikitpun tenaga meski hanya untuk memegang hp yang beratnya hanya sekitar 1/2 ons itu. Masih ku dapati burung gagak itu bersama kepala Morris, kali ini dengan keyakinan yang sangat berbeda, jika awalnya masih terbersit hanya bayangan saja, kali ini hal yang sangat menakutkan bahwa hal yang sedang aku lihat ini adalah sungguh nyata adanya. “Tidaaaaaaaaaaaaaaaak!!!” Aku berteriak sekeras - kerasnya, hingga aku tak sadarkan diri lagi.
 Saat ini aku hanya bisa berdoa, meski aku malu dengan Tuhan karena dosa - dosa yang telah aku lakukan. Dalam ketidak berdayaanku, aku mulai pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Hanya do’a ku semoga Tuhan masih memberi ku kesempatan untuk melihat gadis kecilku Morris.




[1] Hallo, bagaimana kabarmu Jane?
[2] Kabarku baik, terimakasih.

0 komentar:

Post a Comment