“Dag…dig…
dug…” Degup Jantung ku berdebar kencang, sendi - sendiku seakan pudar dan
terlepas satu per satu, aku tak punya daya saat menyaksikan kejadian itu yang
ke - 2 kali. Dia datang kembali, tepat di hari minggu pagi, tak lama setelah
kejadian 2 minggu yang lalu, masih terbayang betapa mengenaskan mayat laki-laki
yang tergeletak tanpa kepala di pojok garasi Morrissey Serviced Apartmen yang
terletak di Jalan Wahid Hasyim No.70, Menteng, Jakarta itu.
Malam
mulai merayap, membuat bulu kuduku berdiri. Sebenarnya aku tak ingin lagi mengingat
kejadian tadi pagi, tapi semakin aku mencoba menepis bayangan peristiwa
itu dari benakku justru semakin terekam jelas oleh memoriku. Sosok mayat laki -
laki yang belum di ketahui identitasnya, hanya tubuh tanpa kepala yang tak
terbalut sehelai benangpun telah ditemukan di garasi basement 2 apartemen ini.
setiap orang yang yakin tangannya bersih dari peristiwa pembunuhan itu tentunya
mengutuk pelaku biadab dan sadis yang menghilang tanpa jejak. Dalam cengkeraman
angannku yang horor, aku mulai menengok kanan kiriku , terbesit takut
mayat-mayat itu mendatangiku. Kuberanikan lagi menengok kanan kiri mencoba
mngamati setiap sudut ruang tamu apartemenku demi memastikan aku hanya sendiri
tanpa sosok menyeramkan yang mengamatiku atau seonggok mayat yang tiba-tiba
tergeletak disebelahku. Malam kian
mencekam, kantuk mulai bergelayut di mataku. Namun, aneh…mata ini tak mau
terpejam, bathinku berteriak, “aku takuuuuut”, aku tak bisa memungkiri ada
takut yang menggila dengan hatiku. Bukan sekedar ketakutan seorang wanita yang
menyaksikan mayat korban pembunuhan sadis. Namun lebih dari itu, tapi takut
yang diikuti rasa bersalah. Entah ada apa dengan jiwaku?
Aku
menatap Morris penuh kasih sayang meski persaanku tengah dicengkeram rasa was-was.
Gadis kecil ku terlelap begitu tenang, tidak ada sedikitpun nuansa ketakutan
dalam dirinya meski tanpa sengaja aku dan dia sempat melihat mayat tanpa kepala
itu saat dievakuasi oleh Polda Metro Jaya dari apartemen ini ke Rumah Sakit
Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pagi tadi.
Aku mendekati bidadari kecil ku yang baru berusia 6 tahun itu, aku mencium
kening nya dan menyelimuti tubuh mungilnya. Dingin…angin semakin terasa bertiup
kencang. Bola mataku penuh selidik mencari sumber angin berasal…”Ooo Tuhan… aku
lupa menutup jendela hingga selarut ini”. Aku mengela nafas dan beranjak dari
ranjangku. Syukurlah, semuanya berjalan wajar hingga detik ini, hawa dingin ini
karena memang jendela masih terbuka bukan karena aura negative yang tengah
mengusai ruang apartemenku ini. lagi-lagi aku menenangkan diri.
Sejenak
aku amati suasana di luar jendela, kota malam ini begitu sepi, seakan tak
berpenghuni, meski kerlap kerlip lampu masih tetap terlihat di sana sini. Serasa
Ibu Kota ini tiba - tiba menjelma menjadi tempat yang penuh misteri. Mungkinkah
di luar sana ada manusia selain aku yang merasa ketakutan dan merasa bersalah ??
Entahlah… Pandangan mataku ku pun jauh menerawang ke luar jendela, sontak ingatanku
beralih pada tabrakan maut yang terjadi di Jalan MI Ridwan, dekat Tugu Tani,
Jakarta Pusat pukul 11.30 WIB, letaknya tidak jauh dari apartemenku. Sebuah
mobil Daihatsu Xenia B 2479 XI menabrak sejumlah pejalan kaki yang sebagian
besar baru saja selesai berolahraga di Monumen Nasional (Monas). Akibat
peristiwa itu, sembilan orang tewas di tempat, empat orang luka-luka. “Ah, kenapa
begitu banyak tragedi di awal tahun 2012 ini...?” Batinku berbisik. Aku mulai menghembuskan nafas berlahan, mencoba untuk menepis
fikiran - fikiran kacau yang bersemayam dalam otakku. ”kretttt” aku menutup
jendela dan kembali menjemput si mungil, Morris.
Sejenak
aku turut terlelap dan berhasil menepis ketakutanku. “Kreeeeeeeeeeeeeet… Kreeet”.
Aku tersentak, mataku langsung mengarah pada jendela kamarku. “Ada apa ini?”
tanyaku gelisah dalam hati. “Bukankah aku sudah menutup jendela apartemenku?”
akalku berusaha meyakinkanku. Aku mencoba mengingat kalau aku telah menutupnya.
Hawa tak lazim tiba - tiba menyusupi
baju tidurku, aku Merinding. “Siapakah gerangan yang membukanya?” aku
bertanya-tanya. Hingga akhirnya kuberanikan diri menyelidiki apa yang terjadi,
aku menghampiri jendela. Menghalau tirai putih yang tertiup angin kian kemari
menyapu wajahku. Ku singkap sesaat tirai itu dan kukumpulkan keberanian untuk
menengok luar jendela. Nihil !! Tak ada seorangpun atau sesuatu yang aneh
terjadi. Mungkin aku yang lupa mengaitkan kunci jendelaku kuat-kuat. Belum
sampai jariku ke alat pengait jendela aku segera membalikkan tubuhku dengan
khawatir yang menyeruak masuk memenuhi benak dan perasaanku. “Mama…..”, aku
seperti mendengar Morris memanggilku…”Morris” kataku lirih sambil
bertanya-tanya dalam hati “Apakah sesuatu terjadi padanya?” lalu aku segera
membalikkan tubuhku untuk menjawab kekhawatiranku sendiri..”Huhhhh….” aku menghela
nafasku lega. Lagi-lagi aku dicekap rasa was-was dan aku selamat kembali dari
bayangan-bayangan yang kubuat sendiri. Ya
aku katakan itu bayang-bayang yang kuciptakan sendiri demi menepis rasa
takut dan bersalahku. Segera kukunci rapat jendelaku, sesekali kupastikan dia
rapat dan tak lagi mengganggu tidurku dan putriku. Lalu aku terkulai kembali…
“Kretttt…
kretttt………” jendela tadi terbuka kembali, “Astaga, apa yang terjadi? kali ini
aku yakin telah menutupnya.” Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 2 pagi. Aku
mulai kesal hingga akhirnya dengan yakin aku beranjak, dengan keyakinan pula
bahwa sesuatupun tak akan kutemui diluar sana. Akupun menghampiri jendela itu dan tiba-tiba ???? “Dag!!!”
seonggok kepala berlumuran darah, dengan mata yang membelalak, bibir tak
terkatup menjelujur lidah biru tergantung tepat didepan mataku. Seketika langkahku
terhenti, jantungkupun seolah ikut terhenti, aku terhentak, mataku terbelalak,
napasku memburu seakan ada dialog bathin antara aku dan seonggok kepala
itu. Dia menyimpan dendam kepada ku. Aku
berusaha membalikkan badanku, aku berharap aku berada dilapangan luas sehingga
aku bisa berlari menjauhi potongan kepala itu dan terlepas. Tapi? “Oooooh tidaaaak”
seonggok mayat tak berkepala tergeletak di dekat Morris dan Morris memeluknya
seolah guling. Dan semuanya mendadak gelap dibarengi tubuhku yang melemah.
------------------ oOo -----------------
Aku
membuka kedua kelopak mataku, saat itu aku sudah berada di atas tempat tidurku,
disebelah Morris yang masih terlelap. Aku mencoba mengingat - ingat apa yang
telah terjadi semalam, apakah semua itu hanyalah mimpi burukku? “Iya,
barangkali tadi malam aku mimpi buruk karena efek dari rasa takut dan khawatir
yang berlebihan” Jawabku sendiri menerka.
“Jane,
kau sudah sadar?” Suara Robert mengagetkanku,
“Apa
yang telah terjadi padaku?” Aku balik bertanya pada laki - laki yang sudah 8
tahun ini mendampingi hari - hariku.
“Semalam
saat aku pulang, aku sudah menemukanmu pingsan di depan jendela, apakah kau
baik - baik saja Jane?” tanya Robert sedikit khawatir.
“Yach,
aku baik - baik saja, mungkin hanya sedikit kelelahan menemani Morris bermain
kemarin” jawabku dengan berusaha menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya.
Aku tidak ingin suami ku tahu bahwa semalam aku melihat kepala mayat yang
menggantung di jendela itu adalah kepala teman kantornya yang biasa berkunjung
ke apartemen ini.
Aktivitas
pun berlangsung seperti biasanya, Robert bersiap - siap pergi ke kantor, begitu
juga Morris mulai bersiap - siap untuk berangkat sekolah. Tidak ada yang
berubah, aku mengawali aktivitasku sebagai ibu rumah tangga dengan membersihkan
seluruh ruangan apartemenku ini.
Sembari
menyapu lantai terlintas dalam benakku akan 2 kali kehadirannya di hari minggu
pagi. Sudah dua kali berturut - turut kehadirannya membawaku pada ketakutan
yang luar biasa. Sejak seorang nenek tua menyarankanku untuk memberi makan
buruk gagak hitam dengan darah kepala manusia saat dia datang. Saat itu aku
diantara dilema, karena nyawa dan kepala anakku Morris menjadi taruhannya,
berawal dari keasyikan dan ketidaksengajaan Morris saat bermain di halaman
apartemen hingga ia memutus kepala anak burung gagak yang saat itu jatuh dan
belum bisa terbang yang barangkali ia pikir itu adalah boneka mainannya. Masih
terngiang kata - kata nya saat ia terkejut setelah memutus kepala anak burung
gagak itu. “Mama, kok boneka nya berdarah?” katanya saat itu dengan
kepolosannya.
Burung
gagak yang dalam mitos masyarakat adalah sebagai lambang burung maut menjadi
kenyataan dalam hidupku, kehadirannya membuat aku harus menyiapkan satu nyawa
yang harus aku berikan dan terbang bersamanya. Permainan maut bersama burung
gagak hitam.
Hati
dan jiwaku begitu kacau, ada perasaan khawatir akan kehilangan anakku satu -
satunya yang sangat aku sayangi, bagaimana mungkin aku kuat melihat anakku mati
mengenaskan tanpa kepala? meski aku kuat memenggal kepala orang - orang yang
mencoba menggodaku yang kemudian aku menjadikannya sebagai ganti kepala anakku.
“Ting - tong” Suara bel apartemenku berbunyi,
tampaknya ada seseorang yang ingin menemuiku, karena jarang sekali tamu yang
mencari suamiku datang ke apartemen pada jam - jam kantor seperti ini.
Aku
melangkah ke arah pintu, tidak berapa lama aku telah membukakan pintu untuk
nya. Betapa kagetnya aku, sosok tubuh tanpa kepala berkunjung ke apartemenku.
Ku tutup kembali pintu dengan keras dan aku lari menjauh ke ruang tengah.
Hatiku berdebar kencang, nyaris aku tak bisa bernafas karena rasa kaget dan
takutku yang begitu besar.
“Jane,
ini aku Buddy, kenapa kau tutup pintu mu rapat - rapat setelah melihatku?”
Terdengar suara itu dari balik pintu dengan nada sedikit bertanya - tanya.
Aku
menghela nafas dalam, “Tuhan, inikah bentuk dari rasa bersalah dan berdosa?”
tanya ku dalam hati. Otot - ototku masih menegang, sendi - sendi ku masih
terasa kaku, namun ibarat kata tenaga pun aku sudah tak punya hanya untuk
sekedar kembali membuka pintu untuk teman lama yang baru berkunjung ke
apartemenku.
Dengan
seluruh daya dan upaya akhirnya aku berhasil membukakan pintu untuk tamu ku
yang baru datang itu.
“Hello,
how are you Jane?[1]”
Tanya nya dengan raut yang tampak begitu bahagia, kontras dengan raut wajahku
yang pucat pasi oleh bayangan tubuh tak berkepala yang mengahantui pikiranku.
“Hello,
I’m fine, tanks.”[2]
Jawabku sembari terkesan aku paksakan untuk tersenyum padanya.
“Lama
kita tak berjumpa, kau semakin cantik aja Jane” Kata nya pada ku sembari
memandangi seluruh tubuhku.
Dari
situlah obrolan demi obrolan berlangsung, sehingga membuat aku sedikit lupa
akan peristiwa - peristiwa kematian itu.
Namun,
semuanya itu tak berlangsung lama, telingaku menangkap suara yang menjadi
sumber dari semua kegalauan ini,
“Kwoak…
kwoak… kwoak…” Suara burung gagak hitam sembari mengitari atap apartemen ku,
aku mulai kalut dan bingung, baru kemarin pagi dia datang, mengapa hari ini ia
datang kembali? Tampak ia bertengger di sebuah ranting pohon disamping
apartemenku, tepat di samping jendela ruang tengah, sehingga aku mampu benar -
benar melihat kehadirannya, dan seakan - akan terjadi percakapan antara aku dan
burung gagak itu, sorot mataku menyiratkan kalimat tanya pada burung gagak
itu “apakah kau lapar dan meminta darah
kepala manusia lagi?” dengan mataku yang tetap fokus menatap burung gagak itu,
seperti tidak ada jawaban lain kecuali jawaban “Iya” itu berarti hari ini aku
harus memotong kepala manusia lagi yang kemudian aku berikan padanya.
Sejenak
aku tetap terdiam dan tetap berusaha menikmati obrolan ku dan teman lamaku itu,
aku berusaha menunjukkan mimik wajah yang santai dan biasa aja, seakan tak ada
apa - apa. Namun semua itu tak bisa ku tutupi, saat arah mataku harus terbagi
antara memperhatikan burung gagak itu untuk segera memenuhi tuntutannya dan
menutupi keadaan dari teman lamaku ini agar tidak mencurigakan. Namun,
Tampaknya Buddy mengamati perubahan sikapku, ada yang lain dari sorot matanya,
sorot mata penuh tanya dan mengira - ngira.
“Jane?
Aku perhatikan sepertinya kau memikirkan sesuatu? “ tanya nya kepadaku sembari
memfokuskan arah matanya tepat pada wajah ku.
“Hm…
ti tidak,” Jawabku bingung, serasa tidak ada kata lagi yang bisa aku
ungkapkankan untuk menggambarkan betapa bingung dan khawatirnya perasaanku.
“Oo..
aku tahu, kau pasti grogi bersamaku kan” kata nya agak serius sambil
mengacungkan jari telunjuknya seakan dia mendapatkan jawaban dari pertanyaan
yang sedari tadi dia pikirkan.
“Oh
tidak Buddy, aku…” jawabku, belum sempat aku menyelesaikan jawabanku, dia telah
memotong kata - kataku.
“Ayolah
Jane, akui saja bahwa kau suka dengan ku kan..” dia mulai menggoda ku genit,
agaknya dia tidak sedang bercanda, tapi lebih kepada sedang merayuku.
Namun
kali ini aku belum bisa berfikir sehat, sesekali ku tatap di luar sana burung
gagak masih memandangku tajam, seakan menunjukkan amarah bahwa ia ingin segera
mendapatkan darah kepala manusia, ku lihat sayap hitam nya mengepak kesana
kemari seolah memberi tanda bahwa ia sudah tak menyediakan banyak waktu lagi.
Bayanganku
menangkap sosok Morris yang sedang belajar disekolah, jika aku terlambat
sedikit saja, barangkali aku tak akan dapat melihat senyum gadis mungilku lagi,
dan barangkali aku tak akan lagi mendengar kata “mama” dari mulutnya. Aku tak
kuasa membayangkan kepala anakku tercinta menjadi makanan burung gagak itu,
kepala yang dengan matanya memandang ku lembut, yang dengan mulutnya merajuk
manja, yang selalu aku rindukan keelokan pipinya yang merah, sungguh aku tak
kuasa. Dan aku tidak punya pilihan lain kecuali aku harus memotong kepala
manusia dengan `tanganku sendiri.
Mataku
langsung terarah pada Buddy, hanya aku dan dia di ruangan ini, tidak ada orang
lain. Langsung terbersit dalam fikirku, “Buddy, iya… Buddy” dialah saat ini
satu -satunya yang bisa menolong putriku, “maafkan aku teman…” bisikku dalam
hati.
Namun, di saat - saat aku merancang ide untuk
membunuh temanku ini, tampaknya burung
gagak itu sudah tidak sabar lagi dan terbang menjauhi apartemenku, aku mulai
kalut saat mataku mengikuti kemana arah burung gagak itu terbang, dengan begitu
tenang burung gagak itu terbang ke arah utara di mana gadis kecil ku Morris
menuntut Ilmu, aku tidak punya banyak waktu lagi, dan aku sudah terlambat.
Ku
gigit erat kedua bibirku menahan sesuatu yang terasa perih dan mengiris hatiku,
aku tak bisa berbuat apa - apa lagi, kutatap sosok Buddy dengan mata nanar, ku
genggam tanganku erat-erat. Masih terfikirkan bagaimana caranya aku membunuh
sosok yang ada di hadapanku ini dan kemudian memenggal kepalanya, tapi masihkah
burung gagak itu menerima persembahanku? sedangkan dia sudah terbang menjauh
entah dengan perasaan yang bagaimana? Kecewakah? Marahkah? Yang jelas,
perasaanku saat ini jauh lebih buruk dari perasaan siapapun dan apapun di dunia
ini.
Suasana
masih membuat segala sesuatunya tak menentu, aku pandangi sekitarku, menatap
seluruh bagian - bagian yang tak dapat aku raba satu persatu, seluruh bayangan
- bayangan tentang tubuh tanpa kepala masih membuatku tersiksa.
Tampaknya
Buddy mulai curiga, akhirnya ia pun menanyakan segala sesuatu yang ada di
benaknya. Namun aku tak dapat berfikir lagi, yang ada dalam fikiranku hanyalah
Morris anakku, aku tak peduli siapapun orang yang ada di depanku ini, aku harus
membunuhnya dan memenggal kepalanya, dan arah mataku pun tertuju pada pisau
yang ada di atas meja dan aku mencoba mengambilnya. Namun tiba - tiba aku
melihat pisau itu telah menancap pada seonggok kepala dan terletak di atas meja
dengan darah yang berlumuran disekitarnya, raut wajah potongan kepala itu
menyiratkan betapa dasyatnya rasa sakit yang ia rasakan. Ku usap mataku berkali
- kali, aku yakin ini hanyalah bayanganku yang muncul dari rasa yang tidak
menentu di hatiku, aku kembali mengusap mataku lagi, menampar - nampar pipiku
sendiri untuk memastikan bahwa ini hanyalah bayanganku saja, atau mungkin
hanyalah mimpi burukku sehingga aku bisa segera terbangun. Tapi mata ini masih
tetap saja melihat seonggok kepala itu.
Spontan
aku memanggil Buddy, untuk memastikan bahwa yang aku lihat ini adalah benar
adanya.
“Buddy,
apakah kau melihat sesuatu yang mengerikan di atas meja itu?” tanya ku pada
Buddy dengan ketakutan yang luar biasa.
Buddy
pun menengok ke arah yang aku tunjukkan, ia
tampak mencari - cari sesuatu.
“Aku
tidak melihat sesutaupun yang mengerikan disini Jane…” Jawabnya tenang, namun
penuh tanya padaku.
Tapi
aku yakin aku melihatnya, bahkan ketika Buddy telah berusaha meyakinkanku bahwa
tidak ada apa - apa disana, tapi sungguh dengan jelas aku melihat seonggok
kepala itu. Meski bayangan mataku ini tak bisa ku bohongi, namun aku tetap
berusaha menenangkan diri. Dan anehnya kemudian kepala itu jatuh dari atas meja
dan menggelinding ke arahku.
“Jangaaan!!! Maafkan aku, maafkan aku!” dari bibirku ini
pun keluar kata - kata maaf yang entah
kepada siapa aku mengucapkannya. Yang jelas aku tak kuasa lagi menahan rasa
bersalah dan takutku ini.
“Jane,
kamu kenapa?” Buddy bertanya heran sembari memegang pundakku, berusaha
menenangkanku.
“Ke
- ke - kepala berlumuran darah itu menggelinding ke arahku” jawabku gugup
sambil mengacung - acungkan tanganku menunjuk pada kepala itu.
“Kepala
siapa Jane? Tidak ada kepala yang menggelinding
seperti yang kau katakan” Jawabnya keras dengan nada yang sangat bingung.
Aku takut luar biasa, aku kumpulkan seluruh
keberanianku, dan lari menjauh, ku buka pintu dengan segera dan meninggalkan
Buddy sendiri di apartemen. Namun kepala itu terus menggelinding mengikuti
kemanapun aku pergi, layaknya bola yang menggelinding kesana kemari.
Aku
terus berlari hingga rasanya aku tak memiliki tenaga lagi untuk terus berlari,
sampai disebuah taman aku pun berhenti,di mataku keindahan taman ini telah
berubah menjadi taman kepala manusia yang sangat mengenaskan. Entahlah, mungkin
itu karena rasa takut yang sudah tidak bisa ku tahan lagi. Sedangkan kepala itu
masih mengikutiku dengan pisau yang masih tertancap di atasnya, darah bekasnya
menggelinding bercecer di mana - mana. Aku tak tahu lagi harus lari kemana, aku
pun tergeletak tak berdaya di tengah taman yang sungguh mengerikan.
Dengan
keadaanku yang telah terpuruk, aku masih berusaha menjernihkan pikiranku.
Namun, dalam usahaku itu tak ku dapatkan sedikitpun peningkatan kesadaran, tapi
justru yang aku dapatkan pandangan mataku semakin memburuk, ku dapati pohon -
pohon yang ada di taman ini berbuah kepala manusia dengan darah yang menetes
bak embun di pagi hari. Dan tampaklah burung gagak itu bertengger di atas salah
satu pohon beringin yang ada di taman ini yang jaraknya tidak jauh dari
tempatku tergeletak lunglai.
Aku
pandang burung gagak itu cermat, tatapan mataku bertemu dengan sorot matanya
yang tajam, tampak burung gagak itu bertengger di salah satu buah kepala yang
ada di pohon itu. Ku perhatikan baik - baik sosok kepala yang ada di bawah kaki
burung gagak itu, dan semakin lama aku perhatikan, sepertinya aku sangat
mengenal pemilik kepala itu.
“Tidak!!!”
Jeritku keras setelah aku benar - benar mengamati kepala itu.
“Tidak
mungkin, Morrriiiiiiiiiiiiiiiis, maafkan mama sayang…” aku berteriak keras
penuh sesal dan kesedihan.
Di
antara kesedihanku, aku masih mampu melirik alroji kuning emas ku yang aku
pakai di tangan kiriku, jam menunjukkan pukul 10.00 pagi, Namun matahari tidak
bersinar begitu terang, awan kabut menambah gelap suasana hatiku, tak ada
sedikitpun cahaya terang yang bisa aku dapatkan.
Hari
masih pagi. Gadis kecilku masih bermain dan belajar bersama teman - temannya,
tidak mungkin jika burung gagak itu dapat memangsa kepalanya. “Ini pasti hanya
imajinasi dari kekhawatiranku” pikirku menenangkan diri. Dan tiba - tiba ada
yang bergetar dari saku celanaku.
“Kriiiiing….
Kriiiiiing…” dering telfon memecah kekacauan perasaannku, ku lihat incoming
call di layar hp touch screen Hi-Tech ku, tertulis dengan nama Morris’s School,
suasana hatiku pun semakin menegang, mencoba mereka - reka apa yang telah
terjadi pada gadis kecilku itu, tanpa berfikir panjang jari ku reflek memencet
tombol “ok” untuk mengangkat telfon, “Tuhan, semoga ini bukan berita buruk.”
Bisikku dalam hati merintih disela - sela ketegangan suasana fikir dan hatiku,
masih tampak dengan mata ku betapa taman ini sungguh mengerikan dengan pohon
yang berbuah kepala manusia, begitu juga masih jelas burung gagak itu
bertengger di atas pohon beringin di salah satu taman itu dengan kepala Morris
di bawah cakarnya, segala fenomena itu tak bisa ku tepis, meski berkali - kali
aku meyakinkan diri bahwa itu hanyalah bayangan dan khayalanku belaka, tapi
mungkin ini sudah menjadi hukum alam bagi orang - orang yang telah melakukan
kesalahan dan merasa berdosa, inilah yang sedang terjadi padaku. Namun, seseram
apapun suasana taman ini, ketakutanku ini masih bisa ku redam, karena ada
ketakutan yang lebih dasyat dari itu, “Aku takut benar - benar kehilangan
anakku”
“Hallo…bisa
bicara dengan ibu Jane” di seberang sana ada suara wanita yang sudah aku kenal,
Ibu guru kelas Morris.
“Hallo,
iya ini saya sendiri,” Jawabku agak panik dengan suara sesak.
“Maaf
ibu Jane, saya hanya ingin memastikan apakah Morris putri ibu sedang bersama
anda? Sejak jam istirahat tadi Morris menghilang, kami para guru dan anak -
anak sudah berusaha mencari di sekitar sekolah tapi kami tidak menemukannya.”
Guru kelas Morris menjelaskan dengan hati - hati.
Aku
langsung terkulai lemas, hp Hi-Tech cina ku jatuh dari genggamanku seolah aku
sudah tak punya sedikitpun tenaga meski hanya untuk memegang hp yang beratnya
hanya sekitar 1/2 ons itu. Masih ku dapati burung gagak itu bersama kepala
Morris, kali ini dengan keyakinan yang sangat berbeda, jika awalnya masih
terbersit hanya bayangan saja, kali ini hal yang sangat menakutkan bahwa hal
yang sedang aku lihat ini adalah sungguh nyata adanya.
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaak!!!” Aku berteriak sekeras - kerasnya, hingga aku tak
sadarkan diri lagi.
Saat ini aku hanya bisa berdoa, meski aku malu
dengan Tuhan karena dosa - dosa yang telah aku lakukan. Dalam ketidak
berdayaanku, aku mulai pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Hanya do’a ku
semoga Tuhan masih memberi ku kesempatan untuk melihat gadis kecilku Morris.
0 komentar:
Post a Comment